Imam Darimi


Imam Darimi

Pertumbuhan beliau

Nama: Beliau adalah Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad.

Kuniyah beliau; Abu Muhammad

Nasab beliau:

  1. At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
  2. Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
  3. As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau

Tanggal lahir:

Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.

Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu. Lanjutkan membaca

Imam Ibnu Majah


 Imam Ibnu Majah

Pertumbuhan beliau

Nama: Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî.

Nama yang lebih familiar adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau.

Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh

Nasab beliau:

  1. Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab.
  2. al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq.

Tanggal lahir:

Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209 hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau. Lanjutkan membaca

Ibnu Hajar al-Asqalani


Biografi Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani
(12 Sya’ban tahun 773H sd 28 Dzulhijjah 852H.)

Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab

Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)

Gelar dan Kunyah Beliau

Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhisyaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya namaAt-Taufiq dan sang penjaga tahqiq. Lanjutkan membaca

Said bin al-Musayyib


Said bin al-Musayyib

Tokoh kita kali ini adalah salah seorang yang berpengetahuan luas dan biografinya pantas kami ketengahkan. Memang dia tidak begitu terkenal di kalangan khalayak umum, akan tetapi karena kepakaran ilmunya dia terkenal di kalangan intelektual dan para cendekia.

Nama Lengkapnya

Nama beliau adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Mahzumi Al-Madani, panggilannya adalah abu muhammad al-madani beliau adalah salah satu pembesar para tabi’in.

Lahir dan wafatnya

Said bin Al-Musayyib dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah umar bin khattab. Sedangkan wafatnya, dari Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib meninggal dunia di madinah pada tahun 94 Hijriah pada masa pemerintahan khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Pada saat meninggal dunia, dia berumur 75 tahun. Tahun dimasa said meninggal dunia disebut sebagai sanah al-fuqaha’(tahun bagi ulama’ fikih) kerena pada saat itu banyak ahli fikih yang meninggal dunia.”

Ilmu Pengetahuannya

Said bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di madinah pada masanya dan yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’ fiqih. Lanjutkan membaca

Biografi Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr


Biografi Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr

Beliau adalah Al-Allamah al-Muhaddits al-Faqih az-Zahid al-Wara’ asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad bin ‘Utsman al-‘Abbad Alu Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memperpanjang usia beliau dalam ketaatan kepada-Nya dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla. Alu Badr merupakan keturunan Alu Jalas dari Kabilah ‘Utrah salah satu kabilah al-‘Adnaniyah. Kakek tingkatan kedua beliau adalah ‘Abdullah yang memiliki laqob (gelar) ‘Abbad, yang kemudian akhirnya keturunan beliau dikenal dengan intisab kepada laqob ini, diantaranya adalah Syaikh ‘Abdul Muhsin sendiri. Ibu beliau adalah putri dari Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Badr.

Kelahiran Beliau

Beliau lahir setelah sholat Isya’ pada malam Selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 1353H di ‘Zulfa’ (300 km dari utara Riyadh). Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh masyaikh Zulfa.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Ketika dibangun Madrasah Ibtida’iyah pertama kali di Zulfa pada tahun 1368, Syaikh masuk ke madrasah ini pada tahun ketiga dan memperoleh ijazah Ibtida’iyah pada tahun 1371 H. Kemudian Syaikh pindah ke Riyadh dan masuk ke Ma’had al-‘Ilmi Riyadh, salah satu tempat belajar Imam Ibnu Bazz rahimahullahu sebelumnya. Setelah lulus, syaikh melanjutkan studinya di Kuliah Syari’ah di Riyadh. Menjelang tahun akhir studi beliau di Kuliah, beliau mengajar di Ma’had Buraidah al-‘Ilmi, ketika akan ujian akhir kuliah, beliau kembali ke Riyadh dan menyelesaikan ujian beliau. Lanjutkan membaca

Syaikh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri (Wafat 1427 H)


Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Apabila tidak tersisa lagi orang yang berilmu, maka manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanyai dan berfatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat lagi menyesatkan.”

Peta India Dan Allah pun telah mewafatkan salah seorang ulama Islam dari Negeri India, yaitu Asy-Syaikh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri pada hari Jum’at tanggal 1 Desember 2006, ba’da shalat Jum’at di kota Mubarakfur India. Asy-Syaikh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri adalah salah seorang ulama dari Jami’ah As-Salafiyah di Kota Benares India.

Beberapa rujukan tentang berita wafatnya beliau: From Abu ‘Abdillaah Waseem Ahmad ibn ‘Abdurraheem Alhindee (posted in http://www.salafitalk.net):

Ash Shaykh Safeeurrahmaan Mubarakpuree rahimahullaah the author of the Seerah of Rasulullaah sallallaahu ‘alaihi wa sallaam Ar-Raheeq Al Makhtoum passed away an hour ago in India. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilayhi Raajioon. Lanjutkan membaca

Shiddiq Hasan Khan (Wafat 1307 H)


Nasabnya

Beliau adalah Al-Imam Al-’Allamah Al-Ushuli Al-Muhaddits Al-Mufassir As-Sayyid Shiddiq bin Hasan bin Ali bin Luthfullah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinnauji. Nasab beliau berakhir pada Al-Imam Husain, cucu terkecil dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Kelahiran dan Pertumbuhannya

Beliau lahir pada bulan Jumadil Ula tahun 1248 H (sekitar 1832) di Negeri Berlhi tanah air kakeknya yang terdekat dari pihak ibu. Kemudian keluarga beliau pindah ke kota Qinnauj, tanah air kakek-kakeknya. Ketika tahun keenam ayahnya wafat. Tinggallah ia di bawah asuhan ibunya dalam keadaan yatim. Shiddiq kecil tumbuh sebagai seorang yang afif (memelihara diri), bersih dan cinta kepada ilmu dan para ulama.

Ilmu Beliau dan Belajarnya

Beliau safar ke Delhi untuk menyempurnakan pelajarannya di sana. Beliau bersungguh-sungguh mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membukukan ilmu keduanya. Beliau memiliki keinginan yang kuat untuk mengumpulkan buku-buku, mendapatkan pemahaman tambahan dalam membacanya serta meraih faedah-faedahnya, khususnya kitab-kitab tafsir, hadits dan ushul. Kemudian beliau safar ke Bahubal untuk mencari biaya penyambung hidup beliau. Di sana beliau mendapatkan faedah besar, yaitu menikah dengan Ratu Bahubal dan beliau digelari dengan Nawwab Jaah Amirul Malik bi Hadar. Lanjutkan membaca

PRINSIP PRINSIP IMAM SYAFI’I DALAM BERAGAMA



 

 

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له.

وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد:

Tidak diragukan bahwa Imam Syafi’I –rahimahullah– adalah salah seorang ulama besar yang karismatik yang namanya tidak asing lagi bagi kaum muslimin, beliau termasuk sosok ulama pembaharu agama yang mempunyai jasa besar dan memiliki usaha yang mulia lagi berkah dalam mengajak umat untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dan mendidik mereka diatas landasan Tarbiyah dan Tashfiyah.

Manhaj Imam Syafi’I dalam aqidah dan prinsip prinsip beliau dalam beragama adalah manhaj dan prinsip Ahlusunnah wal jama’ah, tidak ada perbedaan, mereka mengambil dari sumber yang sama, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, oleh karenanya perkataan imam Syafi’I dan perkataan imam imam Ahlusunnah yang lain seperti Imam Ahmad Bin Hambal, Malik, Abu Hanifah, Al Auzaa’I, Ats Tsauri, Sufyan Bin ‘Uyainah, Abdullah Bin Mubaarok dan yang lain tentang aqidah dan prinsip prinsip beragama adalah sama tidak ada kontradiksi dan perbedaan kecuali dalam redaksinya saja[1]. Betapa bagusnya ungkapan Imam Abu Mudzoffar As Sam’aani –beliau adalah salah seorang ulama syafi’iyah- yang mengatakan: “Jika kamu memperhatikan/membaca seluruh kitab kitab karya mereka (Ahlussunnah) dari pertama sampai terakhir, yang klasik dan kontemporer, sedang zaman mereka berbeda dan tempat tinggalnya berjauhan, masing masing tinggal di tempat yang terpisah, niscaya kamu dapatkan mereka dalam menjelaskan aqidah (prinsip prinsip agama) dengan metode yang sama dan cara yang tidak berbeda, mereka mengikuti sebuah metode yang tidak akan melenceng dan condong darinya, perkataan mereka dalam hal tersebut satu, kamu tidak dapatkan kontradiksi dan perbedaan diantara mereka dalam suatu perkara sedikitpun, bahkan jika kamu kumpulkan apa yang keluar dari mulut mereka dan apa yang mereka nukilkan dari salaf (pendahulu) mereka, niscaya kamu dapati seolah olah hal (perkataan) itu keluar dari satu hati dan muncul dari satu lisan”[2].

Adakah bukti yang lebih nyata yang menjelaskan akan kebenaran dari pada ini? Nah, apakah rahasia dan penyebab yang menjadikan mereka bersatu dalam aqidah dan prinsip prinsip beragama? Tiada lain kecuali karena mereka semuanya mengambil agama dari sumber yang satu, yaitu  Al Qur’an dan Sunnah, adapun orang orang yang mengambil aqidah dan agamanya dari selain Al qur’an dan Sunnah, seperti akal, logika dan mimpi, maka mereka selalu dalam perselisihan yang tajam dan kontradiksi yang dahsyat, habis umur mereka akan tetapi tidak pernah bersatu dalam aqidah dan prinsip prinsip beragama, kamu menyangka mereka bersatu tetapi hati mereka bercerai berai dan bermusuhan, tentu ini adalah bukti kebatilan yang nyata dan kesesatan yang jauh, Allah Ta’ala berfirman:

ﮋ ﭿ    ﮀ      ﮁ    ﮂ  ﮃ   ﮄ  ﮅ   ﮆ  ﮇ  ﮈ  ﮉ  ﮊ النساء: ٨٢

“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.

Inilah pertanda ahlubid’ah dan seluruh sekte yang menyimpang dari sunnah, mereka selalu dalam pertentangan yang berkepanjangan, adapun Ahlussunnah wal jama’ah apa yang mereka tulis dan katakan semuanya sama tidak ada pertentangan dalam kandungan dan maknanya, oleh karenanya jika anda membaca kitab yang menjelaskan aqidah imam Syafi’I, atau kitab yang ditulis oleh Imam Ahmad Bin Hambal dalam aqidah, atau kitab yang ditulis oleh Syeikhul islam Ibnu Taimiyah dan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Bin Abdulwahhab tentang aqidah atau kitab yang ditulis oleh salah seorang ulama Ahlussunnah dizaman sekarang ini, niscaya anda akan mendapatkan aqidah yang sama dan prinsip prinsip agama yang tidak berbeda dan berobah. Lanjutkan membaca

Foto Dokumenter Syaikh al-Albani


Syaikh Muhammad Nashiruddun Al Albani rahimahullah seorang pakar hadist yang sangat terkenal diabad ini,seorang da’i yang sabar dalam menyebarkan ilmu dan berdakwah mengajak manusia kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.

Belum lama ini beredar di negeri arab film dokumenter  jejak kehidupan Syaikh Albani.Sejumlah  gambar cuplikan dari film tersebut dipotong dan diedarkan di beberapa forum internet.Inilah gambar-gambar tersebut,mudah-mudahan  ada pelajaran yang bisa diambil bagi para tholabul ilmi dari kehidupan beliau yang tercermin dari gambar-gambar dibawah ini. Lanjutkan membaca

Mengenal Abu Hasan al-Asy’ari


Namanya adalah Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, nashab-nya bersambung hingga Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.1 Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H2 dan wafat pada tahun 324 H di kota Baghdad –menurut pendapat yang benar3– serta dimakamkan di sana. Keyakinan dan pemikiran4 hidupnya mengalami tiga fase, yaitu:

Pertama, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan Abu Ali al-Juba’i –seorang tokoh dan guru kaum Mu’tazilah–, mengambil ilmu darinya dan menjadi wakil serta kepercayaannya. Sehingga dia menjadi seorang Mu’tazilah yang menyerukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada naql (nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits). Hal itu berlangsung selama kurun waktu 40 tahun.

Kedua, pada suatu ketika dia meneliti ulang tentang keyakinan dan pemikiran Mu’tazilahnya. Dan sempat menghilang dari tengah-tengah khalayak selama 15 hari, berdiam diri di rumahnya guna merenungi dan mengkaji ulang keyakinan dan pemikirannya, lalu beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah hingga ia mendapatkan ketenangan.

Setelah itu dia pun muncul kembali di tengah khalayak dan menyatakan bara’ah-nya (berlepas diri) dari Mu’tazilah, pemahaman yang sejak awal dipelajari dan diyakininya. Dalam hal ini dia menulis kitab al-Luma’ fir-Raddi ‘ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’.

Namun setelah ia meniti jalan yang baru, dia kembali terperosok dalam penakwilan nash-nash sifat-sifat Allah yang dianggapnya sesuai dengan hukum akal. Dalam hal ini ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab5 yang menetapkan tujuh “sifat dzat” bagi Allah dengan dalil akal, yaitu: sifat Hayat (hidup), sifat ‘Ilmu, sifat Iradah (keinginan), sifat Qudrah (kekuasaan/kemampuan), sifat Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan) dan sifat Kalam (berbicara).

Adapun sifat khabariyyah, seperti sifat Wajah, sifat Dua Tangan, sifat Telapak Kaki dan Betis6 maka ditakwilkan kepada makna yang menurutnya selaras dengan hukum akal. Sedangkan sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan masyi’ah (kehendak)7 ditolaknya (tidak menetapkannya).

Keyakinan dan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari pada fase kedua inilah yang kemudian diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah sampai sekarang. Mereka “menyangka” bahwa inilah fase terakhir yang dialaminya.

Ketiga, yaitu fase di mana Abul-Hasan menemukan jalan Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua sifat Allah tanpa tahrif8 dan tasybih/tamtsil9, serta tanpa takyif10 dan ta’thil11; mengikuti manhaj (jalan) yang ditempuh oleh Salafush-Shalih (generasi utama seperti Sahabat, Tabi’in dan Atba at-Tabi’in). Pada fase ini dia menulis beberapa kitab yang utamanya adalah kitab “al-Ibanah ‘An Ushulid-Diyanah.12” Didalamnya dia menjelaskan bagaimana dia memilih akidah dan manhaj Salaf, serta menyatakan dirinya merujuk kepada Imam Ahlus-Sunnah, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Dia menyatakan di kitab al-Ibanah tersebut (hal. 43); “Pendapat dan agama yang kami pegang adalah berpegang kepada kitab Rabb kami (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi kami (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam hadits; kami berpegang erat kepada itu semua. Kami sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal –semoga Allah menjadikan wajahnya berseri, mengangkat derajatnya dan melimpahkan pahalanya–, dan kita menjauhi orang-orang yang menyelisihinya, karena dia adalah imam yang utama dan pemimpin yang sempurna; melaluinya Allah menjelaskan kebenaran disaat muncul kesesatan dan melaluinya pula Allah menjelaskan jalan yang terang, mengalahkan bid’ah-bid’ah, penyimpangan dan keraguan yang dilakukan oleh para pelakunya…”

Disamping itu dia juga telah menulis kitab “Maqalat al-Islamiyyin” dan “al-Risalah Ila Ahli al-Tsaghr.”

Namun demikian, karena telah begitu lamanya dia mendalami madzhab Mu’tazilah, sehingga menjadikannya tidak selamat dari beberapa kesalahan. Semoga Allah merahmati Beliau dan mengampuni segala kesalahannya.
Sebagian Pemikiran Asy’ariyyah yang Menyimpang dari Ahlus-Sunnah

Dalam banyak hal, pemikiran kelompok Asy’ariyyah menyepakati akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, namun tidak sedikit pula yang menyelisihinya. Di antaranya yang terpenting adalah:

Pertama: Tentang Sifat-sifat Allah.

Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)13 yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk.

Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya);

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11)

Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain. Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk. Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya. Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam.

Kedua: Tentang Perbuatan Hamba.

Kelompok Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah sekaligus merupakan usaha (kasb) hamba. Yang maksudnya bahwa qudrat (kemampuan) hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya –dengan berbagai bentuknya– yang muncul dari dirinya; karena Allah telah memberlakukan penciptaan perbuatan hamba tersebut bergandengan dengan qodrat-nya –dalam waktu yang bersamaan–, dan inilah yang mereka sebut sebagai kasb. Jadi, yang murni berpengaruh terhadap kemunculan perbuatan hamba adalah qodrat Allah, dalam arti bahwa hamba tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Pendapat mereka dalam masalah ini serupa dengan pendapat Jabriyyah (suatu kelompok dari kalangan Jahmiyyah).

Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena jika hamba tidak memiliki ikhtiar (pilihan) atas perbuatan, maka apa yang mereka sebut sebagai kasb itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Dan perkataan tersebut menghasilkan konsekuensi bahwa kalau hamba tidak dikatakan sebagai pelaku perbuatan yang hakiki, maka berarti pelaku hakiki perbuatan tersebut adalah Allah. Padahal perbuatan tersebut melekat pada hamba dan tidak pada Allah. Sehingga kalau hamba bukan pelakunya –padahal jelas ia yang melakukannya, maka bagaimana dikatakan bahwa Allah yang menjadi pelakunya? Karena kalau Allah pelakunya, maka hukum-hukum syari’at yang Allah tetapkan akan kembali kepada-Nya –termasuk balasan pahala dan siksa–, dan ini suatu hal yang mustahil. Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal ini. Jika demikian, apakah akan dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada pelakunya?! Dan ini adalah bathil.

Sedangkan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) itu pelakunya yang hakiki adalah hamba itu sendiri dengan ikhtiarnya, namun hal itu termasuk di antara perkara yang telah ada catatan takdirnya dari Allah. Jadi hambalah yang betul-betul melakukannya, tetapi Allah yang menciptakannya, yang menciptakan qodrat, iradat dan sebab; yang dengannya hamba melakukan perbuatan.

Periksa kembali bantahan dan jawaban terhadap kelompok Jahmiyyah dalam masalah ini di majalah Fatawa edisi 05/II.

Catatan Kaki:
^ Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. al-Asy’ari adalah penisbatan kepada kabilah Asy’ar yang terkenal di Yaman. Asy’ar nama aslinya adalah Nabt bin Udad. (Tarikh Baghdad 11/346 oleh al-Khathib al-Baghdadi; dan Tabyin Kadzibil-Muftara 34-35 oleh Ibnu Asakir)
^ Inilah yang benar sebagaimana dalam Tarikh Baghdad (11/346); lihat juga Muqaddimah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari terhadap kitab al-Ibanah karya Abul-Hasan al-Asy’ari (hal. 5-6). Adapun yang tercantum dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal-Madzahib (1/87) yaitu tahun 270 H, barangkali merupakan kesalahan cetak, wallahu a’lam.
^ Merupakan pendapat Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh al-Khathib dalam Tarikh-nya (11/346); lihat juga Tabyin Kadzibil-Muftara (hal. 56) oleh Ibnu Asakir.
^ Diantaranya dijelaskan oleh Syaikh Hammad al-Anshari dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Ibanah (hal. 8-12); Beliau nukilkan beberapa perkataan para ulama yang menetapkan tentang fase-fase kehidupan Abul-Hasan al-Asy’ari sehingga menjadi seorang yang berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih.
^ Kemudian dikenal dengan Ibnu Kullab dan pengikutnya disebut Kullabiyah.
^ Sifat dzat Allah terbagi dua: pertama, yaitu sifat dzat khabariyyah (yang dari sisi lafazhnya digunakan untuk anggota-anggota tubuh makhluk, namun hakikatnya berbeda antara Allah dengan makhluk-Nya, karena kesamaan dalam lafazh tidak mesti harus sama hakikatnya) seperti sifat Wajah, Dua Tangan, Dua Mata dan lainnya. Kedua, sifat dzat maknawiyyah (selain dari sifat khabariyyah) seperti sifat Hayat (Hidup), Ilmu, Iradah (Keinginan) dan lainnya.
^ Maksudnya adalah sifat-sifat fi’liyyah (perbuatan) yang terkait erat dengan kehendak-Nya. Sifat-sifat fi’liyyah ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan sebab yang ada pada hamba seperti Mencintai, Membenci, Ridha, Murka (marah) dan lainnya. Kedua, sifat fi’liyyah yang tidak terkait dengan sebab yang ada pada makhluk, seperti sifat Nuzul (turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam yang terakhir), Sifat Dhahik (Tertawa) dan lainnya. Yang kesemuanya berbeda hakikatnya dengan perbuatan-perbuatan makhluk, walaupun sama dalam lafazhnya.
^ Tahrif yaitu menyimpangkan lafazh maupun makna dari nama atau sifat Allah kepada lafazh lain atau makna lain dengan tanpa dalil.
^ Tasybih/tamtsil yaitu menyerupakan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
^ Takyif yaitu menetapkan suatu bentuk atau hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah, padahal sifat-sifat Allah itu ghaib sebagaimana dzat-Nya.
^ Ta’thil yaitu meniadakan atau mengingkari sebagian maupun keseluruhan dari sifat-sifat Allah.
^ Sebagian orang menolak kebenaran penisbatan kitab ini kepada Abul-Hasan. Namun hal ini terbantah dengan apa yang ditetapkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzibil-Muftara dan Ibnu Darbas dalam kitabnya adz-Dzabbu ‘An Abil-Hasan al-Asy’ari. Lihat disertasi magister yang ditulis oleh Khalid bin Abdul-Lathif bin Muhammad Nur dengan judul Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wa Manhaj al-Asya’irah (1/32-39).
^ Lihat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim no. 758.
Incoming search terms:
asy ariyyah
Al-Asy’ari)
makalah tentang Asyariyah dan ahlussunnah wal jamaah
Asy’ariyyah
pengertian asyariyyah
asyariyah
artikel tentang asy ariyah
makalah asyariyah
kasb ahlusunnah
menyamakan dzat allah dan makhluk

sumber  :  Blog  Abu Muhammad Faiz