Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah dalam Aqidah Bag.1


Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah dalam Aqidah Bag.1

Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli

Pendahuluan


Makalah ini kami buat khususnya untuk
menjelaskan kepada para sahabat kami yang masih
jatuh kepada kekeliruan penolakan penetapan aqidah
menggunakan hadits ahad. Dan kepada kaum
mukminin umumnya agar mereka tidak terjatuh
sebagaimana orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan
yang semodelnya jatuh dalam kesesatan.
Intinya pembahasan ini mengenai apakah hadits
ahad dapat dijadikan hujjah di dalam aqidah? Padahal
menurut sebagian ulama, hadits ahad bersifat zhannni
tsubut (dugaan pada penetapan) dari Rasulullah
shalaullahu ‘alaihi wasallam. Dan masih mungkin ada
kedustaan dan kekeliruan dalam periwayatannya.
Untuk lebih jelasnya, silakan mengikuti pembahasan
ini.
Definisi Hadits Mutawatir dan Ahad
Hadits dibagi dalam dua jenis dilihat dari segi jumlah
periwayatnya :
1. Hadits Mutawatir.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok
perawi yang dengan jumlah itu dianggap mustahil
dapat melakukan kebohongan secara bersama.
Dengan definisi ini keabsahannya bersifat mutlak.
Jika, hadits itu hanya mengandung satu makna,
maka ke-absahannya hanya berlaku pada makna
tunggal tersebut. Dan bila kedua syarat ini terdapat
dalam satu hadits, maka ia dikategorikan memberi
khabar (muatan) yang bersifat ilmul yaqin
(kebenarannya mutlak). Karena itu ia dijadikan
hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. (Pengantar
Studi Aqidah Islam, hal : 23)
2. Hadits Ahaad.
Yaitu bila jumlah perawinya tidak sebanyak
perawi hadits mutawatir. Hadits ini terbagi dalam
empat bagian :
a. Masyhur.
Yaitu bila perawinya ada 3 orang.
b. Mustafidh.
Yaitu bila perawinya lebih dari 3 orang. Tapi
mayoritas ulama menganggap kedua jenis
tersebut sama saja. Dan bahwa keduanya
menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu dan
yakin (mutlak). Jika ia hanya memuat satu
makna, maka keabsahan itu berlaku untuk
makna tunggal tersebut. Maka, kedua jenis ini
dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid.
c. `Aziz.
Yaitu bila ia diriwayatkan oleh 2 orang,
walaupun itu hanya pada peringkat pertama dari
seluruh rangkaian peringkat sanadnya. Jenis ini
juga menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu
dan yakin (mutlak) bagi sebagian besar ulama.
Dengan begitu, jenis inipun dijadikan hujjah
dalam ilmu aqidah dan tauhid.
d. Khabarul Wahid .
Yaitu bila perawinya hanya satu orang. Bila
perawi tunggal berada pada seluruh rangkaian
sanadnya, maka ia disebut Al-Fardul Muthlaq
(tunggal mutlak). Tapi bila perawi tunggal itu
berada pada peringkat pertama atau kedua dari
seluruh rangkaian sanadnya, kemudian ia
tersebar dan diriwayatkan oleh lebih dari satu
orang pada peringkat selanjutnya, baik sama
dengan jumlah perawi mutawatir, masyhur atau
mustafidh, maka ia disebut Al-Fardun Nisby
(tunggal relatif). (Pengantar Studi Aqidah
Islam, hal : 24) (Kami nukil dengan sedikit
perubahan dari makalah ”Menepis Syubhaat
Hadits Ahad, karya Al-Ustadz Abu Ahmad Al-
Fauzi, Lc. Halaqoh Studi Mengenal Islam
(HASMI) Bogor)
Sejarah Pembagian Hadits Menjadi Mutawatir dan
Ahad
Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-
Wadi’i rahimahullah berkata : ”Adapun pembagian
hadits menjadi ahad dan mutawatir adalah pembagian
yang bid’ah, dan orang yang pertama kali melakukan
kebid’ahan ini adalah Abdurrahman bin Kaisaan
Al-’Asham, sebagian orang mengatakan: ’Ia Asham
(tuli) dari kebenaran.’ Dan muridnya yang bernama
Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim yang populer dengan
nama Ibnu ’Ulayyah mengikuti pula pendapatnya,
sedangkan ayahnya (ayah dari Ibrahim bin Ismail bin
Ibrahim) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu
’Ulayyah –Ismail bin Ibrahim- adalah salah satu dari
para syaikh Imam Ahmad dan termasuk rijal-rijalnya
Syaikhain (Bukhari dan Muslim). Adapun Ibrahim bin
Ismail adalah jahmiyun dari kulitnya (pengikut Jahm
bin Shafyan orang zindiq yang sesat-pen). Adapun
istilah mutawatir yang digunakan oleh Imam Syafi’i
sebagaimana di dalam kitabnya ”Al-Risalah” berasal
dari ahli kalam/filsafat”(Al-Muqtarah, hal. 64)
Apa yang dinyatakan oleh Syaikh Muqbil
rahimahullah bahwa Imam Syafií di dalam kitab”Al-
Risalah” menggunkan istilah mutawatir adalah tidak
benar, yang ada hanya istilah khabar wahid (dan
bukan pula kabar ahad).
Pembagian hadits menjadi mutawir dan ahad tidak
dikenal oleh ulama hadits sebelumnya kecuali
generasi sesudahnya, dan istilah ini diadopsi dari ahli
ushul. Istilah ini tidak ditemukan dalam kitab ahli
hadits semacam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al-
Risalah Imam Syafi’i dan sebagainnya. Yang adanya
hanya istilah khabar wahid yaitu kabar yang dinukil
satu orang dari satu orang sampai keakhir sanad,
bukan khabar ahad seperti yang didefinisikan oleh
ushuliyyin, yaitu kabar yang tidak terdapat padanya
syarat-syarat mutawatir. Bahkan khabar wahid yang
dimaksud oleh ahli ushul berbeda dengan definisi
khabar wahid yang dimaksud ahli hadits sebelumnya.
Berkata Al-Juwaini (beliau adalah salah satu ahli
ushul) :”Yang dimaksud dengan khabar wahid (ahad)
bukanlah kabar yang dinukil dari satu orang. Akan
tetapi setiap kabar dari sesuatu yang jaaiz dan
mungkin, serta tidak dapat dipastikaan kebenarannya
dan kebohongannya secara dharuri ataupun istidlali,
maka kabar tersebut khabar ahad, baik dinukil oleh
satu orang ataupun banyak orang.”(Al-Burhan,
489-492)
Bahkan sebagian ulama ahli hadits seperti Al-
Khathib Al-Baghdadi yang menggunakan istilah
tersebut terkesan mengikuti selain ahli hadits
sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Shalah. Andaikan
didapatkan istilah ini pada perkataan Al-Hakim, Ibnu
Abdil Barr dan Ibnu Hazm memakai istilah mutawatir
maka yang dimaksud disini adalah perkataan ”Telah
mutawatir dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam
begini………hadits ini mutawatir” sebagaimana yang
diterangkan oleh Al-Iraaqi (Lihat Tadribur
Rawi,2/176).
Pembagian tersebut lebih dikenal di dalam ilmu
ushul fiqih yang sumbernya berasal dari ilmu kalam.
Ulama ushul yang terkenal dengan pembagian tersebut
adalah Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya Al-
Mustashfa. Kemudian mayoritas ahli ushul
mengikutinya. Begitu juga ulama ahli hadits
mutaakhirun pun mengikutinya seperti Ibnu Atsir Al-
Jazri dalam Mukaddimah kitab Jami’ Al-Ushul, Al-
Khathib dalam kitabnya Al-Kifayah.
Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abill Izz dalam
Syarah Aqidah Thahaawiyah, ketika mensyarah
perkataan Imam Al-Thahawi ”Seluruh hadits yang
shahih dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam
berupa syariat dan bayan adalah hak.” Imam Ibnu Abil
Izz berkata :”Syaikh(Al-Thahawi) mengisyaratkan
kepada bantahan terhadap kelompok Jahmiyah,
Muaththilah, Mu’tazilah dan Rafidhah yang
mengatakan bahwa kabar terbagi dua ; mutawatir dan
ahad.”
Tujuan Pembagian Hadits Mutawatir dan Ahad di
Sisi Sebagian Ulama Ahlus Sunnah
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagian
hadits menjadi mutawatir dan ahad ini, diistilahkan
oleh para fuqaha dan ahli hadits belakangan.
Sebelumnya, pada masa sahabat dan tabi’in belum
pernah dikenal. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk
memilah-milah hadits setelah tersebarnya fitnah dan
banyaknya pemalsuan hadits, dan untuk menentukan
tingkatan-tingkatan hadits.
Pembagian ini sangat bermanfaat. Diantara
kegunaannya, yaitu bila ada ta’arudh (pertentangan)
antara satu hadits dengan hadits lain dan tidak
mungkin dikompromikan, maka memungkinkan untuk
men-tarjih(menguatkan) salah satunya. Namun hal itu
bukan berarti bahwa yang mutawatir tidak dapat di-
nasakh(hapus) atau di-takhshish (dikecualikan) dan di-
muqayad (dibatasi) dengan hadits ahad. Contohnya
adalah pemindahan arah kiblat dimana kabar seorang
utusan Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam menjadi
hujjah bagi kebanyakan sahabat untuk merubah arah
kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis berubah
menghadap ke-Ka’bah. Disamping itu, untuk dapat
menentukan sikap yang tepat kepada orang yang
menolak satu hadits ahad. Orang yang menerima
istilah mutawatir dan ahad –yaitu jumhur- tidak
mengkafirkan orang yang menolak satu hadits ahad
atau hadits tertentu dari hadits ahad, sebab sebagian
pendapat menyatakan pada asalnya ia adalah zhannni
at tsubut, akan tetapi perbuatannya ini adalah maksiat
dan sesat.
Kekuatan Hadits Ahad
Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu
memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan
yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi
kemungkinan dusta atau salah dari para perawi.
Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan
yang banyak dan polemik yang panjang. Akan tetapi
dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat.
Pertama : Hadits ahad memberikan makna qath’i
(pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak,
baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim
ataupun oleh yang lain. Ini adalah madzhab Daud
Al-Zhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (245
H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik
(menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang
dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al-
Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya
perkataan satu orang yang adil dari orang yang
sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal
sekaligus”. Alasan mereka adalah :
1. Ilmu yaqini ini, bersifat ilmu nazhari
burhani. Artinya keyakinan yang didasarkan
kepada penelitian dan pembuktian. Karena
itu, kemampuan melakukan penelitian serta
pembuktian tidak dimiliki, kecuali oleh orang
alim (berilmu) yang ahli dalam bidang hadits,
yang mengetahui ihwal para perawi dan
macam-macam illat. Adapun orang lain yang
tidak memiliki sifat-sifat ini, tidak mungkin
akan menghasilkan ilmu yaqini ini.
2. Ilmu pasti yang didapatkan oleh orang alim
yang ahli ini, tidaklah terbatas pada Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim saja, sebab
keduanya tidak menghimpun keseluruhan
hadits shahih.

3. Ijma’ ulama telah tegak, bahwa hadits ahad
adalah hujjah dan wajib diamalkan, dan tidak
dapat diterima secara akal, bila ada sesuatu
yang wajib diamalkan tanpa meyakini
kebenarannya. Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Ijma’ yang disebutkan berkaitan dengan
hadits (riwayat) satu orang yang adil dalam
hal i’tiqad, mendukung ucapan orang yang
mengatakan bahwa hadits ahad mewajibkan
ilmu (keyakinan)”.
4. Sesungguhnya kabar Nabi tidak boleh dusta
dan salah, maka seluruh ucapan Nabi dalam
agama adalah wahyu. Tidak ada khilaf,
bahwa wahyu itu dari Allah dan setiap wahyu
terpelihara dengan penjagaan Allah. Setiap
yang dijamin oleh Allah untuk dilindungi pasti
tidak akan hilang.
Catatan : Inilah pendapat kami (Abu Haura
Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli) penulis
makalah ini, kami menyakini hadits ahad
yang shahih apalagi tidak ditemukan
penyelisihan ulama mengenai keshahihanya
(ulama sepakat keshahihanya) maka hal ini
membawa faedah ilmu yakini, andaikata
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama
mengenai keshahihanya maka yang kami
ambil adalah yang paling kuat hujjah mereka
dalam penshahihan dan pedhaifannya. Dan
sebagaimana ucapan Syaikh Abu Abdirrahman
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –rahimahullah- :
”Dan tidaklah membahayakan bagi kami
entahkah (hadits ahad yang shahih itu)
membawa faedah ilmu ataukah zhann”(Al-
Muqtarah, hal. 65)
Kedua: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim atau oleh salah satunya,
maka ia adalah qath’i tentang keshahihannya dan
menghasilkan ilmu yang yakin.
Demikian ini madzhab Ibnu Al-Shalah (577-643
H), dan dia mengecualikan beberapa hadits yang
telah dikritik oleh para kritikus hadits seperti
Daruquthni (306-380 H).
Bahkan Al-Bulqini (724-805 H) mengatakan,
bahwa madzhab ini juga diikuti oleh sejumlah
huffazh mutaakhkhirin (para ahli hadits pada masa
belakangan), seperti Abu Ishaq Al-Syirazi
(343-376 H), Abu Hamid Al-Isfiraini (344-406
H), Qadhi Abu Al-Thib (w. 308 H) dari kelompok
Syafi’iyyah, Al-Sarkhasi (302-494 H) dari
Hanafiyyah, Qadhi Abdul Wahhab (362-422 H)
dari Malikiyyah , Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-
Khaththab (432-510 H), Ibnu Al-Zaghuni
(455-527 H) dari Hanabilah, Ibn Furak Al-Syafi’i
(w. 406 H), dan mayoritas Ahli Kalam dari
Asy’ariyyah, serta seluruh ahli hadits dan
madzhab Salaf secara keseluruhan. Bahkan Ibn
Thahir Al-Maqdisi menambahkan : “Semua hadits
yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga
qaht’i, meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibn Taimiyyah (726 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir
(700-774 H), dan Ibnu Hajar (773-852 H) dan
Ali Ibn Al Izz Al-Hanafi (731-792 H).
Syaikh Abdur Rahman Dimisyqiyah dalam
kitabnya, Mausu’ah Ahlis Sunnah menjelaskan,
madzhab ini juga dianut oleh Abu Al-Muzhaffar
As Sam’ani, Abu Abdillah Muhammad Al-
Humaidi, Al-Sakhawi, Al-Suyuthi (849-911 H),
Al-Allamah Muhammad Al-Sindi Al-Hanafi,
Syaikh Waliyullah Al-Dahlawi Al-Hanafi,
Muhammad Anwar Al-Kasymiri Al-Dubandi dan
Abu Bakar Al-Jashshash Al-Hanafi (305-370 H).
Alasan mereka adalah:
1. Hadits ahad yang dikeluarkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab
Shahih-nya memberikan ilmu yaqini karena
keagungan dua imam dalam disiplin ilmu
hadits ini melebihi ulama lain.
2. Para ulama telah menerima keduanya
dengan bulat. Penerimaan ini menunjukkan
qarinah (indikasi) terkuat dalam memberikan
ilmu yaqini, daripada sekedar banyaknya jalur
yang masih di bawah mutawatir. Akan tetapi,
ini khusus untuk hadits yang tidak dikritik
oleh para ulama huffazh (ahli hadits) dan
nuqqad (kritikus hadits) yang jumlahnya
mencapai 220 hadits, 78 khusus riwayat Imam
Bukhari, dan 100 khusus riwayat Imam
Muslim.
Ketiga : Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i,
akan tetapi zhannni tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah,
Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok
Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan
madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas
Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah
mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah). Di
antaranya adalah Al-Razi (544-606 H), Al-
Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (478 H) dan
Ibnu Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang
ditarjih oleh Imam Nawawi (631-670 H). Alasan
mereka adalah :
1. Hadits ahad memberikan ilmu zhannni
nazhari, bukan yaqini dharuri. Karena,
bersambungnya dengan Nabi memiliki satu
syubhat (kesamaran), baik dalam bentuknya
maupun maknanya. Adapun syubhat dalam
bentuknya, yaitu karena hubungan dengan
Rasul Allah tidak secara langsung. Adapun
dari segi maknanya, karena umat ini
menerimanya setelah generasi tabi’in. Ustadz
Abu Zahrah berkata,”Karena syubhat ini,
maka mereka mengatakan ‘ia wajib
diamalkan, selama tidak ada yang
menentangnya’.”
2. Seandainya ia memberikan keyakinan, tentu
tidak ada gunanya membedakan antara
mutawatir dan ahad, tentu boleh menasakh
Al-Qur’an dan hadits mutawatir dengannya,
karena ia satu kedudukan dalam memberikan
keyakinan.
3. Imam Haramain (370-478 H) berkata :
“Sesungguhnya perawi itu bisa salah –
seandainya salah, dan itu tidak mungkin, tentu
tidak ada rawi yang ruju’ dari riwayatnya-.
Apabila kemungkinan salah telah menjadi
jelas, maka memastikan kebenarannya adalah
mustahil”.
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahli
Sunnah dan Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar
ahad, dapat dikompromikan . Sebab seluruhnya –
kecuali Khawarij dan Mu’tazilah- bersepakat bahwa
hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannnya
adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani
(1173-1250 H): “Ketahuilah, perbedaan pendapat yang
kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu apakah
hadits ahad memberi informasi zhann atau ilmu,
dibatasi dengan ketentuan apabila khabar ahad ini tidak
dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang
bergabung dengannya dan menguatkannya, atau dia itu
masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku
perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan
pandapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah
disepakati bulat (Ijma’) untuk diamalkan sesuai
dengan konsekuensinya, maka ia adalah memberikan
ilmu (keyakinan), karena Ijma’ itu telah
menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal
kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima
oleh umat Islam, ada yang mengamalkannya dan ada
yang men-ta’wi-lnya”. (Irsyad Al Fuhul, 49).
Ibnu Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena
itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa
memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh
qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini
ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri
tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika
disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan
membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’
ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan
kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad.
Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i.
Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’
itu ma’shum”. (Majmu’ Al-Fatawa 18/ 40, 41, 48,
70). Al-Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat
yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan)
dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan
hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al-Ihkam
Fi Ushul-Al Ahkam, 2/ 50).
Kesimpulannya, secara umum (menurut sebagian
ulama-pen) hadits ahad itu memiliki karakter
memberikan zhannn, akan tetapi ucapan zhannniyah
al-hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-
benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama
ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk
menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama
terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna
zhannn. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan
keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat
nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para
ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik)
yang didapat secara otomatis. (Disadur dengan sedikit
perubahan dari makalah HADITS AHAD
MEMBERIKAN KEYAKINAN YANG BERSIFAT
NAZHARI karya Al-Ustadz Agus Hasan Bashori
hafizhahullah).

Alasan menolak hadist ahad dalam perkara Aqidah
Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah
taála- menyatakan bahwa hadist ahad tidak dapat
dijadikan hujjah dalam penetapan Aqidah. Beliau
beralasan bahwa hadist ahad hanya mendatangkan
zhann(dugaan/perkiraan) belaka, berbeda dengan
hadist mutawatir yang mendatangkan keyakinaan
secara qath’i (pasti).
Beliau berkata:“Karena itu khabar (hadist) Ahad
tidak dapat dijadikan dalil(hujjah) dalam penetapan
aqidah disebabkan ia bersifat zhann, sedangkan aqidah
harus dalam bentuk keyakinan. Di dalam Al-Quran
Allah Ta’ala telah mencela mengikuti zhannn. Allah
Ta’ala berfirman :
“Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan)
tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann”.
“Tidaklah kebanyakan mereka kecuali hanya
mengikuti zhann, sesunggahnya zhann itu tidaklah
memberikan faidah sedikitpun kepada
kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
“Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka
bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya
mengikuti zhann.” (QS. Al-An’aam : 116)
“Tidaklah mereka mengikuti kecuali hanya zhann
dan apa yang diingini ole hawa nafsu mereka.”(QS.
Al-Najm : 23)
“Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan)
tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann,
sesunggahnya zhann itu tidaklah memberikan faidah
sedikitpun kepada kebenaran.” (QS. Al-Najm :28)
Ayat-ayat tersebut dan selainnya menunjukkan
secara jelas tercelanya orang-orang mengikuti zhannn
di dalam penetapan aqidah. Tercelanya mereka
menunjukkan larangan mengikuti zhann. Sedangkan
khabar ahad bersifat zhann, menggunakan hadist ahad
didalam penetapan aqidah artinya sama dengan
mengikuti zhann, padahal telah terdapat celaan
mengikuti zhann secara jelas di dalam Al-Quran………
(hingga perkataan beliau-pen)…………Maka karena
itulah khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam
penetapan aqidah.
Hanya saja ayat-ayat ini membatasi (larangan
mengikuti zhann) khusus pada penetapan aqidah dan
tidak untuk penetapan hukum-hukum syari’at.
(kemudian beliau menjelaskan tema sebagian ayat di
atas mengenai pencelaan mengikuti zhann dalam
aqidah hingga perkataan beliau-pen)… maka hal itu
menunjukkan tema pembahasan dalam ayat tersebut
mengenai penetapan aqidah. Ini satu segi (dalam
persoalan aqidah-pen), segi yang lainnya (dalam
persoalan hukum-pen) bahwa Rasulullah-
shalaullahu’alaihi wassalam- menetapkan hukum
dengan khabar ahad, dan kaum muslimin pun
mengambil dan menetapkan hukum syari’at dari
khabar ahad…….”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz
I hal. 191-192)
Sanggahan :
Pendapat yang dilontarkan Syaikh Taqiyuddin Al-
Nabhani –rahimahullah ta’ala- perlu dikaji ulang.
Sebelumnya, terdapat suatu ungkapan yang cukup
terkenal yang diucapkan oleh Imam Malik bin Anas-
rahimahullah ta’ala -, yaitu:”Tidak ada seorang pun
setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari
perkataannya itu ada yang diambil dan yang
ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam”.
(Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

Insya Allah, Bersambung ke Bag. 2.