Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Orang yang Menolak Hadits Shahih yang Dianggap Bertentangan dengan Al-Qur’an


Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Orang yang Menolak Hadits Shahih yang Dianggap Bertentangan dengan Al-Qur’an

fatwa ulama ahlussunnahSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah (ulama madzhab Hanbali/guru Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnu Abdul Hadi) berkata: “Apabila Anda telah mengetahui akar-akar bid’ah dari uraian sebelumnya, maka ketahuilah bahwa akar bid’ah Khawarij adalah memvonis kafir pelaku dosa. Mereka yakini sebagai dosa perkara-perkara yang sebenarnya bukan dosa. Mereka memandang wajib mengikuti Al-Qur’an saja dan menolak hadits yang bertentangan dengan teks ayat Al-Qur’an, meskipun hadits tersebut derajatnya mutawatir.” (Majmu’ Fatawa 3/355)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dosa dan kesalahan ahlu bid’ah adalah karena meninggalkan apa yang telahdiperintahkan kepada mereka, yaitu mengikuti Sunnah Nabi dan menetapi jama’ah kaum muslimin. Akar bid’ah Khawarij adalah keyakinan mereka bahwa mentaati Rasul hukumnya tidak wajib bila bertentangan dengan teks Al-Qur’an menurut persepsi mereka. Sikap tersebut merupakan salah satu bentuk meninggalkan kewajiban. Kaum Khawarij beranggapan bahwa Rasul bisa berbuat zhalim dan tersesat dalam sunnahnya, oleh karena itu menurut mereka mentaati dan mengikuti Rasul bukanlah suatu keharusan. Mereka hanya mempercayai apa yang disampaikan Rasul di dalam Al-Qur’an, adapun As-Sunnah yang menurut mereka bertentangan dengan tekstual Al-Qur’an, tidaklah merekaterima.” (Majmu’ Fatawa 19/73)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Demikian pula kaum Khawarij ini menganut keyakinan wajibnya mengikuti Al-Qur’an meskipun mereka pahami menurut akal pikiran mereka dan berkeyakinan tidak wajib mengikuti As-Sunnah yang bertentangan dengan tekstual ayat Al-Qur’an.” (Majmu’ Fatawa 28/491)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kaum Khawarij hanya mengikuti As-Sunnah yang telah terperinci bukan yang menyelisihi tekstual AlQur’an. Menurut mereka boleh jadi seorang pezina tidak hukum rajam, tidak ada batasan tertentu yang menyebabkan seseorang berhak dipotong tangannya karena mencuri, seorang murtad tidak perludihukum mati, karena semua itu (yakni rajam, batasan barang yang dicuri hingga pencurinya berhak dipotong tangannya dan hukuman bagi orang murtad) tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.” (Majmu’ Fatawa 13/48-49)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al-Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bertugas untuk menyampaikan isi Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa AlQur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi AlQur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.” (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)
Sumber : http://manhaj-ahlussunnah.blogspot.com/2013/01/bantahan-ibnu-taimiyah-terhadap-orang.html

 

HADITS AHAD WAJIB DITERIMA


HADITS AHAD WAJIB DITERIMA

hadits ahad, hujjahkahHadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sedikit perawi (1-3 orang sahabat), sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (lebih dari 3 orang sahabat).
Hadits yang perawinya terpercaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih.
A.    PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG HADITS AHAD
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah mengetahui bahwa ulama kaum muslimin berselisih pendapat mengenai diterimanya khabar ahad.” Kata beliau lagi, “Pada pendapatku, tidak boleh bagi seorang yang berilmu untuk menetapkan keshahihan berbagai hadits ahad tetapi kemudian dia menghalalkan dan mengharamkan hanya apa yang bertepatan dengan akalnya (bukan berdasarkan hadis tersebut).” (Ar-Risalah, m/s. 457-458 – Daar al-Kitab al-‘Ilmiyah)
Imam Syafi’i menuliskan sebuah pasal yang penting dalam kitab Ar-Risalah yang beliau beri judul “Dalil-dalil yang menetapkan keautentikan hadits ahad“. Kemudian beliau menerangkan beberapa dalil yang umum, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang penegasan keautentikan hadits ahad di dalam masalah akidah.
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang kepada suatu kaum, dengan membawa kabar. Jika beliau menginginkan, mungkin beliau langsung mendatangi kaum itu dan berbicara kepada mereka atau beliau mengutus kepada mereka beberapa orang, namun beliau hanya mengutus seorang yang diketahui kejujurannya.” (Ar-Risalah, hal 412) Lanjutkan membaca

CONTOH-CONTOH HADITS AHAD DALAM SHAHIH BUKHARI SEBAGAI HUJJAH ATAS AMAL, AQIDAH DAN AKHLAK


CONTOH-CONTOH HADITS AHAD DALAM SHAHIH BUKHARI SEBAGAI HUJJAH ATAS AMAL, AQIDAH DAN AKHLAK

Tanya Jawab bersama
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله


MUKADDIMAH

hadits ahad, hujjahkahPembahasan mengenai hadits ahad dan hubungannya dangan aqidah, atau hukum dan aqidah, itu tidak pernah dibicarakan oleh generasi pertama, kedua maupun ketiga. Khususnya para sahabat tidak pemah memilah atau membagi-bagi hadits, seperti pembagian yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah bahwa hadits ahad hanya terbatas untuk hukum, sedangkan hadits mutawatir dapat dipakai untuk aqidah. Pembagian seperti ini tidak pernah dikenal, kecuali oleh ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah. Dan fikrah ini terus berkembang sampai pada awal abad kedua puluh, hingga timbul Mu’tazilah gaya baru, atau yang kita kenal dangan Hizbut Tahrir.  

KECEROBOHAN HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir membagi, hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam, sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum. Adapun para sahabat, tabiin dan tabiut tabi’in menerima hadits, jika hadits tersebut sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka tidak membaginya sebagaimana yang dilakukan oleh mu’tazilah dan yang sepaham dangannya. Jadi, para sahabat melihatnya, sah atau tidak, jika sesuai dangan kaidah-kaidah ilmu hadits, maka diterima baik untuk masalah hukum ataupun aqidah.

Jadi pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bidah). Ini bisa dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan nash Al Qur’an, banyak ayat (firman Allah) yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i. Diantaranya tersebut dalam kitab Ar Risalah, bahwa khabar ahad itu diterima. Demikian juga dari hadits-hadits yang akan kita lihat. Diantaranya, bahwa Rasulullah mengutus sebagian sahabat orang per orang untuk menyampaikan Is­lam.

Pembagian yang dilakukan Hizbut Tahrir tersebut bertentangan dangan Ijma’ para sahabat. Para sahabat tidak pernah menolak hadits yang disampaikan oleh satu sahabat yang lain yang berkenaan dangan aqidah dan contoh tentang ini banyak sekali. Bertentangan dangan kaidah ilmu hadits, yang dapat menunjukkan kebodohan mereka. Memang, perlu diketahui bahwa ahlul bid’ah itu menegakkan manhaj mereka atas dasar kebodohan dan hawa nafsu. Sedangkan Ahlus Sunnah menegakkan manhaj di atas dasar ilmu dan keadilan.

Tampak sangat jelas kebodohan HT yang menolak khabar ahad untuk aqidah, karena hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berbicara tentang Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk menjelaskan Al Qur’an. Tentunya, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dinul Islam. Alloh berfirman :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An Nahl : 44).

Ayat yang mulia ini, memberkan sejumlah faidah, hukum dan qawaid. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al Qur’an. Penjelasan Beliau tentang Al Qur’an ini, agar manusia faham dangan apa yang dimaksudkan oleh AllahPenjelasan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat luas, meliputi apa yang ada dalam Al Qur’an, bahkan yang tidak disebutkan secara terperinci di dalamnya, meskipun secara mujmal (global) terdapat di dalam Al Qur’an. Karena itu, ulama membagi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadi beberapa bagian. Pendapat ini disampaikan oleh ulama, diantaranya Imam Syafi’i, kemudian dinukil Imam Baihaqi di dalam kitabnya Al Madkhal, dan Imam Suyuthi di dalam kitab Miftahul Jannah. Lanjutkan membaca