Fitnah Sururiyyah


 

Pertanyaan:

Assalaamu’alaikum, ustadz ana masih bingung tentang permasalahan yang

katanya semenjak Syaikh bin baz dan Syaikh albani rohimahumullah tidak

ada, surur merajalela di madinah dan menggerogoti salafiyyun di

madinah sampai2 ana bingung untuk ikut kajian yang mengatakan bahwa

al-sofwa surur, ustad yazid surur, ustadz hakim surur, dan lain-lain,

yang benar gmn ustadz?

Dijawab Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim

Permasalahan yang antum sampaikan ini –yang ana yakin antum nukil dari

orang lain, oleh karena itu jawaban ini ana tujukan kepada sumber

berita antum, maka harap jangan tersinggung jika ada kata-kata ana

yang kurang berkenan–, jawabannya perlu diperinci karena padanya ada

keterangan yang benar dan ada yang salah. Bahwa pemahaman sururiyyah

telah berkembang di Madinah, bahkan seluruh wilayah Arab Saudi

–apalagi di luar Arab Saudi– memang benar, tapi kalau dikatakan sampai

merajalela dan menggerogoti salafiyyun di Madinah, maka ini adalah

berita yang tidak benar, bahkan berita ini mengandung pelecehan dan

penghinaan kepada para Masyaikh Ahlusunnah yang ada di Madinah,

seperti Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad, `Ali Nashir al Faqihi, Shaleh

as Suhaimi, Muhammad bin Hadi, Ibrahim ar Ruhaili, `Abdurrazzak,

`Abdul Malik Ramadhani dan lain-lain –semoga Allah ta’ala menjaga

mereka semua–, apakah para Masyaikh di atas tidak mampu membimbing dan

menjelaskan manhaj yang benar kepada para Salafiyin di Madinah

sehingga mereka begitu mudah digerogoti pemahaman bid’ah ini? Atau

mungkin ada yang mengatakan bahwa para Masyaikh tersebut kurang paham

dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan manhaj (Manhaj

Ahlusunnah dalam menyikapi bid’ah dan ahli bid’ah)? Demi Allah, Ini

adalah kedustaan yang besar dan nyata! Apakah mungkin mereka

digolongkan sebagai Masyaikh Salafiyin kalau terhadap masalah yang

besar dan penting ini (masalah manhaj) mereka tidak paham?

Kalau memang demikian, apa gunanya mereka disebut sebagai Masyaikh

salafiyyin? Syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga Allah ta’ala menjaga beliau–

pernah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa para Masyaikh

Salafiyin ada di antara mereka yang kurang paham masalah manhaj, maka

beliau menjawab bahwa ucapan ini sama seperti ucapan orang-orang

Sururiyyin yang mengatakan bahwa para ulama Ahlusunnah tidak paham

terhadap masalah Fiqhul Waqi’ (pemahaman terhadap realita dan kondisi

yang terjadi pada umat islam), artinya mereka hanya sibuk membahas

masalah-masalah akidah, ibadah dan muamalah tapi tidak paham dan

kurang perhatian terhadap realita dan kondisi yang terjadi pada umat

islam. Rekaman kaset jawaban beliau ini ada pada ana. Jawaban yang

beliau sampaikan ini sangat tepat dan sesuai sekali, karena

sebagaimana orang-orang Sururiyyin dengan mengatakan bahwa para ulama

Ahlusunnah tidak paham Fiqhul Waqi’, dan yang memahaminya dengan baik

hanyalah ulama-ulama(?) mereka sendiri, dengan tujuan untuk menggiring

kaum muslimin –utamanya para pemuda – agar hanya mengambil pemahaman

agama dari tokoh-tokoh mereka itu dan memalingkan mereka dari para

ulama yang sesungguhnya, demikian pula orang-orang yang mengatakan

bahwa di antara para ulama Ahlusunnah ada yang kurang paham masalah

manhaj, tujuan mereka adalah menggiring para pemuda Salafiyin agar

hanya mengikuti pemahaman dan sikap keras mereka, setelah mereka

menyadari bahwa ternyata pemahaman dan sikap mereka itu sangat jauh

bertentangan dengan pemahaman dan sikap para ulama Ahlusunnah, apalagi

para ulama kibar (senior) di antara mereka (silahkan baca tulisan ana

yang dimuat dalam website ini, pada artikel “Menjawab Tudingan

Terhadap Dakwah Salafiyyah”).

Yang lebih aneh dan mengherankan lagi, pemahaman dan sikap mereka yang

nyeleneh itu mereka nisbatkan kepada dua Imam besar Ahlusunnah, yaitu

Syaikh `Abdul `Aziz bin Baz dan Syaikh al Albani –semoga Allah ta’ala

merahmati keduanya–, padahal pemahaman dan sikap kedua Imam ini

–demikian pula para ulama senior lainnya, seperti Syaikh Muhammad bin

Shaleh al `Utsaimin dan lain-lain– sangat berseberangan dengan

pemahaman dan sikap mereka dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan

oleh salah seorang murid senior Syaikh bin Baz yang masih hidup sampai

saat ini dan tinggal di Madinah, Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad

–semoga Allah ta’ala menjaga dan memanjangkan umur beliau–, dalam

kitab beliau “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”. Sebagai bukti apa

yang ana sampaikan ini, coba kita amati dengan seksama pemahaman dan

sikap murid-murid senior dua Imam besar ini, karena bagaimanapun kita

semua sepakat bahwa yang paling tahu tentang pemahaman dan sikap dua

Imam ini –setelah Allah ta’ala- adalah murid-murid senior mereka jika

dibandingkan dengan orang lain. Coba antum perhatikan pemahaman dan

sikap murid-murid Syaikh bin Baz, seperti Syaikh `Abdul Muhsin yang

ana sebutkan di atas, baca kitab beliau “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis

Sunnah” (yang sudah diterjemahkan), antum akan dapati perbedaan yang

sangat jauh antara sikap dan pemahaman beliau dengan sikap dan

pemahaman mereka.

Contoh lain, pemahaman dan sikap salah seorang ulama besar di Saudi

saat ini, yaitu Syaikh Shaleh al Fauzan –semoga Allah ta’ala menjaga

beliau–, selama sekitar 7 tahun ana berada di Madinah, yang ana ingat

paling tidak sekitar 5 kali beliau berkunjung ke Madinah dan

menyampaikan ceramah umum, 3 kali di antaranya beliau sampaikan di

kampus Universitas Islam Madinah, dan –alhamdulillah– semuanya ana

hadiri. Dalam semua ceramah yang beliau sampaikan itu tidak sekalipun

beliau menyampaikan berita seperti yang antum sampaikan di atas, yang

beliau sampaikan adalah pujian terhadap Universitas Islam Madinah,

anjuran untuk selalu merujuk kepada para ulama Ahlusunnah di Madinah

dan Saudi secara umum, pentingnya aqidah dan dakwah di atas Al Quran

dan As Sunnah menurut pemahaman salaf. Apakah Syaikh Shaleh al Fauzan

tidak mengetahui bahwa ikhwan salafiyun di Madinah telah digerogoti

pemahaman sururiyyah –kalau memang berita tersebut betul– sehingga

beliau tidak merasa perlu untuk mengingatkan hal ini secara

terang-terangan meskipun cuma sekali saja? Atau apakah Syaikh Shaleh

al Fauzan kurang paham dan kurang perhatian terhadap masalah manhaj

sehingga beliau tidak menyampaikan hal ini?

Kemudian coba perhatikan pemahaman dan sikap murid-murid senior Syaikh

al Albani dalam masalah ini, seperti Syaikh Ali Hasan, Salim al

Hilali, Masyhur Hasan Salman, Muhammad Musa Nashr dan lain-lain, yang

–alhamdulillah– mereka ini sering berkunjung ke Indonesia sehingga

kita bisa mengamati langsung sikap mereka dalam masalah ini, dan

ternyata kita dapati sikap mereka pun sama dengan sikap para ulama

yang ana sebutkan di atas, kalau antum kurang yakin, antum bisa

tanyakan langsung hal ini kepada mereka sewaktu mereka berkunjung ke

Indonesia.

Bukti lain, kitab-kitab, tulisan dan kaset-kaset ceramah dua imam

besar ini sampai saat ini –alhamdulillah – mudah kita dapatkan, tapi

tidak kita dapatkan satu keterangan pun dari dua Imam ini yang

mendukung pemahaman dan sikap mereka tersebut, yang ada malah justru

sebaliknya, keterangan yang menunjukkan menyimpangnya pemahaman dan

sikap mereka dari manhaj Ahlusunnah dalam masalah ini.

Juga ingin ana sampaikan di sini, bahwa munculnya pemahaman sururiyyah

sejak dulu telah diingatkan bahayanya oleh para ulama Ahlusunnah,

sekaligus mereka menjelaskan ciri-ciri pemahaman sesat ini, yang di

antaranya adalah, mudah mengkafirkan pemerintah, melecehkan para ulama

Ahlusunnah, memuji dan mengagungkan ahlul bid’ah yang telah jelas

bukti kebid’ahannya dan lain-lain. Sekarang coba antum perhatikan

siapakah di antara ustad-ustad Salafiyin yang kita kenal dakwah mereka

di atas manhaj salaf, seperti ustad Abdul Hakim Abdat, Yazid Jawwas,

Aunur Rafiq Gufran, Abdurrahman at Tamimi, Ahmas Faiz, ustad-ustad di

pondok Jamilurrahman, pondok Imam Bukhari dan lain-lain –yang kemudian

mereka tuduh sebagai sururiyyin– yang memiliki ciri-ciri tersebut di

atas? Kalau kemudian mereka berdalil dengan hubungan beberapa ustadz

di atas dengan beberapa yayasan dana yang dinilai oleh sebagian dari

para ulama sebagai yayasan yang menyimpang manhajnya –dan inilah

satu-satunya dalil yang mereka miliki–, maka kita jawab, bahwa para

ulama Ahlusunnah sendiri berbeda pendapat dalam masalah boleh/tidaknya

berhubungan dan mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut,

karena dana yang dimiliki yayasan-yayasan tersebut bukan berasal dari

para pengurusnya, akan tetapi dari kaum muslimin yang benar-benar

ingin menyumbangkan harta yang mereka miliki kepada orang-orang yang

berhak menerimanya, maka tidak ada hubungannya antara bantuan harta

tersebut dengan penyimpangan manhaj yang ada yayasan-yayasan tersebut

selama bantuan tersebut tidak mengikat dengan syarat-syarat yang

membawa kepada penyimpangan manhaj.

Di antara ulama Ahlusunnah yang melarang keras mengambil bantuan ini

adalah Syaikh Rabi’ bin Hadi, Muhammad bin Hadi dan lain-lain,

sedangkan ulama Ahlusunnah yang membolehkannya di antaranya Syaikh

`Abdul Muhsin, `Abdurrazzak, Muhammad bin `Abdul Wahhab al `Aqil dan

lain-lain, bahkan Syaikh `Abdul Muhsin ketika ditanya tentang masalah

ini, beliau tidak hanya membolehkan bahkan memuji salah satu dari

yayasan-yayasan tersebut (yayasan Ihyaut Turats) dengan mengatakan

bahwa yayasan tersebut memiliki banyak kebaikan dan manfaat terhadap

kaum muslimin, seperti menyumbangkan dana untuk pembangunan

masjid-masjid, sekolah-sekolah agama, tunjangan untuk anak yatim, para

dai dan lain-lain, bahkan beliau menegaskan bahwa perpecahan yang

terjadi karena mempermasalahkan hubungan dengan yayasan ini adalah

termasuk perbuatan setan! Bolehnya mengambil bantuan ini, bahkan

rekomendasi terhadap yayasan-yayasan tersebut juga dinisbatkan kepada

banyak ulama senior di Saudi seperti Syaikh bin Baz, Muhammad al

`Utsaimin, `Abdul `Aziz Alu asy Syaikh (mufti kerajaan Arab Saudi saat

ini), Shaleh Alu asy Syaikh dan lain-lain.

Juga yang perlu ana ingatkan di sini, dan hendaknya ini menjadi

renungan untuk kita semua, bahwa para ulama Ahlusunnah yang berselisih

pendapat dalam masalah ini, tidak kita dapati salah seorang pun di

antara mereka yang lantas menuding ulama yang lainnya sebagai hizbi

atau sururi karena memuji dan membolehkan hubungan dengan

yayasan-yayasan tersebut! Sebagai contoh, sewaktu kami mengunjungi

Syaikh Rabi’ bin Hadi, ketika beliau sedang sakit dan berada di rumah

putra beliau di Madinah, pada waktu itu beliau menunjukkan sikap yang

sangat menghormati Syaikh `Abdul Muhsin yang jelas-jelas berbeda

pendapat dengan beliau dalam masalah ini, bahkan Syaikh `Abdul Muhsin

menyampaikan ketidaksetujuan beliau terhadap sikap-sikap Syaikh Rabi’

dalam beberapa masalah termasuk masalah ini secara terang-terangan

-dengan tetap memuji Syaikh Rabi’- pada pengajian rutin Syaikh `Abdul

Muhsin di Masjid Nabawi, dan berita ini telah sampai kepada Syaikh

Rabi’, pada waktu itu Syaikh Rabi’ bahkan sempat juga memuji Syaikh

`Abdul Muhsin –dan ini ana dengar langsung– dengan mengatakan, “Beliau

(yaitu Syaikh `Abdul Muhsin) adalah termasuk Masyaikh (guru-guru) kami”.

Contoh lain, waktu kami berkunjung ke kediaman Syaikh Muhammad bin

Hadi di Madinah, pada waktu kami sampaikan kepada beliau masalah ini

dan beliau sangat keras melarang mengambil bantuan dari

yayasan-yayasan tersebut, bahkan beliau mengatakan bahwa Syaikh

`Abdurrazzak –yang membolehkan mengambil bantuan dari yayasan-yayasan

tersebut– dalam masalah ini salah dari ujung rambut sampai ke ujung

kaki! Akan tetapi dalam pertemuan itu sendiri beliau mengatakan –dan

ini juga ana dengar langsung–, “Syaikh `Abdurazzak adalah saudaraku

(sesama Ahlusunnah)”, dan beliau juga mengatakan, “Saya dan Syaikh

`Abdurrazzak adalah seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu”.

Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Syaikh `Ubaid al Jabiri dalam

masalah ini, sebagaimana yang diberitakan oleh Syaikh Muhammad al

`Aqil kepada salah seorang teman kami di Madinah.

Perhatikanlah sikap para ulama di atas! Bagaimana bijaksananya mereka

dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka, memang terkadang

mereka bersikap keras dalam menilai suatu pendapat, akan tetapi hal

itu tidak menjadikan mereka saling menuding satu sama lain sebagai

hizbi atau sururi! Coba antum bandingkan sikap ini dengan sikap

sebagian Ikhwan salafiyyin di Indonesia yang begitu mudah mengeluarkan

orang dari manhaj Ahlusunnah dalam masalah-masalah seperti ini, kalau

bukan sikap para ulama di atas yang kita teladani, lantas sikap siapa

lagi? Dan perlu ana tegaskan di sini bahwa ana sendiri dan kebanyakan

teman-teman senior yang kuliah di Universitas Islam Madinah lebih

memilih pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik tidak menerima

bantuan dari yayasan-yayasan tersebut, akan tetapi hal ini tidak

menjadikan kami kemudian menuding semua orang yang mengambil bantuan

tersebut sebagai hizbi atau sururi.

Di sini juga ana ingin menyebutkan satu contoh nyata bahwa seorang

yang telah kita kenal manhajnya benar dalam memahami dan mengamalkan

agama ini secara umum, maka tidak mudah untuk kita hukumi dia keluar

dari manhaj ini meskipun dia memiliki kesalahan-kesalahan dan

melakukan perbuatan-perbuatan ahlu bid’ah –karena kelalaian dan bukan

karena sengaja–,kecuali dengan bukti-bukti yang jelas dan

syarat-syarat tertentu, itu pun setelah kita berusaha menasihatinya

dengan baik dan kita yakini –atau paling tidak kita memiliki dugaan

kuat– bahwa hujjah (argumentasi) yang membuktikan kesalahannya telah

tegak dan jelas di hadapannya, tapi dia tetap menolaknya.

Kejadian sekitar 6 tahun yang lalu, ketika sekelompok besar dari

ikhwan kita Salafiyin, mencetuskan wajibnya berjihad di Maluku melawan

orang-orang kafir di sana –berdasarkan fatwa dari beberapa ulama

Ahlusunnah-, yang kemudian kegiatan mereka ini berlangsung dalam waktu

yang cukup lama. Yang jadi masalah di sini, selama kegiatan mereka ini

berlangsung, kita dapati banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang

mereka lakukan, yang di antaranya ada yang jelas-jelas menyelisihi

manhaj Ahlusunnah, bahkan bisa dikatakan mirip dengan beberapa ciri

pemahaman sururiyyah yang ana sebutkan di atas, misalnya pelecehan dan

penghinaan terhadap para ulama Ahlusunnah –dan ini adalah penyimpangan

terbesar yang ada pada mereka pada waktu itu, menurut pandangan ana,

dan sampai saat ini ana belum dengar berita bahwa mereka telah

bertobat dalam masalah ini–, yaitu ketika mereka ingin membantah fatwa

para ulama yang mengatakan tidak wajibnya jihad di Maluku (bahkan

Syaikh Muhammad al `Utsaimin dan Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad

mengatakan bahwa jihad di Maluku tidak disyariatkan, karena pemerintah

Indonesia pada waktu itu menentang kegiatan tersebut dan kita tidak

boleh menentang pemerintah), ada ustadz dari kalangan mereka yang

mengatakan, “fatwa tersebut adalah fatwa yang zalim”. Ada juga yang

mengatakan, “para ulama di Madinah telah dipengaruhi oleh orang-orang

yang tidak suka adanya jihad di Maluku, sehingga mereka tidak

memfatwakan wajibnya jihad di sana”. Dan sebagai akibatnya, ana dan

ikhwan Salafiyin yang kuliah di Madinah merasakan bahwa pada waktu itu

kepercayaan mereka kepada para ulama di Madinah yang tidak mendukung

kegiatan mereka ini bisa dikatakan sangat berkurang atau mungkin

hilang sama sekali. Ada juga ustadz besar lainnya ketika ana sampaikan

padanya fatwa dua Syaikh di atas, dengan ringannya dia menjawab, “Para

ulama tersebut tidak mengetahui keadaan di Indonesia, kalau mereka

mengetahuinya pasti mereka akan memfatwakan wajibnya jihad!”. Bahkan

ketika fatwa Syaikh Muhammad al `Utsaimin tersebut sampai kepadanya,

ustadz ini langsung menyembunyikan fatwa tersebut agar tidak diketahui

oleh ikhwan salafiyyin lainnya, dengan tujuan agar semua orang

menyangka bahwa semua ulama Ahlusunnah sepakat memfatwakan wajibnya

jihad di Maluku! Dan ucapan-ucapan di atas didengar dan diketahui oleh

banyak ustad-ustadz salafiyyin yang bergabung bersama mereka pada

waktu itu, akan tetapi tidak kita dapati seorang pun di antara mereka

yang mengingkarinya, bahkan sangat terkesan pada waktu itu bahwa

mereka semua menyetujui ucapan- ucapan tersebut di atas!

Dalam hal ini ana bukannya ingin membahas pendapat mana yang lebih

kuat dalam masalah wajib/tidaknya jihad di Maluku pada waktu itu, akan

tetapi yang patut dipertanyakan adalah: mengapa mereka begitu mudah

mengucapkan kata-kata keji tersebut dan ditujukan kepada para ulama

Ahlusunnah hanya karena para ulama tersebut tidak mendukung kegiatan

mereka? Apa bedanya ucapan mereka itu dengan ucapan orang-orang

sururiyyin yang mengatakan bahwa para ulama Ahlusunnah hanya memahami

masalah-masalah yang berhubungan dengan haidh dan nifas, tapi mereka

tidak memahami dan kurang perhatian terhadap Fiqhul Waqi’? Kalau

tindakan-tindakan tersebut di atas tidak dianggap sebagai pelecehan

dan penghinaan, lantas tindakan bagaimana lagi yang dinilai sebagai

pelecehan dan penghinaan?

Kemudian penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang ana sebutkan secara

ringkas saja karena khawatir jawaban ini terlalu panjang: kegiatan

demonstrasi dan tindakan-tindakan brutal yang mereka lakukan di

Jakarta, Solo, Ngawi dan lain-lain, dengan alasan memberantas

perbuatan maksiat, yang ini sangat bertentangan dengan manhaj salaf

dan bimbingan para ulama Ahlusunnah. Demikian juga ancaman dan

penganiayaan terhadap beberapa orang dai dan ikhwan Salafiyin, serta

upaya untuk menghancurkan bangunan yayasan yang dinilai menentang

kegiatan mereka, seperti yang terjadi di Madiun, Surabaya dan lainnya.

Dan masih banyak penyimpangan-penyimpanganlainnya yang terlalu panjang

untuk dirinci satu persatu.

Yang ingin ana sampaikan di sini, bahwa meskipun kita dapati

ikhwan-ikhwan kita tersebut banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan

yang di antaranya menyangkut masalah manhaj selama kegiatan jihad

mereka berlangsung, tapi ana dan ikhwan Salafiyin yang ada di Madinah

–dan ana dapati banyak di Indonesia yang juga bersikap seperti ini–,

tidak ada seorang pun di antara kami yang kemudian menuding dan mencap

mereka –baik itu orang perorangan ataupun kelompok mereka secara

keseluruhan– sebagai hizbi atau sururi atau ikhwani, karena mungkin

saja mereka lalai dan lupa, atau terlalu berambisi dan menuruti hawa

nafsu, apalagi pada waktu itu mungkin nasihat belum sampai kepada

mereka dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Padahal kalau kita

bandingkan mereka yang ana sebutkan di atas dengan kesalahan

ustadz-ustadz Salafiyin yang mereka tuduh sebagai hizbi atau sururi

–kalau kita anggap kesalahan-kesalahan tersebut ada dan terbukti–,

maka jelas kesalahan ustadz-ustadz tersebut tidak artinya dibandingkan

dengan kesalahan-kesalahan mereka, maukah mereka merenungkan kenyataan

ini?

Kemudian ana rasa perlu untuk menyampaikan dalam jawaban ini

rekomendasi dari beberapa ulama Ahlusunnah terhadap Universitas Islam

Madinah, karena sebagai akibat dari permasalahan yang antum sebutkan

di atas banyak kalangan yang kemudian menuding Universitas ini sebagai

sarangnya orang-orang hizbi, sehingga lebih baik belajar di tempat

lain dari pada di Universitas ini, juga tudingan bahwa mayoritas

ikhwan Salafiyin yang sedang belajar di Universitas ini tidak paham

masalah manhaj dan banyak terpengaruh dengan manhaj para Masyaikh yang

mengajar di sana yang –kata mereka–mayoritas orang-orang hizbi/sururi,

meskipun kami tidak mengingkari keberadaan orang-orang sururi bahkan

beberapa di antaranya tokoh-tokoh mereka yang mengajar di sana.

Yang pertama ana nukilkan rekomendasi dari Syaikh Rabi’ bin Hadi,

karena rekomendasi ini ada pada ceramah beliau yang kemudian dibukukan

dan disebarkan oleh markas Imam al Albani, yang berjudul “Al hatstsu

`alal mawaddati wal i’tilaf wattahdziiru minal furqati wal ikhtilaf”

(anjuran untuk saling mencintai dan bersatu serta peringatan untuk

menjauhi perselisihan dan perpecahan), buku ini dicetak sekitar 2

tahun yang lalu (1420 H/ 2004 M). Pada hal. 8-9 beliau mengatakan –dan

di sini langsung ana terjemahkan–, “Universitas islam (Madinah) ini

–dengan para pendiri dan pengurusnya – telah memahami realita dan

kondisi yang di alami kaum muslimin di dunia islam saat ini, yaitu

ketidakpahaman dan jauhnya mereka –kecuali sedikit sekali – dari jalan

Allah I yang benar. Maka Universitas ini benar- benar telah dibangun

di atas manhaj islam yang benar, yang besumber dari kitab Allah dan

sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, dan sekitar 4/5 dari

mahasiswa yang diterima (untuk belajar) di kampus ini khusus

diperuntukkan bagi anak- anak kaum muslimin di seluruh dunia islam,

sedangkan yang 20% lagi diperuntukkan bagi anak- anak kaum muslimin

dari negari dua tanah suci (Arab saudi), agar nantinya mereka yang

datang ke kota tempat turunnya wahyu ini (Madinah) dan menimba ilmu

dari sumber- sumbernya yang jernih di sana, kembali ke negeri-negeri

mereka untuk menyebarkan dan mendakwahkan kebenaran, kebaikan dan

petunjuk yang telah mereka pelajari, (sebagaimana firman Allah dalam

QS at Taubah: 122),

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa

orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk

memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Maka ini adalah kesempatan emas bagi kalian (wahai para penuntut ilmu

di Universitas ini), maka manfaatkanlah (sebaik-baiknya), dan

hadapkanlah dirimu (dengan sungguh-sungguh) untuk menimba ilmu yang

bermanfaat, yang suci dan murni serta bersumber dari kitab Allah dan

sunnah Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam, karena sumber-sumber

rujukan ilmu ini –alhamdulillah– terpenuhi dengan lengkap di hadapan

kalian, di kota Madinah ini (secara umum) dan di kampus ini (secara

khusus). Dan barang siapa yang menginginkan kebenaran dan kebaikan

untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan negerinya, maka

hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu dari para ulama

(Ahlusunnah) yang ada (di kampus dan kota Madinah ini), yang para

ulama tersebut telah menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk

mengajarkan dan menyebarluaskan kebenaran ini –semoga Allah ta’ala

melimpahkan keberkahan dari-Nya kepada kalian semua–, …dst ucapan

beliau dalam ceramah tersebut.

Rekomendasi serupa juga disampaikan oleh salah seorang ulama senior di

Madinah, yaitu Syaikh `Ali Nashir Faqihi, dalam ceramah beliau –yang

rekamannya ada pada kami– di hadapan mahasiswa Salafiyin Universitas

Islam Madinah, yang ceramah ini juga dihadiri oleh beberapa Masyaikh

Salafiyin seperti Syaikh Muhammad bin Hadi dan lain-lain, setelah

Syaikh Muhammad bin Hadi menyampaikan semacam kata sambutan, kemudian

beliau mempersilahkan Syaikh `Ali Nashir untuk berbicara. Dalam

ceramah tersebut Syaikh `Ali Nashir mengatakan bahwa Universitas ini

bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan Allah, dan berlandaskan Al

Quran dan sunnah Rasulullah dengan pemahaman salaf dalam aqidah,

ibadah dan muamalah.

Dan masih banyak rekomendasi lain yang semakna dengan 2 rekomendasi di

atas, yang kami dengar langsung dan berkali-kali dari para ulama

Ahlusunnah, seperti Syaikh : Shaleh al Fauzan, `Abdul `Aziz alu asy

Syaikh , `Abdul Muhsin al `Abbad dan lain-lain. Bahkan rekomendasi ini

terlihat nyata dari sikap dan perbuatan para Masyaikh Salafiyin di

Madinah dengan mereka sampai saat ini tetap mengajar di Universitas

ini, seperti Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad, Shaleh as Suhaimi,

Muhammad bin Hadi, Ibrahim ar Ruhaili, `Abdurrazzak, Tarhib ad

Dausari, Muhammad al `Aqil dan lain-lain, yang kalau seandainya

Universitas ini benar-benar sarangnya hizbiyyin, maka mestinya mereka

tidak mau mengajar di sana.

Tujuan ana menyampaikan rekomendasi di atas, sama sekali bukan untuk

memuji diri ana dan teman-teman Salafiyin yang kuliah di Universitas

Islam Madinah, tapi semata-mata untuk menjelaskan kenyataan yang

sebenarnya, yang ini banyak dikaburkan oleh sebagian kalangan, dengan

mengatasnamakan pembelaan terhadap manhaj (baca: manhaj mereka

sendiri), karena ana dapati banyak sekali ikhwan Salafiyin yang tidak

memahami hal ini. Dan lebih dari pada itu, tujuan ana adalah untuk

menjaga dan membela nama baik para ulama Ahlusunnah di Madinah dan

Arab Saudi pada khususnya, maupun di luar Arab Saudi pada umumnya.

Terakhir, tentang yayasan Al Sofwah, terus terang ana tidak begitu

banyak tahu tentang yayasan ini, dan berita-berita yang sampai kepada

ana tentang yayasan ini sangat simpang siur dan sampai saat ini ana

belum sempat mencari kejelasan tentangnya, maka saran ana, sebaiknya

antum tanyakan langsung hal ini kepada ustadz-ustadz yang terpercaya

dan tahu persis keadaan yayasan ini, Wallahu a’lam.

Kota Nabi shalallahu `alaihi wa sallam, Kamis, 17 Muharram 1427 H