kesesatan Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin


Oleh
Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr Hafizhahullah

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr ditanya : “Kita telah mengetahui bahwa
dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang bersih dan benar. Tetapi sangat
disayangkan telah datang pencemaran nama dan keburukan dari pihak lain.
Seperti dari Sururiyyin (para pengikut surur). Maka bagaimanakah Sururiyyah
(pemahaman surur) itu? Dan apakah kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip faham
Sururiyah itu, agar kita dapat mengetahui dan menghukuminya?”

Jawaban:
Sururiyah (pemahaman Surur) adalah Jama’ah Hizbiyyah. Muncul pada
tahun-tahun terakhir ini. Tidak dikenal kecuali pada seperempat akhir abad
ini. Karena semenjak dahulu hingga sekarang, ia berselimut Salafiyyah. Pada
hakekatnya, Sururiyah memiliki prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin, bergerak
secara sirriyah (sembunyi-sembunyi/rahasia). Merupakan pergerakkan politik,
takfir, mencela dan menyindir para ulama Rabbaniyyin, seperti Imam-imam kita
yang tiga: Bin Baaz, Al-Albani dan Utsaimin. Menuduh mereka sebagai ulama
haidh dan nifas. Setelah perang Teluk II serangannya terhadap dakwah
Salafiyyah secara terang-terangan, bertambah keras baik secara aqidah dan
pemberitaan. Sampai menuduh para masyayikh dan ulama kita bahwa mereka tidak
mengetahui waqi’ (situasi dan kondisi/kenyataan), ilmunya dalam perkara
nifas dan wanita-wanita nifas. Mereka sesuai dengan ahli bid’ah zaman
dahulu, yang mengatakan: “Fiqh (Imam) Malik, Auza’i dan lainnya tidak
melewati celana perempuan.” Alangkah besar dosanya. Kalimat yang keluar dari
mulut mereka.

Orang yang tidak menghormati para ulama, dia adalah para penyeru fitnah.
Orang-orang yang merendahkan Al-Albani, Bin Baz dan Utsaimin di zaman kita,
maka dia tenggelam (di dalam kesesatan), pembuat fitnah, dia berada di
pinggir jurang yang dalam. Karena dia berkehendak memalingkan wajah manusia
kepadanya dan menghalangi manusia dari para ulama dan imam mereka yang
Rabbani.

Sehingga walaupun mereka mengaku beraqidah Salafiyyah, tetapi manhaj mereka
Ikhwani. Bahkan (mungkin) mereka lebih berbahaya dari Ikhwanul Muslimin,
karena mereka berbaju Salafiyyah.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mereka diberi petunjuk menuju jalan
yang lurus, dan agar kelak mereka bersama dengan Salafiyyah yang murni, yang
para Sahabat Rasulullah dan para tabi’in berada diatasnya.

Tambahan Redaksi Majalah As-Sunnah:

Sururiyah adalah nisbat kepada seseorang yang bernama Muhammad Surur bin
Nayif Zainal Abidin. Dia pernah menjadi guru di Arab Saudi dalam waktu yang
cukup lama, sehingga memungkinkan menjalankan rencananya dan menyebarkan
racunnya di tengah-tengah para pemuda. Tetapi setelah nampak keburukan
niatnya, dia pergi, lalu bermukim di kota London, Inggris, sebuah negara
kafir.

Di antara kesesatan dan penyimpangan Muhammad Surur ini adalah:

[1.] Merendahkan Kitab-Kitab Aqidah Salafiyyah Dan Berlebihan Dengan Fiqhul
Waqi’.

Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya fi Dakwah Ila Allah I/8: “Aku
memperhatikan kitab-kitab aqidah, maka aku lihat kitab-kitab itu ditulis
bukan pada zaman kita. Sehingga kitab-kitab itu sebagai solusi berbagai
permasalahan dan kemusykilan pada zaman ditulisnya kitab-kitab tersebut.
Sedangkan pada zaman kita terdapat berbagai kemusykilan yang membutuhkan
solusi yang baru. Kerena itulah model kitab-kitab aqidah itu sangat kering,
karena hanya berisi nash-nash dan hokum-hukum. Karena inilah kebanyakan
pemuda berpaling darinya dan tidak menyukainya.”

Perkataan orang ini tentulah sangat menyesatkan, karena kitab-kitab aqidah
yang berisi nash-nash dan hukum-hukum merupakan kebenaran hakiki. Sedangkan
berpaling darinya akan menjerumuskan kepada pendapat si Fulan dan Fulan yang
tidak jelas kebenarannya.

[2.] Beraqidah Takfir Bil Ma’shiyah, Yaitu Mengkafirkan Kaum Muslimin Dengan
Sebab Maksiat.

Dia mengkafirkan para penguasa zhalim, sehingga dia banyak mencela para
penguasa dan menerjuni medan politik ala Barat!

Dia berkata di dalam majalahnya yang terbit di London, majalah As-Sunnah no:
26, Jumadal Ula 1413H, hal: 2-3 (Tidak ada hubungan sama sekali dengan
Majalah As-Sunnah kita ini): “Dizaman ini perbudakan memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbentuk piramida:

Tingkatan Pertama:
Presiden Amerika Serikat, George Bush, duduk bersila di atas singgasananya,
yang besok akan diganti Clinton.

Tingkatan Kedua:
Tingkatan penguasa negara-negara Arab. Mereka ini berkeyakinan bahwa
kebaikan dan bahaya mereka di tangan Bush (Bagaimana dia bisa memastikan
aqidah mereka seperti itu? Apakah dia telah membedah dada mereka? Atau
mereka memberitahukan kepadanya? Maha suci Engkau wahai Allah, sesungguhnya
hal ini merupakan kedustaan yang besar!-red). Oleh karena inilah mereka
berhajji kepada (mengunjungi) nya, serta mempersembahkan nadzar-nadzar dan
kurban-kurban (Perkataan ini merupakan pengkafiran secara nyata kepada
Penguasa yang zhalim! -red).

Tingkatan Ketiga:
Para pengiring penguasa negara-negara arab, dari kalangan menteri, wakil
menteri, komandan tentara, dan para penasehat. Mereka ini bersikap nifaq
kepada tuan-tuan mereka, menghias-hiasi segala kebatilan dengan tanpa malu
dan ahlaq.

Tingkatan Keempat, Kelima dan Keenam:
Para penjabat tinggi pada kementerian. Sesungguhnya perbudakan pada zaman
dahulu sederhana, karena seorang budak memiliki seorang tuan secara
langsung, tetapi sekarang perbudakan itu kompleks. Aku tidak habis fikir,
tentang orang yang membicarakan tauhid, tetapi mereka adalah budak-budak,
yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang
dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak. Tuan mereka yang
akhir adalah seorang Nashrani (Alangkah keji dan lancangnya perkataan yang
ditujukan kepada para ulama yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala –red).
Perkataan orang ini dengan jelas menunjukkan kesesatan dan kedustaan yang
nyata!.

[3.] Juga Mengkafirkan Rakyat Karena Maksiat Yang Mereka Lakukan.

Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya’ Fi Dakwah ila Allah I/158:
“Tidaklah aneh jika problem laki-laki mendatangi laki-laki (homo seksua)
merupakan permasalahan paling penting di dalam dakwah Nabi Luth. Kerena
seandainya kaumnya menyambut dakwahnya untuk beriman kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya, maka sambutan mereka itu tidak ada maknanya, jika mereka
tidak meninggalkan kebiasaan keji yang telah mereka sepakati itu.”

Itulah aqidah sesat Surur! Adapun aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap
pelaku dosa besar telah mansyur, yaitu tidak keluar dari iman, tetapi
imannya berkurang, dan dia dikhawatirkan terkena siksaaan Allah Ta’ala.

[4.] Memusuhi Dan Mencela Para Ulama Ahlus Sunnah As-Salafiyyin.

Dia berkata di majalahnya yang terbit di London, Majalah As-Sunnah no. 23,
Dzulhijjah-1412 H hal. 29-30: “Dan jenis manusia yang lain (Yang dimaksudkan
adalah para ulama Arab Saudi –red) mengambil (yakni mengambil bantuan resmi)
dan mengikatkan sikap-sikap mereka dengan sikap para tuan mereka (yang
dimaksud dengan tuan mereka disini adalah para penguasa Arab Saudi). Maka
jika sang tuan minta bantuan Amerika (Dia membicarakan masalah permintaan
tolong kepada Amerika pada waktu perang teluk-red), para budak pun berlomba
mengumpulkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan ini, dan mengingkari
orang-orang yang menyelisihi mereka. Jika sang tuan berselisih dengan Iran
Rafidhah, para budakpun membicarakan kebusukan Rafidhah. Dan jika
perselisihan berhenti, para budakpun diam dan berhenti membagikan buku-buku
yang diberikan kepada mereka. Jenis manusia ini: mereka berdusta,
memata-matai, menulis laporan-laporan, dan melakukan segala sesuatu yang
diminta oleh sang tuan kepada mereka. Mereka ini jumlahnya sedikit
–al-hamdulillah-, mereka adalah orang-orang asing di dalam dakwah dan amal
islami. Dokumen mereka telah terbongkar, walaupun mereka memanjangkan
jenggot, memendekkan pakaian, dan menyangka sebagai penjaga sunnah. Adanya
jenis manusia tersebut tidaklah membahayakan dakwah Islam. Kemunafikan sudah
ada sejak dahulu….”

Alangkah sesatnya perkataan ini, karena memperolok-olok sunnah Nabi dapat
membawa kepada kekafiran! Membenci ulama Ahlus Sunnah adalah ciri utama Ahli
Bid’ah! Dan kesesatan-kesesatan lainnya.

Lihat:
[1] Fitnah Takfir Wal Hakimiyah, hal: 93, Karya: Muhammad bin Abdullah
Al-Husain.
[2] Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As-ilah Al-Manhaji Al-Jiddah, Bagian Pertama
hal. 45-48
[3] Nazharat Fi Kitab Manhajul ambiya’ Fi Dakwah ila Allah, karya : Syaikh
Ahmad Sallam.
[4] Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuuha, karya: Abu Ibrahim Ibnu Sulthan
Al-‘Adnani
[5] Al-Irhab, Karya: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Makhdali.
[6] Dan lain-lain.

فتاوى علماء الأمة في سيد قطب رحمه الله FATWA ULAMA UMAT TERHADAP SAYYID QUTHB


فتوى الإمام عبد العزيز بن باز رحمه الله

FATWA IMAM ABDUL ‘AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAHU

 

Fatwa Pertama :

قال سيد قطب – عفا الله عنه – في “ظلال القرآن” في قوله تعالى: }الرحمن على العرش استوى { : (أما الاستواء على العرش فنملك أن نقول: إنه كناية عن الهيمنة على هذا الخلق) “الظلال” (4/2328)، (6/3408) ط 12، 1406، دار العلم.

Sayyid Quthb -semoga Alloh mengampuninya- berkata di dalam Fi Zhilalil Qur’an (menafsirkan) firman Alloh Ta’alaAr-Rahman (Alloh yang Maha Pemurah) yang beristiwa` di atas Arsy.” [Thoha : 5] : “Adapun istiwa` di atas Arsy dapat kita katakan bahwasanya istiwa` ini merupakan kinayah (kiasan) dari al-Haimanah (penguasaan) atas makhluk (ciptaan)-Nya ini.” [Azh-Zhilal (4/2328), (6/3408) cet. Ke-12, 1406, Darul ‘Ilmi].

 

قال سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز – رحمه الله -: (هذا كله كلام فاسدٌ، هذا معناه الهيمنة، ما أثبت الاستواء: معناه إنكار الاستواء المعروف، وهو العلو على العرش، وهذا باطلٌ يدل على أنه مسكين ضايع في التفسير).

Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu berkata : “Ini semua adalah ucapan yang fasid (rusak), (ia mengatakan) hal ini (istiwa`) maknanya adalah penguasaan, dan ia tidak menetapkan istiwa`. Ini artinya ia mengingkari istiwa` yang telah ma’ruf (diketahui maknanya), yaitu al-‘Uluw (ketinggian) di atas Arsy. Pendapatnya ini batil menunjukkan bahwa dirinya adalah miskin (lemah) dan dhoyi’ (kosong ilmu) terhadap tafsir.”

ولما قال لسماحته أحد الحاضرين بأن البعض يوصي بقراءة هذا الكتاب دائماً، قال سماحة الشيخ ابن باز: (الذي يقوله غلط – لا.. غلط – الذي يقوله غلط سوف نكتب عليه إن شاء الله).

Tatkala salah seorang dari hadirin berkata kepada syaikh yang mulia bahwa ada sebagian ulama yang menasehatkan untuk senantiasa membaca kitab ini, Samahatusy Syaikh Ibnu Baz menukas : “Orang yang mengatakan demikian gholath (keliru)… tidak… ia keliru… yang mengatakan demikian keliru, kelak kami akan menulis tentangnya insya Alloh.”

المرجع: (درس لسماحته في منزله بالرياض سنة 1413 – تسجيلات منهاج السنة بالرياض).

Sumber : Pelajaran Syaikh mulia di kediaman beliau di Riyadh tahun 1413 H, rekaman Minhahus Sunnah di Riyadh.

 

Fatwa Kedua :

وقال سيد قطب في كتابه “التصوير الفني في القرآن” عن موسى عليه السلام: (لنأخذ موسى إنه نموذج للزعيم المندفع العصبي المزاج…}ودخل المدينة على حين غفلة من أهلها فوجد فيها رجلين يقتتلان هذا من شيعته وهذا من عدوه فاستغاثه الذي من شيعته على الذي من عدوه فوكزه موسى فقضى عليه{ وهنا يبدوا التعصب القومي كما يبدو الانفعال العصبي وسرعان ما تذهب هذه الدفعة العصبية فيثوب إلى نفسه شأن العصبيين). ثم يقول عند قوله تعالى: }فأصبح في المدينة خائفاً يترقب{، قال: (وهو تعبير مصور لهيئة معروفة، هيئة المتفزع المتلفت المتوقع للشر في كل حركة وتلك سمة العصبيين) “التصوير الفني” (200، 201، 203) ط 13، دار الشروق.

Sayyid Quthb berkata di dalam bukunya at-Tashwir al-Fanni fil Qur`an tentang Musa ‘alaihis Salam : “Kita ambil contoh Musa, sesungguhnya beliau adalah contoh figur seorang pemimpin yang emosional, fanatik dan ingin menang sendiri… “Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.” [QS al-Qoshshosh : 15). Di sini, tampak kefanatikan kesukuan beliau (Nabi Musa) sebagaimana tampak pula sentimen kesukuan dan betapa cepatnya naluri kefanatikan beliau bergolak, sehingga terbalas atas diri beliau urusan dendam orang-orang yang fanatik.” Kemudian beliau (Sayyid Quthb) berkata tentang firman Alloh Ta’ala : “Karena itu jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan rasa khawatir.” Berkata Sayyid Quthb : “hal itu merupakan suatu ungkapan yang menggambarkan keadaan suatu kondisi yang telah diketahui, yaitu kondisi orang yang khawatir ketakutan dan merasa was-was dengan keburukan dari tiap gerak-geriknya, dan inilah ciri orang-orang yang fanatik itu.” [Tashwirul Fanni (200,201,203), cet. Ke-13, Darul Masyruq.]

قال سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز – رحمه الله – لما قرىء عليه مثل هذا الكلام: (الاستهزاء بالأنبياء ردة مستقلة).

Berkata Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahi tatkala dibacakan kepada beliau ucapan ini : “Menghujat para Nabi adalah perbuatan murtad yang mengeluarkan dari Islam.”

المرجع: (درس لسماحته في منزله بالرياض سنة 1413 – تسجيلات منهاج السنة بالرياض).

Sumber : Pelajaran Syaikh mulia di kediaman beliau di Riyadh tahun 1413 H, rekaman Minhahus Sunnah di Riyadh.

 

Fatwa Ketiga :

وقال سيد قطب في كتابه “كتب وشخصيات” (ص242) عن معاوية بن أبي سفيان، وعمرو بن العاص رضي الله عنهما: (إن معاوية وزميله عمراً لم يغلبا علياً لأنهما أعرف منه بدخائل النفوس، وأخبر منه بالتصرف النافع في الظرف المناسب، ولكن لأنهما طليقان في استخدام كل سلاح، وهو مقيد بأخلاقه في اختيار وسائل الصراع. وحين يركن معاوية وزميله إلى الكذب والغش والخديعة والنفاق والرشوة وشراء الذمم لا يملك علي أن يتدلى إلى هذا الدرك الأسفل، فلا عجب ينجحان ويفشل. وإنه لفشل أشرف من كل نجاح).

Berkata Sayyid Quthb di dalam bukunya Kutub wa Syakhshiyat (hal. 242) tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Mu’awiyah dan rekannya ‘Amr, keduanya tidaklah mengalahkan ‘Ali hanya karena keduanya adalah orang yang lebih mengetahui ketimbang ‘Ali mengenai kedalaman jiwa dan lebih berpengalaman darinya tentang aktivitas yang menguntungkan pada waktu yang tepat. Namun, dikarenakan keduanya lebih mahir di dalam menggunakan berbagai senjata, sedangkan ‘Ali terkungkung dengan akhlak beliau di dalam memilih sarana-sarana untuk bertempur. Dan tatkala Mu’awiyah dan rekannya lebih condong untuk melakukan dusta, tipu daya, kecurangan, kemunafikan dan penyuapan serta jual beli darah, ‘Ali tidak memiliki kemampuan untuk berlaku serupa hingga kepada perbuatan yang paling rendah ini. Oleh karena itu tidaklah heran apabila keduanya berhasil sedangkan Ali gagal. Namun sungguh kegagalan ini jauh lebih mulia ketimbang segala bentuk keberhasilan.”

قال الشيخ عبد العزيز بن باز- رحمه الله – لما سئل عن هذا الكلام وقرىء عليه: (كلام قبيح !! هذا كلام قبيح سب لمعاوية وسب لعمرو بن العاص ؛ كل هذا كلام قبيح، وكلام منكر. معاوية وعمرو ومن معهما مجتهدون أخطأوا *. والمجتهدون إذا أخطأوا فالله يعفوا عنا وعنهم).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu ketika ditanyakan tentang ucapan ini dan dibacakan kepada beliau, berkata : “Perkataan jelek!! Ini perkataan yang sunguh jelek, mencela Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Semua ucapan ini adalah ucapan yang jelek dan ucapan yang mungkar. Mu’awiyah, ‘Amr dan orang-orang yang beserta mereka adalah para mujtahid yang tersalah*. Dan para mujtahid itu apabila tersalah maka semoga Alloh mengampuni kita dan mereka.”

[Keterangan : *

قال فضيلة الشيخ صالح الفوزان: (الجزم بخطئهما غير واضح فلو قيل: مجتهدون إن أصابوا فلهم أجران، وإن أخطأوا فلهم أجر واحد، وخطؤهم مغفور ؛ لكان أحسن وأعدل)

Berkata Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan : Pemastian akan kesalahan keduanya adalah tidak jelas. Sekiranya dikatakan : mereka adalah mujtahid yang apabila benar mendapatkan dua pahala dan apabila salah mereka mendapatkan satu pahala dan kesalahan mereka terampuni, niscaya yang demikian ini lebih baik dan lebih obyektif.]

قال السائل: قوله: (إن فيهما نفاقاً) أليس تكفيراً ؟

Berkata seorang penanya : “ucapan Sayyid “sesungguhnya keduanya telah berlaku munafik” bukankah ini termasuk pengkafiran?”

قال الشيخ عبد العزيز – رحمه الله -: (هذا خطأ وغلط لا يكون كفرا ؛ فإن سبه لبعض الصحابة، أو واحد من الصحابة منكرٌ وفسق يستحق أن يؤدب عليه – نسأل الله العافية – ولكن إذا سب الأكثر أو فسقهم يرتد لأنهم حملة الشرع. إذا سبهم معناه قدح في الشرع.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu menjawab : “Ini salah dan keliru namun tidak menjadikan kafir. Sesungguhnya pencelaan terhadap sebagian sahabat atau salah seorang sahabat adalah suatu kemungkaran dan kefasikan yang harus diberi hukuman atas pelakunya -kami memohon keselematan kepada Alloh-, akan tetapi apabila ia mencela mayoritas sahabat atau menfasikkan mereka, maka ia telah murtad dikarenakan mereka -para sahabat- adalah pembawa syariat. Apabila ia mencela mereka maka ini artinya sama dengan mencela syariat.”

قال السائل: ألا ينهى عن هذه الكتب التي فيها هذا الكلام ؟

Seorang penanya berkata : “Tidakkah lebih baik buku-buku yang di dalamnya terdapat ucapan-ucapan semisal ini dilarang saja?”

قال سماحة الشيخ عبد العزيز – رحمه الله -: ينبغي أن تمزق. ثم قال الشيخ: هذا في جريدة ؟.

Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata : “Bahkan lebih tepat disobek-sobek.” Kemudian Syaikh berkata : “apakah ucapan ini terdapat di surat kabar?”

قال السائل: في كتاب أحسن الله إليك.

Penanya menjawab : “Di dalam sebuah buku (wahai Syaikh) semoga Alloh berbuat kebaikan kepada anda.”

قال الشيخ عبد العزيز: لمن ؟.

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz : “karangan siapa?”

قال السائل: لسيد قطب.

Penanya menjawab : “karangan Sayyid Quthb”.

قال الشيخ عبد العزيز: هذا كلام قبيح.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz berkata : “ini ucapan yang buruk”

قال السائل: في “كتب وشخصيات”.

Penanya berkata : “di dalam bukunya Kutub wa Syakhshiyat.”

المرجع: (شرح رياض الصالحين لسماحته بتاريخ يوم الأحد 18/7/1416).

Sumber : Syarh Riyadhish Shalihin yang diasuh oleh Samahatusy Syaikh pada tanggal 18/7/1416 H.

فتوى العلامة المحدث محمد ناصر الدين الألباني

FATWA AL-‘ALLAMAH AL-MUHADDITS MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI

Fatwa Pertama :

قال العلامة المحدث محمد ناصر الدين الألباني – رحمه الله – معلقاً على خاتمة كتاب “العواصم مما في كتب سيد قطب من القواصم”:

Berkata al-‘Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu mengomentari penutup buku al-‘Awashim mimma fi Sayyid Quthb minal Qawashim :

كل ما رددته على سيد قطب حقٌ صوابٌ، ومنه يتبين لكل قارئ على شيء من الثقافة الإسلامية أن سيد قطب لم يكن على معرفة بالإسلام بأصوله وفروعه. فجزاك الله خير الجزاء أيها الأخ (الربيع) على قيامك بواجب البيان والكشف عن جهله وانحرافه عن الإسلام.

“Semua apa yang anda bantah dari Sayyid Quthb adalah haq dan benar. Darinya akan menjadi jelas bagi setiap pembaca sebagai suatu tsaqofah (wawasan) islamiyyah bahwasanya Sayyid Quthb tidaklah mengetahui Islam baik ushul maupun furu’-nya. Semoga Alloh mengganjar anda dengan ganjaran yang baik wahai saudara Rabi’ atas upaya anda di dalam menunaikan kewajiban menjelaskan dan menyingkap kejahilan dan penyimpangan Sayyiq Quthb terhadap Islam.”

المرجع: (من ورقة بخط الشيخ الألباني رحمه الله كتبها في آخر حياته).

Sumber : Dari sebuah kertas dengan tulisan tangan Syaikh al-Albani rahimahullahu yang beliau tuliskan pada akhir hayat beliau.

Fatwa kedua :

قال العلامة المحدث محمد ناصر الدين الألباني – رحمه الله – في سياق مناقشة لشخص: أنا قلت يوماً ما بالنسبة لسيد قطب. تسمع بالشيخ عبد الله عزام ؟

Berkata al-‘Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu di dalam suatu percakapan diskusi dengan seseorang : “Aku pernah berkata pada suatu hari terdahulu yang berkaitan tentang Sayyid Quthb. Engkau mendengar dari Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam?

قال السائل: نعم.

Penanya berkata : “iya”

قال الشيخ: جزاك الله خيراً، عبد الله عزام كان هنا من الإخوان المسلمين، ومنذ قريب سبع سنين أو ثمان سنين الإخوان المسلمون اتخذوا قراراً بمقاطعة الألباني ؛ مقاطعة دروسه ومقاطعة كل من ينتمي إلى دعوته علماً أن عبد الله عزام كان هو الرجل الوحيد من بين الإخوان المسلمين الذي لا يكاد يسمع أن الشيخ الألباني عنده جلسة في دار كذا إلا يكون هو من أول الحضور ومعه دفتر (هيك) صغير وقلم (هيك) صغير جداً يكتب فيه خلاصات.

Syaikh berkata : “Semoga Alloh membalas anda dengan kebaikan. ‘Abdullah ‘Azzam dahulunya di sini termasuk al-Ikhwanil Muslimin. Dan semenjak hampir tujuh atau delapan tahunan, al-Ikhwanul Muslimun membuat suatu keputusan untuk mengisolir al-Albani, mengisolir pelajaran-pelajarannya dan mengisolir semua orang yang berafiliasi kepada dakwahnya. Ketahuilah, ‘Abdullah ‘Azzam ini dulunya adalah satu-satunya orang dari Ikhwanul Muslimin yang apabila ia mendengar bahwa Syaikh al-Albani memiliki majelis pengajian di suatu daerah ini, pastilah ia menjadi orang yang pertama kali hadir di majelis itu dengan membawa buku catatan kecil dan pena yang sangat kecil, ia menulis di dalamnya kesimpulan-kesimpulan (pengajian).

هذا الرجل الودود حقاً لما صدر قرار مقاطعة الألباني ما عاد حضر عند الألباني إطلاقاً. لقيته في “مسجد صهيب” ونحن خارجون من الصلاة، سلمت عليه بطبيعة الحال وسلَّم هو على استحياء لأنه لا يريد أن يخالف القرار !

Orang yang tersayang ini, benar-benar, tatkala keluar keputusan Ikhwanul Muslimin untuk mengisolir al-Albani, ia tidak pernah hadir kembali di majelis al-Albani sama sekali. Aku bertemu dengannya di Masjid Shuhaib dan kami ketika itu sedang keluar dari Masjid. Aku memberikan salam padanya sebagaimana biasanya, dan ia membalas salamku dengan sedikit malu-malu, dikarenakan ia tidak mau menyelisihi keputusan (Ikhwanul Muslimin).

قلت له: أيش هذا يا شيخ، هكذا الإسلام يأمركم ؟ قال – أي عبد الله عزام -: سحابة صيف عما قريب تنقشع.

Aku berkata kepadanya : “Apa-apaan ini wahai syaikh, apakah begini Islam memerintahkan anda?” Ia -yaitu ‘Abdullah ‘Azzam- menjawab : “Awan musim kemarau yang sebentar lagi ini akan lenyap.”

عاود الشيخ فقال: راحت أيام وجاءت أيام كان جاء زارني على البيت ما وجدني، الخلاصة قام بتتبع الأخبار عرف أني أنا عند نظام لما كان بيته تحت في البلد، طرق الباب دخل، أهلاً وسهلاً، قال: أنا جئت البيت ما وجدتك وأنا كما تعلم حريص على الاستفادة من علمك من هذا الكلام، قلت له: أنا هكذا أعرف، لكن أيش معنا المقاطعة هذه ؟

Syaikh kembali melanjutkan perkataannya : “Hari-hari telah berlalu dan datang hari-hari lainnya, suatu hari ia datang mengunjungiku di rumah namun ia tidak menjumpaiku. Singkat cerita ia mencari berita tentangku lalu ia mengetahui bahwa diriku sedang berada di rumah Nizham (menantu Syaikh al-Albani) dimana rumahnya berada di dataran rendah. Ia mengetuk pintu lalu masuk, Ahlan wa Sahlan (selamat datang), lalu ia berkata : “aku mendatangi rumah anda namun aku tidak menjumpai anda. Aku sebagaimana anda ketahui, benar-benar antusias untuk mengambil faidah dari ilmu anda dari percakapan ini.” Aku berkata kepadanya : “aku tahu tentang hal ini, tapi kenapa koq sampai ada pengisoliran terhadapku segala?”

قال: أنت كفَرتَ سيد قطب – وهذا الشاهد -. قلت له: أيش كفَّرت ؟ قال: أنت بتقول إنه هو يقرر عقيدة وحدة الوجود في تفسير أولاً:”سورة الحديد”- أظن -وثانياً: بـ “قل هو الله أحد”. قلت: نعم، نقل كلام الصوفية ولا يمكن أن يفهم منه إلا أنه يقول بوحدة الوجود، لكن نحن من قاعدتنا – وأنت من أعرف الناس بذلك لأنك تتابع جلساتي – لا نكفر أنساناً ولو وقع في الكفر إلا بعد إقامة الحجة، فكيف أنتم تعلنون المقاطعة هذه وأنا موجود بين ظهرانيكم…(كلمة غير واضحة) أنت إذا ما جئت تبعثوا شخص يتحقق من أنه صحيح أنا أكفر سيد قطب.

Ia (‘Abdullah ‘Azzam) berkata : “Anda telah mengkafirkan Sayyid Quthb -dan ini adalah buktinya-.” Aku berkata kepadanya : “Bagaimana aku mengkafirkannya?” Ia berkata : “Anda mengatakan bahwa ia (Sayyid Quthb) -pertama- menetapkan aqidah Wihdatul Wujud di dalam tafsir surat al-Hadid -menurut perkiraanku -, dan yang kedua, dalam surat Qul huwallohu ahad.” Aku (Syaikh al-Albani) berkata : “Benar, ia (Sayyid) mencuplik ucapan-ucapan Shufiyah yang tidak mungkin difahami darinya melainkan ia berpendapat dengan wahdatul wujud. Akan tetapi kami dengan kaidah kami -sedangkan engkau adalah manusia yang paling mengetahui hal ini karena engkau selalu mengikuti majlisku- kami tidak mengkafirkan seorang manusia walaupun ia jatuh ke dalam kekufuran kecuali setelah ditegakkan hujjah. Bagaimana bisa kalian mengumumkan pengisoliran ini sedangkan aku berada bersama kalian… (ucapan tidak jelas). Engkau apabila tidak bisa datang, bisa mengutus seseorang untuk menverifikasi kebenaran apakah saya mengkafirkan Sayyid Quthb.

كان معه يومئذٍ لما جاء لنظام أخونا علي السطري، قلت له: سيد قطب هكذا يقول في سورة كذا. قام فتح في مكان آخر فيه بأن الرجل يؤمن بالله ورسوله والتوحيد …إلخ، قلنا له: يا أخي نحن ما أنكرنا هذا الحق الذي يقوله، لكننا أنكرنا هذا الباطل الذي قاله. ورغم هذه الجلسة فيما بعد راح نشر مقالتين أو ثلاثة بصورة متتابعة في”مجلة المجتمع” في الكويت بعنوان ضخم: (الشيخ الألباني يكفر سيد قطب)، والقصة طويلة جداً لكن

الشاهد فيها أين ؟

Suatu hari, ketika ia bersama Nizham datang saudara kita ‘Ali as-Sathiri. Aku berkata kepadanya : “Sayyid Quthb begini berkata di dalam surat ini”. Kemudian ia bangkit sembari membuka di tempat lain (dalam buku Sayyid Quthb untuk menunjukkan, pent.) bahwasanya orang tersebut (Sayyid Quthb) adalah orang yang mengimani Alloh, Rasul-Nya, tauhid… dst. Kami berkata kepadanya : “wahai saudaraku, kami tidak mengingkari kebenaran yang diucapkannya (Sayyid Quthb) ini. Akan tetapi kami mengingkari kebatilan yang diucapkan olehnya.” Walaupun dengan adanya pertemuan ini, namun setelah berlalunya waktu, ia menyebarkan dua makalah atau tiga secara berturut-turut di Majalah “al-Mujtama’” [Majalah Ikhwanul Muslimin] di Kuwait dengan judul yang besar “Syaikh Albani mengkafirkan Sayyid Quthb”. Kisah di dalam majalah itu sangat panjang sekali, namun dimana bukti di dalamnya?

أننا نحن نقول (هيك) ونقول (هيك) فالذي يأخذ إن سيد قطب كفره الألباني مثل الذي يأخذ إنه والله الشيخ الألباني أثنى على سيد قطب في مكان معين، هؤلاء أهل أهواء، يا أخي ! هؤلاء لا سبيل لنا أن نقف في طريقهم إلا أن ندعـو الله لهـم فقط، أفأنتَ تُكْرهُ الناس حتى يكونوا مؤمنين) اهـ.

Kami berkata “demikianlah” dan “demikianlah” [haik itu bermakna hakadza dan ini logatnya orang Suriah], maka barangsiapa yang memahami bahwa sesungguhnya Sayyid Quthb dikafirkan oleh al-Albani sebagaimana ia (‘Abdullah ‘Azzam) memahaminya, sesungguhnya -demi Alloh- Syaikh Albani telah memuji Sayyid Quthb pada tempat tertentu. Mereka semua adalah ahlul ahwa` wahai saudaraku! Mereka tidak ada jalan bagi kami untuk mensikapi cara mereka ini melainkan dengan mendoakan bagi mereka saja. Apakah anda mampu memaksa manusia agar mereka semua menjadi orang mukmin? [maksudnya : biar bagaimanapun cara kita menjelaskan, apabila mereka tidak faham mereka tidak bakal faham, kewajiban kita hanya menyampaikan adapun hasil bukanlah tanggung jawab kita pent.]

المرجع (شريط للشيخ بعنوان “مفاهيم يجب أن تصحح” ).

Sumber : Kaset rekaman syaikh yang berjudul Mafahim Yajibu an Tushohah.

فتوى العلامة الشيخ محمد بن صالح العثيمين

FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHOLIH AL-‘UTSAIMIN

Fatwa Pertama :

سئل فضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين: (- أثابكم الله – أرجو إجابتي على هذا السؤال: إننا نعلم الكثير من تجاوزات سيد قطب لكن الشيء الوحيد الذي لم أسمعه عنه، وقد سمعته من أحد طلبة العلم مؤخراً ولم أقتنع بذلك ؛ فقد قال: إن سيد قطب ممن يقولون بوحدة الوجود. وطبعاً هذا كفر صريح، فهل كان سيد قطب ممن يقولون بوحدة الوجود ؟ أرجو الإجابة جزاكم الله خيراً.

Fadhialasy Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ditanya : “Semoga Alloh memberikan pahala kepada anda, saya berharap jawaban atas pertanyaan ini : sesungguhnya kita banyak mengetahui tentang penyelewengan Sayyid Quthb, akan tetapi ada satu hal yang aku belum pernah mendengar darinya. Namun akhirnya aku telah mendengar dari salah seorang penuntut ilmu namun aku belum merasa puas dengannya. Ia (penuntut ilmu itu) berkata : “Sesungguhnya Sayyid Quthb itu termasuk orang orang berkata dengan wahdatul wujud.” Tentu saja ini merupakan kekufuran yang nyata. Apakah Sayyid Quthb termasuk orang yang berkata dengan wahdatul wujud? Saya mengharapkan jawaban anda, semoga Alloh membalas anda dengan kebaikan.

قال الشيخ محمد: (مطالعتي لكتب سيد قطب قليلة ولا أعلم عن حال الرجل، لكن قد كتب العلماء فيما يتعلق بمؤلفه في التفسير “ظلال القرآن”، كتبوا ملاحظات عليه، مثـل ما كتبـه الشيـخ عبد الله الدويش – رحمه الله – وكتب أخونا الشيخ ربيع المدخلي ملاحظات عليه ؛ على سيد قطب في التفسير وفي غيره. فمن أحب أن يراجعها فليراجعها).

Syaikh Muhammad menjawab : “Penelaahan saya terhadap buku-buku Sayyid Quthb amatlah minim dan saya tidak begitu mengetahui keadaan orang ini. Namun, ada ulama yang telah menulis yang berkaitan dengan karya tulis Sayyid Quthb di dalam tafsir Zhilalil Qur’an. Mereka menulis beberapa koreksi terhadap tafsirnya, seperti yang ditulis oleh Syaikh ‘Abdullah ad-Duwaisy rahimahullahu dan apa yang ditulis oleh saudara kami Rabi’ ad-Madkholi berupa koreksian atasnya, atas Sayyid Quthb di dalam tafsirnya dan selainnya. Barangsiapa yang mau menelaahnya maka silakan menelaahnya.”

المرجع (من شريط “اللقاء المفتوح الثاني بين الشيخين العثيمين والمدخلي بجده”، ثم وَقَّعَ عليها الشيخ محمد بتاريخ 24/2/1421)

Sumber : Kaset al-Liqo`ul Maftuh baina asy-Syaikhaini al-‘Utsaimin wal Madkholi bi Jiddah. Kemudian ditandatangani oleh Syaikh Muhammad pada tanggal 24/2/1421.

Fatwa Kedua :

قال سيد قطب في تفسير سورة الإخلاص في “ظلال القرآن”: (إنها أحدية الوجود، فليس هناك حقيقة إلا حقيقته، وليس هناك وجود حقيقي إلا وجوده، وكل موجود آخر؛ فإنما يستمد وجوده من ذلك الوجود الحقيقي، ويستمد حقيقته من تلك الحقيقة الذاتية، وهي من ثم أحدية الفاعلية، فليس سواه فاعلا لشيء أو فاعلا في شيء في هذا الوجود أصلاً، وهذه عقيدة في الضمير، وتفسير للوجود). (“الظلال” (6/4002،4003)). وقال في قوله تعالى: }الرحمن على العرش استوى{ : (أما الاستواء على العرش فنملك أن نقول: إنه كناية عن الهيمنة على هذا الخلق).(“الظلال” (4/2328)،(6/3408)، ط12، 1406، دار العلم).

Berkata Sayyid Quthb tentang tafsir surat al-Ikhlash di dalam Zhilalul Qur’an : “Sesungguhnya ia adalah wujud yang tunggal, tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya, dan tidak ada suatu wujud yang hakiki melainkan wujud-Nya. Dan setiap suatu yang maujud (eksis) lainnya, maka sesungguhnya wujudnya bersandar pada wujud hakiki itu dan hakikatnya bersandar pada hakikat dzatiyah itu, dan karena itulah ia fa’iliyah (perbuatan) yang tunggal, tidak ada selain-Nya melakukan sesuatu atau berbuat suatu hal di dalam wujud (eksistensi) ini secara asal/pokok, dan ini merupakan aqidah di dalam dhamir (bentuk) dan tafsir terhadap wujud.” [azh-Zhilal (VI/4002-4003)]. Ia juga berkata menafsirkan firman Alloh Ta’ala : “Ar-Rahman (Alloh yang maha pemurah) yang bersemayam di atas Arsy” : “Adapun istiwa` di atas Arsy dapat kita katakan bahwasanya istiwa` ini merupakan kinayah (kiasan) dari al-Haimanah (penguasaan) atas makhluk (ciptaan)-Nya ini.” [Azh-Zhilal (4/2328), (6/3408) cet. Ke-12, 1406, Darul ‘Ilmi].

سئل فضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين – حفظه الله – عن صاحب كتاب “في ظلال القرآن” ومنهجه في التفسير؟

Fadhilatusy Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang penulis kitab Fi Zhilalil Qur’an dan manhajnya di dalam tafsir?

فقال: (أنه كثر الحديث حول هذا الرجل وكتابه، وفي كتب التفسير الأخرى كتفسير ابن كثير، وتفسيـر ابن سعـدي، وتفسيـر القرطبي – علـى ما فيـه من التساهـل في الحديـث -، وتفسيـر ] أبي بكر] الجزائري الغنى والكفاية ألف مرة عن هذا الكتاب. وقد ذكر بعض ] أهل العلم ] كالدويش والألباني الملاحظات على هذا الكتاب، وهي مدونة وموجودة. ولم أطلع على هذا الكتاب بكامله وإنما قرأتُ تفسيره لسورة الإخلاص وقد قال قولاً عظيماً فيها مخالفاً لما عليه أهل السنة والجماعة؛ حيث أن تفسيره لها يدل على أنه يقول بوحدة الوجود. وكذلك تفسيره للاستواء بأنه الهيمنة والسيطرة. علماً بأن هذا الكتاب ليس كتاب تفسير وقد ذكر ذلك صاحبه، فقال: “ظلال القرآن”. ويجب على طلاب العلم ألا يجعلوا هذا الرجل أو غيره سببا للخلاف والشقاق بينهم، وأن يكون الولاء والبراء له أو عليه.

Beliau menjawab : “Bahwasanya telah banyak perbincangan terhadap orang ini dan bukunya. Dan di dalam buku-buku tafsir lainnya semisal tafsir Ibnu Katsir, tafsir ibnu Sa’di, tafsir al-Qurthubi -selain dari tasahul (terlalu mudahnya) di dalam (menilai) hadits- dan tafsir (Abu Bakar) al-Jaza`iri lebih kaya dan lebih mencukupi seribu kali daripada buku ini (Fi Zhilalil Qur’an). Sebagian ulama semisal ad-Duwaisy dan al-Albani telah menyebutkan beberapa koreksi atas buku ini, dan koreksian ini telah dicetak dan dibukukan. Aku belum menelaah buku ini secara sempurna, hanya saja yang telah aku baca adalah tafsirnya tentang surat al-Ikhlash, dan ia telah berkata dengan perkataan yang dahsyat yang di dalamnya menyelisihi (aqidah) ahlus sunnah wal jama’ah, dimana tafsirannya terhadap ayat itu menunjukkan bahwa dirinya berkata dengan wahdatul wujud. Demikian pula dengan tafsirannya terhadap istiwa` yang dimaknai dengan al-Haimanah (pemeliharaan) dan as-Saithoroh (penguasaan). Perlu diketahui, bahwasanya buku ini bukanlah buku tafsir. Penulisnya sendiri saja menyebutnya sebagai Zhilalul Qur`an. Wajib atas para penuntut ilmu untuk tidak menjadikan orang ini atau selainnya sebagai sebab perselisihan dan perpecahan diantara mereka, dan agar menempatkan wala` dan baro` baginya atau atasnya.”

المرجع: (مجلة الدعوة – عدد1591- 9 محرم 1418، ثم وَقَّعَ عليها الشيخ محمد بتاريخ 24/2/1421).

Sumber : Majalah ad-Da’wah no. 1591, tanggal 9 Muharam 1418, kemudian syaikh menandatanginya tanggal 24/2/1421.

Fatwa Ketiga :

قال السائل: ما هو قول سماحتكم في رجل ينصحُ الشباب السُّنِّيّ بقراءة كتب سيد قطب، ويخص منها: “في ظلال القرآن” و “معالم على الطريق” و “لماذا أعدموني” دون أن ينبه على الأخطاء والضلالات الموجودة في هذه الكتب ؟

Seorang penanya berkata : “Apa pendapat yang mulia terhadap seseorang yang menasehatkan para pemuda sunni untuk membaca buku-buku Sayyid Quthb, terutama Fi Zhilalil Qur`an, Ma’alim fith Thariq dan Limadza a’damuni tanpa menjelaskan kesalahan-kesalahan dan kesesatan-kesesatan yang terdapat di dalam buku-buku tersebut?

فقال الشيخ ابن عثيمين – حفظه الله -: ( أنا] قولي ] – بارك الله فيك – أن من كان ناصحاً لله ورسوله ولإخوانه المسلمين أن يحث الناس على قراءة كتب الأقدمين في التفسير وغير التفسير فهي أبرك وأنفع وأحسن من كتب المتأخرين، أما تفسير سيد قطب – رحمه الله – ففيه طوام – لكن نرجو الله أن يعفو عنه – فيه طوام: كتفسيره للاستواء،
وتفسيره سورة “قل هو الله أحد”، وكذلك وصفه لبعض الرسل بما لا ينبغي أن يصفه به).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafizhahullahu [rahimahullahu sekarang, pent.] menjawab : “pendapatku -semoga Alloh memberkahi anda- bahwa barang siapa yang memberikan nasehat karena Alloh, Rasul-Nya dan bagi saudara-saudaranya muslim, supaya menganjurkan manusia membaca buku-buku orang terdahulu baik di dalam masalah tafsir maupun selain tafsir, karena hal ini lebih berbarakah, lebih bermanfaat dan lebih baik daripada buku-buku kontemporer. Adapun tafsir Sayyid Quthb rahimahullahu, maka di dalamnya ada kekeliruan, akan tetapi kami memohon kepada Alloh agar mengampuninya. Di dalam tafsirnya ada kekeliruan seperti tafsirnya tentang istiwa`, tafsirnya tentang surat qul huwallohu ahad, dan demikian pula dengan pensifatannya kepada sebagian rasul dengan sifat yang tidak layak.”

المرجع (من شريط أقوال العلماء في إبطال قواعد ومقالات عدنان عرعور، ثم وَقَّعَ عليها الشيخ محمد بتاريخ 24/2/1421) .

Sumber : Kaset Aqwalul ‘Ulama` fi Ibthalil Qowa`id wa Maqolat ‘Adnan ‘Ar’ur kemudian syaikh menandatanginya pada tanggal 24/2/1421.

 

فتوى العلامة الشيخ صالح بن فوزان الفوزان

FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN

 

Fatwa Pertama :

قال سيد قطب في تفسير قوله تعالى: وفي الرقاب في “ظلال القرآن”: (وذلك حين كان الرق نظاما عالمياً تجري المعاملة فيه على المثل في استرقاق الأسرى بين المسلمين وأعدائهم، ولم يكن للإسلام بد من المعاملة بالمثل، حتى يتعارف العالم على نظام آخر غير الاسترقاق). ( “الظلال” (3/1669)، وكرر ذلك في تفسير سورة البقرة (1/230)، وفي تفسير سورة المؤمنون (4/2455)، وفي تفسير سورة محمد (6/3285)).

Sayyid Quthb berkata tentang tafsir firman Alloh Ta’ala : “Dan (memerdekakan) hamba sahaya” di dalam Fi Zhilalil Qur`an : “dan demikianlah ketika perbudakan dulunya merupakan peraturan dunia yang muamalah berlangsung di dalamnya, dalam bentuk perbudakan yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka. Akan tetapi Islam tidak mengharuskan menggunakan sistem mu’amalah yang serupa, sampai dunia akhirnya mengetahui peraturan lain selain perbudakan.” [Azh-Zhilal (3/169), dan beliau mengulanginya lagi di dalam tafsir surat al-Baqoroh (I/230), surat al-Mu’minun (4/2455) dan surat Muhammad (6/3285).

 

قال سائل: فضيلة الشيخ، يرى بعض الكتاب العصريين أن هذا الدين قد أُجبر على
قبول نظام الرق الجاهلي في بادئ الأمر.

Seorang penanya berkata : “Fadhilatusy Syaikh, ada sebagian penulis kontemporer yang beranggapan bahwa agama ini terpaksa menerima hukum perbudakan jahiliyah pada permulaannya.”

قال فضيلة الشيخ صالح: أعوذ بالله.

Fadhilatusy Syaikh Shalih berkata : “A’udzubillah” (Aku memohon perlindungan kepada Alloh).

أكمل السائل سؤاله بقوله: بيد أنه جاء ] بتخفيفه ] عن طريق فتح أبواب الكفاراتوغيرها من الإعتاق الواجب في الموالى بالتدريج حتى ينتهي، وبالتالي يكون مقصود الشارع هو إزالة هذا النظام بالتدريج. فما توجيهكم ؟

Penanya itu menyempurnakan pertanyaannya dengan mengatakan : “Hanya saja dia berpendapat seperti ini untuk meminimalisir dari cara yang dapat membuka pintu bagi orang-orang kafir untuk mengobarkan permusuhan terhadap syariat, (dengan anggapan) bahwa memerdekakan budak wajib secara bertahap sampai selesai/berakhir. Selanjutnya (ia beranggapan) bahwa maksud Sang pemberi syariat (Alloh) adalah menghilangkan hukum ini secara bertahap. Apa arahan anda (terhadap ucapan ini)?

قال الشيخ صالح الفوزان: (هذا كلام باطل – والعياذ بالله – رغم أنه يردده كثير من الكتاب والمفكرين ولا نقول العلماء، بل نقول المفكرين كما يسمونهم. ومع الأسف يقولون عنهم الدعاة أيضاً، وهو موجود في تفسير سيد قطب في “ظلال
القرآن”، يقول هذا القول: إن الإسلام لا يقر الرق، وإنما أبقاه خوفاً من صولة الناس واستنكار الناس لأنهم ألفوا الرق، فهو أبقاه من باب المجاملة يعني كأن الله يجامل الناس، وأشار إلى رفعه بالتدريج حتى ينتهي. هذا كلام باطل وإلحاد – والعياذ بالله – هذا إلحاد واتهام للإسلام.

Syaikh Shalih Fauzan menanggapi : “Ini adalah ucapan yang batil –wal’iyadzubillah– walau ironinya hal ini senantiasa diulang-ulang oleh banyak penulis dan pemikir tanpa ada penukilan dari ulama, hanya penukilan dari para pemikir sebagaimana mereka menyebutnya. Sayangnya lagi, hal ini juga diucapkan orang para du’at dan hal ini ada di dalam tafsir Sayyid Quthb di dalam Fi Zhilalil Qur`an. Ia berkata tentang hal ini : sesungguhnya Islam tidak menetapkan adanya perbudakan dan sesungguhnya Islam menetapkan hal ini hanya karena takut akan serangan dan pengingkaran manusia dikarenakan manusia (dulu) telah terbiasa dengan perbudakan. Islam menetapkannya sebagai bentuk mujamalah (bersikap baik) yaitu seakan-akan Alloh bersikap baik terhadap manusia, kemudian ia mengisyaratkan atas diangkatnya (hukum perbudakan) secara bertahap hingga akhirnya berhenti. Ucapan ini adalah ucapan yang batil dan ilhad (menyimpang) –wal’iyadzubillah-. Ini adalah ilhad dan tuduhan terhadap Islam.

ولولا العذر بالجهل،] لأن ] هؤلاء نعذرهم بالجهل لا نقول إنهم كفارٌ ؛ لأنهم جهال أو مقلدون نقلوا هذا القول من غير تفكير فنعذرهم بالجهل، وإلا الكلام هذا خطير لو قاله إنسان متعمد ارتد عن دين الإسلام، ولكن نقول هؤلاء جهال لأنهم مجرد أدباء أو كتاب ما تعلموا، ووجدوا هذه المقالة ففرحوا بها يردون بها على الكفار بزعمهم.

Sekiranya tidak diberi ‘udzur (apologi) atas kejahilannya (maka mereka telah kafir), hanya saja mereka semua ini kita beri ‘udzur atas kejahilannya oleh karena itu kami tidak mengatakan mereka ini kafir, dikarenakan mereka jahil atau hanya bertaklid dengan menukil pendapat ini tanpa memikirkannya dan kami memberi mereka udzur (atas hal ini). Apabila tidak, ucapan yang bahaya ini jika diucapan oleh seseorang secara sengaja maka ia telah murtad keluar dari Islam. Tapi kami berpendapat mereka ini jahil, karena mereka hanyalah sekedar seorang sasterawan atau penulis yang tidak mengetahui, lalu mereka mendapatkan ucapan ini dan mereka bergembira dengannya dan mereka membantah kaum kafir dengan ucapan ini.

لأن الكفار يقولون: إن الإسلام يُمَلِّكَ الناس، وأنه يسترق الناس، وأنه وأنه، فأرادوا أن يردوا عليهم بالجهل، والجاهل إذا رد على العدو ] فإنه ] يزيد العدو شراً، ويزيد العدو تمسكا بباطله. الرد يكون بالعلم ما يكون بالعاطفة، أو يكون بالجهل، ] بل ] يكون الـرد بالعلم والبرهان، وإلا فالواجب أن الإنسان يسكت ولا يتكلم في أمور خطيرة وهو لا يعرفها.

Oleh sebab orang kafir mengatakan : sesungguhnya agama Islam itu memperbolehkan manusia dijadikan sebagai hak milik (properti), Islam mencuri (hak) manusia, Islam begini dan begini, lantas mereka (para pemikir dan penulis ini) ingin membantah orang kafir tadi dengan kebodohan. Dan orang jahil itu, apabila membantah seorang musuh, maka ia menyebabkan musuh itu malah bertambah menjadi buruk dan semakin berpegang dengan kebatilannya. Membantah itu haruslah dengan ilmu, tidak dengan luapan perasaan (emosi) atau dengan kejahilan, namun haruslah dengan ilmu dan burhan (argumentasi yang terang). Apabila tidak, maka wajib bagi seseorang untuk diam dan tidak berbicara di dalam perkara yang riskan sedangkan ia tidak mengetahui (ilmu)nya.

فهذا الكلام باطل ومن قاله متعمدا فإنه يكفر، أما من قاله جاهلاً أو مقلداً فهذا يعذر
بالجهل، والجهل آفةٌ قاتلة – والعياذ بالله – فالإسلام أقر الرق والرق قديم قبل الإسلام موجود في الديانات السماوية ] ومستمر ] ما وجد الجهاد في سبيل الله، فإن الرق يكون موجوداً لأنه تابع للجهاد في سبيل الله – عز وجل – وذلك حكم الله – جل وعلا – ما فيه محاباة لأحد ولا فيه مجاملة لأحد، والإسلام ليس عاجزاً أن يصرح ويقول: هذا باطل؛ كما قال في عبادة الأصنام وكما قال في الربا وكما قال في الزنا وكما قال في جرائم الجاهلية، الإسلام شجاع ما يتوقف ويجامل الناس ؛ ] بل ] يصرح ] برد ] الباطل، ] و ] يبطل الباطل.

Ucapan ini adalah ucapan batil dan barangsiapa mengucapakannya dengan sengaja maka ia kafir. Adapun orang yang mengatakannya karena kejahilannya atau taklid, maka ia diberi udzur atas kejahilannya dan kejahilan itu adalah penyakit yang membinasakan –wal’iyadzubillah-. Islam menetapkan perbudakan dan perbudakan itu telah ada semenjak dulu sebelum Islam, ada di dalam agama-agama samawi dan senantiasa ada selama ada jihad fi sabilillah. Sesungguhnya perbudakan akan senantiasa ada karena perbudakan senantiasa menyertai jihad fi sabilillah ‘Azza wa Jalla, dan yang demikian inilah hukum Alloh Jalla wa ‘Ala tanpa ada di dalamnya muhaabah (kecondongan cinta) dan mujamalah (kecondongan bersikap baik) terhadap seorang pun. Islam itu bukanlah agama yang lemah di dalam menjelaskan dan menyatakan “ini batil”, sebagaimana pernyataan Islam terhadap peribadatan kepada berhala-berhala, riba, zina, kejahatan jahiliah, (dll. ) Islam adalah agama yang berani yang tidak bersikap dan berbuat baik kepada manusia (hanya untuk mendapatkan simpati manusia, pent.), namun Islam tegas membantah kebatilan dan menolak kebatilan.

هذا حكم الله – سبحانه وتعالى – فلو كان الرق باطلاً ما جامل الناس فيه ؛ بل قال هذا باطل، ولا يجوز فالرق حكم شرعي باق ما بقي الجهاد في سبيل الله شاؤا أم أبوا. نعم، ] وسبب الرق هو الكفر بالله فهو عقوبة لمن أصر على الكفر واستكبر عن عبادة الله عز وجل ولا يرتفع إلا بالعتق.

Ini adalah hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala, kalau sekiranya perbudakan itu batil niscaya tidak ada sikap baik manusia di dalamnya. Bahkan mengatakan hal ini adalah batil dan tidak boleh, karena perbudakan adalah hukum syar’i yang akan senantiasa ada selama jihad fi sabilillah ditegakkan baik mereka kehendaki maupun mereka enggan. Iya, alasan adanya perbudakan ini adalah kekufuran kepada Alloh dan perbudakan ini merupakan hukuman bagi orang yang tetap bersikeras di dalam kekufuran dan bersikap sombong dari beribadah hanya kepada Alloh Azza wa Jalla saja dan tidak akan terangkat (status budaknya) kecuali dengan memerdekakannya.

المرجع: (من شريط بتاريخ الثلاثاء 4/8/1416 ثم صححه الشيخ).

Sumber : Kaset rekaman pada hari Selasa, 4/8/1416 kemudian dikoreksi sendiri oleh Syaikh.

 

 

Fatwa Kedua :

سئل الشيخ العلامة صالح الفوزان عن قراءة كتاب “ظلال القرآن” ؟ فقال: (وقراءة الظلال فيها نظر لأن الظلال يشتمل على أشياء فيها نظر كثير، وكوننا نربط الشباب بالظلال ويأخذون ما فيه من أفكار هي محل نظر. هذا قد يكون له مردود سيئ على فكار الشباب. فيه تفسير ابن كثير، وفيه تفاسير علماء السلف الكثيرة وفيها غنى عن مثل هذا التفسير.

Syaikh al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan ditanya tentang (hukum) membaca buku Zhilalul Qur`an, maka syaikh menjawab : “Membaca buku azh-Zhilal perlu dilihat dulu, dikarenakan buku azh-Zhilal mengandung perkara-perkara yang di dalamnya banyak sekali hal yang perlu ditinjau, dan hal ini menyebabkan kita mengikatkan para pemuda dengan buku azh-Zhilal sehingga mereka mengambil pemikiran-pemikiran yang perlu ditinjau kembali di dalamnya. Hal ini bisa jadi menyebabkan dampak yang buruk bagi pemikiran para pemuda. Masih ada buku tafsir Ibnu Katsir dan tafsir-tafsir ulama salaf sangatlah banyak, yang mana tafsir-tafsir ini lebih memadai daripada tafsir semisal ini (Zhilalul Qur`an).

وهو في الحقيقة ليس تفسيراً، وإنما كتاب يبحث بالمعنى الإجمالي للسور، أو في القرآن بوجه عام. فهو ليس تفسيراً بالمعنى الذي يعرفه العلماء من قديم الزمان ؛ أنه شرح معاني القرآن بالآثار، وبيان ما فيها من أسرار لغوية وبلاغية، وما فيها من أحكام شرعية. وقبل ذلك كله بيان مراد الله – سبحانه وتعالى – من الآيات والسور.

Buku ini pada hakikatnya bukanlah buku tafsir, namun hanyalah buku yang membahas makna ayat secara global pada tiap-tiap suratnya, atau makna al-Qur’an secara umum. Buku ini bukanlah tafsir dengan artian yang difahami para ulama zaman dahulu, yang menjelaskan makna-makna Al-Qur`an dengan atsar (riwayat), dan menjelaskan apa yang tersembunyi di baliknya dari sisi bahasa dan balaghoh dan menjelaskan apa yang ada di dalamnya berupa hukum-hukum syariat. Dan sebelum hal itu semua, penjelasan yang dimaksud oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah (berangkat) dari ayat-ayat dan surat-surat yang lain (yang saling menafsirkan, pent.).

أما “ظلال القرآن” فهو تفسير مجمل نستطيع أن نسميه تفسيراً موضوعياً فهو من التفسير الموضوعي المعروف في هذا العصر، لكنه لا يُعتَمد عليه لما فيه من الصوفيات، وما فيه من التعابير التي لا تليق بالقرآن مثل وصف القرآن بالموسيقى والإيقاعات، وأيضاً هو لا يعنى بتوحيد الألوهية، وإنما يعنى في الغالب بتوحيد الربوبية وإن ذكر شيئاً من الألوهية فإنما يركز على توحيد الحاكمية، والحاكمية لاشك أنها نوع من الألوهية لكن ليست ]وحدها] هي الألوهية المطلوبة، ] وهو يوؤل الصفات على طريقة أهل الضلال ]. والكتاب لا يجعل في صف ابن كثير وغيره من كتب التفسير.

Adapun Zhilalul Qur`an maka ia merupakan tafsir yang global, mungkin kita dapat menyebutnya dengan tafsir maudhu’i (tafsir tematik) yang ia termasuk tafsir tematik yang terkenal di zaman ini. Namun tafsir ini tidak mu’tamad (tidak dapat dijadikan sandaran) oleh sebab adanya pemahaman shufiyah di dalamnya, dan ungkapan-ungkapan yang tidak layak bagi Al-Qur`an, seperti mensifati al-Qur`an dengan musik dan not-not nada. Demikian pula tafsir ini tidak memahami tauhid uluhiyah, dan mayoritas yang disebutkan adalah tauhid rububiyah, sekiranya ia menyebutkan sesuatu tentang tauhid uluhiyah maka ia menfokuskannya pada tauhid hakimiyah. Dan tauhid hakimiyah itu tidak diragukan lagi adalah bagian dari tauhid uluhiyah, namun (tauhid hakimiyah) bukanlah satu-satunya uluhiyah yang dituntut. Ia juga menakwilkan sifat-sifat dengan metode kaum yang sesat. Oleh karena itu buku ini tidak bisa dijadikan sepadan dengan Ibnu Katsir dan selain beliau di dalam masalah tafsir.

هذا الذي أراه ولو اختير من كتب السلف، ومن الكتب المعنية بالعقيدة والمعنية بتفسير القرآن والمعنية بالأحكام الشرعية لكان هذا أنسب للشباب.

Inilah pendapatku dan sekiranya dipilih dari buku-buku salaf dan buku-buku yang spesifik membicarakan masalah aqidah, tafsir Al-Qur`an dan hukum-hukum syariat, maka niscaya yang demikian ini lebih layak bagi para pemuda.

المرجع (في شريط مجموع ما قاله ابن باز حول نصيحته العامة – لقاء مع فضيلته – مكة المكرمة – 9/8/1412 ثم صححه الشيخ) .

Sumber : Kaset “Kumpulan ucapan Ibnu Baz tentang nasehat beliau secara umum”, pertemuan bersama Fadhilatusy Syaikh Shalih Fauzan, Makkah Mukarramah, 9/8/1412, kemudian dikoreksi kembali oleh Syaikh.

 

 

Fatwa Ketiga :

قال السائل نقلاً عن الأخ عدنان عرعور – هداه الله – أنه قال: ( لماذا لا يلام الإمام أحمد في تكفيره لتارك الصلاة ويلام سيد قطب إذا صدر منه بعض العبارات، ونقول: هذا يكفر المجتمعات، ولا يلام الإمام أحمد – رحمه الله – وقد حكم على هذه الشعوب كلها بالكفر )- ] أي لأن أغلبهم لا يصلون ] – فما هو تعليق سماحتكم ؟.

Berkata seorang penanya menukilkan ucapan saudara ‘Adnan ‘Ar’ur -semoga Alloh memberinya petunjuk- yang mengatakan : Kenapa kita tidak mencela Imam Ahmad ketika beliau mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat namun mencela Sayyid Quthb ketika keluar darinya beberapa ungkapan/perkataan (yang bernada takfir, pent.) dan kita katakan, orang ini (Sayyid) mengkafirkan masyarakat, namun kita tidak mencela Imam Ahmad rahimahullahu yang telah menghukumi bangsa ini kafir semuanya (yaitu dikarenakan mayoritas mereka tidak menegakkan sholat). Apa komentar anda wahai syaikh yang mulia?

قال فضيلة الشيخ صالح الفوزان: ( الإمام أحمد عالم وحبر يعرف الأدلة وطرق الاستدلال، وسيد قطب جاهل ما عنده علم ولا عنده معرفة ولا عنده أدلة على ما يقول، فالتسوية بين الإمام أحمد وسيد قطب ظلم، ] لأن الإمام عنده أدلة كثيرة من الكتاب والسنة على كفر تارك الصلاة متعمداً، وسيد ليس عنده دليل واحد على ما يقول من تكفيره لعموم المسلمين بل الأدلة على خلاف ما يقول].

Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan menjawab : Imam Ahmad adalah seorang alim yang berilmu yang mengetahui dalil-dalil dan metode beristidlal (menggunakan dalil) sedangkan Sayyid Quthb adalah seorang yang jahil yang tidak berilmu, tidak memiliki pengetahuan dan dalil-dalil atas apa yang ia katakan. Maka menyepadankan antara Imam Ahmad dan Sayyid Quthb adalah suatu kezhaliman, dikarenakan Imam (Ahmad) memiliki dalil-dalil yang banyak dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atas kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, sedangkan Sayyid tidak memiliki dalil satupun atas apa yang ia ucapkan di dalam pengkafirannya terhadap kaum muslimin secara umum, bahkan dalil-dalil yang ada menyelisihi apa yang ia katakan.

كذلك قال أيضاً (يعني عرعور): ( لا أعلم أحداً تكلم في قضايا المنهج بمثل ما تكلم به سيد قطب، ومعظم ما كتبه كان مصيباً فيه). فسئل عن قوله هذا فأجاب: كلمة المنهاج هاهنا أقصد بها قضايا: التغيير، الانتخابات، الاغتيالات. وأقصد في زمانه:
أي وقت الخمسينات.

Ia (Adnan Ar’ur) berkata kembali : tidak seorangpun aku ketahui yang berbicara masalah manhaj serupa dengan apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthb, dan hampir keseluruhan buku yang ditulisnya merupakan (bukti) kebenaran hal ini. Adnan ditanya tentang perkataannya ini lalu ia menjawab : Kata minhaj di sini yang aku maksudkan adalah perkara : taghyir (perubahan), intikhobat (pemilu) ightiyalat (revolusi) dan yang aku maksudkan dengan di zamannya adalah pada tahun 50-an.

فأجاب الشيخ صالح: (هو لا يعرف لأنه جاهل، أما نحن نعرف – ولله الحمد – أن العلماء من قبل سيد قطب ومن بعده أنهم يخالفون سيد قطب. نعم ).

Syaikh Shalih menjawab : Dia (Adnan) tidak tahu bahwa dirinya (Sayyid) jahil sedangkan kita –walillahil hamd– mengetahui bahwa para ulama yang sezaman dan setelah Sayyid Quthb, mereka semua ini menyelisihi Sayid Quthb. Iya.

المرجع (من شريط “أقوال العلماء في إبطال قواعد ومقالات عدنان عرعور”).

Sumber : Kaset “Ucapan para ulama di dalam membatalkan kaidah dan ucapan Adnan ‘Ar’ur.

 

هل يقال: إن سيد قطب إن كان مجتهداً فهو مأجور على ذلك ؟ قال فضيلة الشيخ صالح – حفظه الله – جواباً على هذا: (ليس هو من أهل الاجتهاد حتى يقال فيه ذلك، لكن يقال: إنه جاهل يعذر بجهله. ثم إن مسائل العقيدة ليست مجالاً للاجتهاد لأنها توقيفية).

Apakah boleh dikatakan bahwa Sayyid Quthb apabila ia seorang mujtahid maka ia mendapatkan ganjaran atas hal itu? Fadhilatusy Syaikh Shalih hafizhahullahu menjawab hal ini : Sayid Quthb tidaklah termasuk ahli ijtihad sampai-sampai ia dikatakan seperti itu. Namun kita katakan : sesungguhnya ia jahil dan diberi udzur atas kejahilannya. Kemudian tentang permasalahan aqidah bukanlah bidang yang ijtihad berperan di dalamnya, dikarenakan aqidah itu tauqifiyah (tidak ditetapkan melainkan dengan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih, pent.).

المرجع (من تعليق الشيخ صالح حفظه الله بخطه على حاشية هذه البراءة)

Sumber : komentar Syaikh Shalih hafizhahullahu dengan tulisan tangannya terhadap catatan kaki buku Baro`atu Ulama`il Ummah.

 

 

فتوى للعلامة الشيخ صالح بن محمد اللحيدان

FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH SHALIH BIN MUHAMMAD AL-LUHAIDAN

 

سئل فضيلة الشيخ العلامة صالح بن محمد اللحيدان: هل يوجد في مجلد “ظلال القرآن” لسيد قطب شكٌ أو ريب بالنسبة للعقيدة، وهل تنصح باقتنائه أم لا ؟

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Muhammad al-Luhaidan ditanya : “Apakah ada di dalam juz Zhilalil Qur`an karya Sayyid Quthb suatu yang meragukan atau membimbangkan di dalam perkara yang terkait dengan aqidah, dan apakah anda menasehatkan untuk menelaah buku ini ataukah tidak?

فأجاب الشيخ: ( بل هو مليء بما يخالف العقيدة، فالرجـل – رحمه الله نسأل الله أن يرحم جميع أموات المسلمين – ليس من أهل العلم. هو من أهل الدراسات المدنية وأهل الأدب. وله كتبه السابقة قبل أن ينخرط في سلك الإخوان المسلمين، وكان من الأدباء، له كتاب: “حصاد أدبي”، و”الأطياف الأربعة”، وغيره.. و”طفل من القرية”، وأشياء كثيرة من هذا النوع. ثم شاء الله – جل وعلا – أن يتحول عما كان عليه.

Syaikh menjawab : Bahkan buku ini dipenuhi dengan hal-hal yang menyelisihi aqidah. Orang ini (Sayyid Quthb) -semoga Alloh merahmatinya dan kami memohon kepada Alloh agar merahmati semua kaum muslimin yang telah meninggal- ia bukanlah ulama. Ia adalah seorang ahli dalam studi peradaban dan ahli sastera. Ia memiliki buku-buku terdahulu sebelum turut terjun bergabung di dalam ikhwanul muslimin. Ia dulunya seorang yang ahli sastera, ia memiliki buku Hishod Adabi, al-Athyaf al-Arba’ah dan selainnya, juga Thiflu minal Qoryah dan masih banyak lagi buku-buku sejenis ini. Kemudian dengan kehendak Alloh Jalla wa ‘Ala ia berubah haluan dari sikap yang ia dulu berada di atasnya.

وكان في وقت نشط الناس في الكلام وإن قل العمل، وكان للكلام أثره فكان ما كان
وكتب هذا الكتاب الذي اسمه “في ظلال القرآن”. وإن شاء الله له حسنات، ولكن له أخطأ في العقيدة، وفي حق الصحابة ؛ أخطاء خطيرة كبيرة. وقد أفضى إلى ما قدم فنسأل الله أن يعفو عنا وعنه.

Dan ketika di waktu manusia sedang giat-giatnya di dalam berbicara walaupun sedikit beramal, saat itu ucapan-ucapan tersebut memberikan pengaruh padanya dan kemudian terjadilah apa yang terjadi lalu ia menulis buku ini yang berjudul Fi Zhilalil Qur`an. Insya Alloh buku ini memiliki beberapa kebaikan akan tetapi buku ini memiliki kesalahan-kesalahan dalam hal aqidah dan terhadap hak para sahabat, kesalahan yang sangat berbahaya sekali. Dan sampailah ia pada apa yang dikemukakan dan kami memohon kepada Alloh agar mengampuni diri kami dan beliau.

وأما كتبه فإنها لا تُعِّلمُ العقيدة ولا تقرر الأحكام، ولا يعتمد عليها في مثل ذلك، ولا ينبغي للشادي والناشئ في طريق العلم أن يتخذها من كتب العلم التي يعتمد عليها، فللعلم كتبه، وللعلم رجاله. أنصح أن يعتني طالب العلم بالقراءة للمتقدمين: الأئمة الأربعة، وللتابعين، وأهل الحق، وعلماء الإسلام المعروفين بسلامة المعتقد وغزارة العلم والتحقيق وبيان مقاصد الشريعة. وهم – ولله الحمد – كثيرون، وكتبهم محفوظة – بحمد الله – والمرجع في ذلك كله – عرض أقوال الناس – إنما يكون على كتاب الله وعلى سنة نبيه – rـ وعلى أقوال السلف (الصحابة) فهم أدرى وأعرف بمفاهيم كلام الله وكلام نبيه، وذلك كله – ولله الحمد – مدون في كتب العلماء من الصحاح والسنن، وكتب الآثار ؛ كالمصنفات ونحوها. فلا عذر لطالب العلم بالتقصير، ولا يصح أن يجعل كتب المتأخرين حاكمة على كتب المتقدمين. نعم.

Dan adapun buku-buku beliau, maka buku-buku tersebut tidak mengajarkan aqidah dan tidak pula menetapkan hukum-hukum, dan tidak boleh dijadikan sandaran dalam masalah tersebut. Tidaklah sepatutnya bagi para penuntut ilmu yang antusias dan semangat menjadikannya sebagai buku-buku ilmu yang bersandar kepadanya, karena ilmu itu memiliki buku-bukunya dan memiliki orang-orangnya (yang memang ahli). Saya nasehatkan bagi para penuntut ilmu untuk membaca buku-buku ulama terdahulu seperti buku-buku imam yang empat, para tabi’in, ahli kebenaran dan ulama Islam yang dikenal akan keselamatan aqidahnya dan kedalaman ilmunya di dalam tahqiq (meneliti) dan menjelaskan maksud-maksud syariat. Dan para ulama seperti ini –walillahil hamd– sangatlah banyak dan buku-buku mereka terpelihara –bihamdillah– dan sebagai referensi di dalam masalah ini seluruhnya -berhadapan dengan ucapan manusia- hanyalah dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta ucapan salaf (sahabat) yang mana mereka adalah kaum yang lebih mengetahui dan mengenal pemahaman akan Kalamullah dan ucapan nabi-Nya. Dan semuanya ini walillahil hamd terhimpun di dalam buku-buku para ulama seperti kitab Shahih, Sunan dan buku-buku atsar seperti mushonnaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak ada udzur bagi penuntut ilmu untuk meremehkan (hal ini) dan tidaklah benar menjadikan buku-buku kontemporer sebagai hakim pemutus terhadap buku-buku ulama terdahulu. Iya.

قال السائل: طالب علم يجالس أهل السنة وأهل البدع، ويقول: كفى الأمة تفريقاً وأنا أجالس الجميع.

Seorang penanya berkata : Seorang penuntut ilmu bermajlis dengan ahlis sunnah dan ahli bid’ah, dan ia berkata : cukuplah umat ini telah berpecah belah dan aku bermajlis dengan semuanya.

قال الشيخ: ( هذا مبتدع، من لم يفرق بين الحق والباطل ويدعي أن هذا لجمع الكلمة فهذا هو الابتداع، نسأل الله أن يهديه. نعم ).

Syaikh menjawab : orang ini adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Barangsiapa yang tidak membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan mendakwakan bahwasanya hal ini semua (ia lakukan) untuk mempersatukan kalimat maka inilah bentuk perbuatan bid’ah yang mengada-ada tersebut. Semoga Alloh memberikannya petunjuk. Iya.

المرجع (من شريط درس بعد صلاة الفجر في المسجد النبوي يتاريخ 23/10/1418)

Sumber : Kaset pelajaran selepas sholat Shubuh di Masjid Nabawi tanggap 23/10/1418.

 

 

فتوى للعلامة الشيخ عبد الله بن عبد الرحمن الغديان

FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH ‘ABDULLAH BIN ‘ABDIRRAHMAN AL-GHUDAYYAN

 

قال السائل: يقول عدنان عرعور: ( لا أعلم أحداً تكلم في قضايا المنهج مثل ما تكلم سيد قطب، ومعظم ما كتبه سيد كان مصيباً فيه، ومن أعظم كتبه “في ظلال القرآن” و”معالم على الطريق” و”ولماذا أعدموني” )، مع أنه صرح في مواضع أخرى أنه لم يقرأ هذه الكتب وينصح الشباب بقراءتها، فما قول سماحتكم ؟

Seorang penanya berkata : ‘Adnan ‘Ar’ur berkata : “Tidak seorangpun aku ketahui yang berbicara masalah manhaj serupa dengan apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthb, dan hampir keseluruhan buku yang ditulisnya merupakan (bukti) kebenaran hal ini. Diantara buku-buku utama beliau adalah Fi Zhilalil Qur`an, Ma’alim ‘alath Thoriq dan Limadza A’damuni.” Padahal di kesempatan lain ia (Adnan) secara tegas-tegas menyatakan bahwasanya ia belum membaca buku-buku ini namun ia menganjurkan para pemuda untuk membacanya. Apa tanggapan yang mulia (terhadap hal ini)?

قال فضيلة الشيخ عبد الله الغديان: ( الجواب أن الشباب ينصحون بعدم قراءتها وأنهم يقتصرون على دلالة القرآن ودلالة السنة وعلى ما كان عليه الخلفاء الأربعة والصحابة والتابعين ).

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah al-Ghudayyan menjawab : Jawabanku adalah bahwasanya para pemuda dianjurkan untuk tidak membaca buku-buku ini dan mereka dicukupkan hanya pada dalil-dalil Al-Qur`an, as-Sunnah dan apa yang para khalifah yang empat, para sahabat dan para tabi’in berada di atasnya.

المرجع (من شريط أقوال العلماء في إبطال قواعد ومقالات عدنان عرعور).

Sumber : Kaset “Ucapan para ulama di dalam membatalkan kaidah dan ucapan Adnan ‘Ar’ur”.

فتوى العلامة الشيخ عبد المحسن بن حمد العباد

FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH ‘ABDUL MUHSIN AL-‘ABBAD

 

سئل عالم المدينة الشيخ عبد المحسن العباد عن كتاب ظلال القرآن؟ فقال: ( كتاب ظلال القرآنأو في ظلال القرآنللشيخ سيد قطب رحمه الله هو من التفاسير الحديثة التي هي مبنية على الرأي، وليست على النقل، وليست على الأثر. ومن المعلوم أن أصحاب الرأي والذين يتكلمون بآرائهم ويتحدثون بأساليبهم يحصل فيهم الخطأ والصواب، ويصيبون ويخطئون، والإنسان الذي غير فاهم وغير متمكن من الأصلح له أن لا يرجع إليه وإنما يرجع إلى كتب العلماء المعتبرين مثل: تفسير ابن كثير وتفسير ابن جرير، ومثل تفسير الشيخ عبدالرحمن السعدي في المتأخرين فإن هذه تفسيرات العلماء.

Seorang ‘Alim dari Madinah, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad ditanya tentang kitab Zhilalul Qur`an, lantas beliau menjawab : “Buku Zhilalul Qur`an atau Fi Zhilalil Qur`an karya Sayyid Quthb rahimahullahu termasuk buku tafsir kontemporer yang dibangun di atas ro’yi (akal) bukan dibangun di atas naql (dalil wahyu) dan atsar. Sudah maklum bahwa shohibur ro’yi (pemikir/rasionalis) dan orang-orang yang berbicara dengan ra’yi (akal) mereka dan uslub (cara/metode) mereka bisa salah dan bisa benar, bisa betul dan bisa keliru. Adapun seseorang yang tidak memiliki pemahaman (yang baik) dan tidak pula mumpuni (di dalam memilah-milah) yang lebih benar darinya, maka janganlah ia merujuk kepadanya dan cukuplah ia merujuk kepada buku-buku para ulama mu’tabar (terkemuka), seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di di zaman ini, karena tafsir-tafsir ini adalah tafsir para ulama (bukan para tafsir para pemikir, pent.).

 

وأما الشيخ سيد قطب رحمه الله فهو من الكتاب من الأدباء يعني يكتب بأسلوبه وبألفاظه ويتحدث. ليس كلامه مبنياً على ] الأثر ] ولهذا إذا قرأه الإنسان ] لم يجده ] يقول: قال فلان وقال فلان وقال رسول الله كذا وكذا…الخ يعني من جمع الآثار والعناية بالآثار ؛ لأنه ما كان مبنيا على الأثر وإنما كان مبنياً على العقل والكلام بالرأي، ولهذا يأتي منه كلام ليس بصحيح وكلام غير صواب.

Adapun Syaikh Sayyid Quthb rahimahullahu, maka beliau termasuk penulis dari kalangan sasterawan, maksudnya beliau menulis dengan metode dan lafazh sastera serta berkata-kata dengannya. Ucapan beliau tidak dibangun di atas atsar, oleh karena itu apabila seseorang yang membaca tulisan beliau, dia tidak akan mendapatkan beliau mengatakan : “Fulan berkata, Fulan mengatakan, Rasulullah bersabda demikian dan demikian…” dan seterusnya, yaitu tidak menemukan kumpulan atsar dan perhatian dengan atsar, dikarenakan beliau tidak membangun (hujjahnya) dengan atsar, namun dibangun di atas akal dan berpendapat dengan fikiran, oleh sebab itulah ia banyak mengemukakan pendapat yang tidak shahih dan tidak benar.

ولهذا الاشتغال… العمر قصير وليس متسع لكون الإنسان يقرأ كل شيء ومادام أن الأمر كذلك فالقراءة فيما ينفع والفائدة فيه محققه وكلام أهل العلم.. أهل العلم الذين هم علماء ما هم كتّاب: الكتاب غير العلماء، الكاتب غير العالم. الكاتب هو الأديب الذي عنده يعني قدرة على الكتابة والإنشاء فيتحدث فيأتي بالكلمات منها ما يصيب ومنها ما يخطيء وأحيانا يعبر ويخطيء في التعبير ويأتي بعبارة هي ليست جيدة وليست مناسبة جاءت لكونه استرسل بكلامه وعبر بعباراته ولهذا يأتي في كلام سيد قطب رحمه الله كلمات غير لائقة يأتي في كلام سيد قطب في مؤلفاته في التفسير وفي غيره كلمات غير لائقة وغير مناسبة ولا يليق بالمسلم أن يتفوه بها، وأن يتكلم بها.

Untuk inilah menyibukkan diri… padahal umur itu pendek dan seorang manusia tidak akan bisa membaca segala sesuatu semuanya dan hal ini akan tetap demikian, maka di dalam membaca (hendaklah membaca) sesuatu yang bermanfaat dan faidah di dalamnya lebih jelas dan (membaca) ucapan para ahli ilmu… ahli ilmu adalah mereka dari kalangan para ulama bukan dari kalangan para penulis : para penulis itu bukan ulama dan seorang penulis itu bukanlah seorang yang alim. Seorang penulis itu adalah seorang sasterawan, yang dia memiliki kemampuan di dalam menulis dan mengarang serta berkata-kata dengannya, sehingga datang dari perkataan-perkataannya sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah, dan terkadang ia mengungkapkan sesuatu dan salah di dalam pengungkapannya dan menggunakan ungkapan yang tidak baik dan tidak layak yang disebabkan oleh cara penguraian ucapan dan pengungkapan ibarat-ibaratnya, oleh karena itulah terdapat di dalam ucapan Sayyid Quthb rahimahullahu ucapan-ucapan yang tidak layak, juga terdapat di dalam di dalam karya-karya tulis beliau dan selainnya ucapan-ucapan yang tidak pantas, tidak layak dan tidak sepatutnya bagi seorang muslim melakukan dan mengatakannya.

وأما القول بأنه ما شرح التوحيد مثل سيد قطب فهذا كلام غير صواب أبداً ؛ التوحيد لا يؤخذ من كلام سيد قطب وإنما يؤخذ من كلام العلماء المحققين مثل: البخاري وغير البخاري من الذين أتوا بالأسانيد والأحاديث عن رسول الله r وبينوا التوحيد وعرفوا التوحيد وعرفوا حقيقة التوحيد، وكذلك العلماء الذين علمهم في التوحيد ليس على الإنشاء وعلى الأساليب الإنشائية وعلى الكتابات الأدبية، وإنما بنوه على كلام العلماء وعلى الآثار وعلى كلام الله وكلام رسوله صلوات الله وسلامه وبركاته عليه. هذا هو الحقيقة الذين هم كتبوا في التوحيد واشتغلوا في التوحيد ).

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada (seorangpun) yang menjelaskan tauhid sebagaimana Sayyid Quthb, maka ini adalah pernyataan yang tidak benar sama sekali. Tauhid tidak diambil dari pendapat Sayyiq Quthb, namun diambil dari perkataan para ulama muhaqqiqin (peneliti) seperti al-Bukhari dan selain beliau yang menggunakan sanad dan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang menjelaskan tauhid, mengetahui tauhid dan hakikat tauhid. Demikianlah para ulama, pengetahuan mereka tentang tauhid tidaklah (dibangun) di atas karangan dan metode karang mengarang ataupun penulisan sastera, namun mereka membangunnya di atas ucapan para ulama, di atas atsar, Kalamullah dan ucapan Rasulullah -semoga shalawat, salam dan berkah senantiasa tercurahkan kepada beliau-. Inilah realita ulama sebenarnya, yang menulis dan menyibukkan diri dengan tauhid.”

المرجع (سؤال له بعد درس سنن النسائي في المسجد النبوي بتاريخ 7/11/1414).

Sumber : Pertanyaan kepada beliau selepas pelajaran Sunan an-Nasa`i di Masjid Nabawi pada tanggal 7/11/1414)

 

فتوى معالي الشيخ صالح بن عبد العزيز آل الشيخ

FATWA MA’ALI SYAIKH SHALIH BIN ‘ABDIL AZIZ ALU SYAIKH

 

سئل فضيلة الشيخ صالح بن عبد العزيز آل الشيخ: هل مما ينهى عنه قراءته من التفاسير تفسير سيد قطب رحمه الله – “في ظلال القرآن؟

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh ditanya dengan pertanyaan berikut : “Apakah diantara buku-buku tafsir yang dilarang untuk dibaca adalah buku Tafsir karya Sayid Quthb rahimahullahu yaitu Fi Zhilalil Qur`an?

فأجاب فضيلته: ( أما تفسير في ظلال القرآنلسيد قطب فهو من التفاسير التي اشتملت على مواضع كثيرة فيها بيان لبعض الآيات ؛ بيان حسنٌ. يعني فيها أسلوب أدبي فيه شيء من التنميق مما يفهم المرء دلالة الآيات عموماً وصلتها بالواقع، هذا مما يدركه القارئ له من أول ما يقرأ. ولهذا اعتنى به كثيرون في هذا العصر من هذه الجهة، حيث إنه في بعض الآيات يعبر عن التفسير بتعبيرات صحيحة وبعبارات أدبية مناسبة.

Fadhilatusy Syaikh menjawab : “Adapun tafsir Fi Zhilalil Qur`an karya Sayyid Quthb adalah termasuk buku-buku tafsir yang mengandung banyak sekali tema pembahasan di dalamnya dalam menjelaskan beberapa ayat, adalah penjelasan yang baik. Maksudnya, di dalamnya terdapat gaya-gaya sastera yang dipadu dengan gaya bahasa yang indah sehingga seseorang dapat memahami dilalah (petunjuk/makna) ayat secara umum dan dikorelasikan dengan realita yang ada. Inilah kesan yang ditangkap oleh pembaca ketika membaca bluku ini pertama kali. Oleh karena itulah, banyak sekali orang di zaman ini yang menaruh perhatian terhadap buku ini dengan alasan tersebut, dimana pada sebagian ayat diungkapkan penafsirannya dengan ungkapan-ungkapan yang shahih dan ungkapan-ungkapan sastera yang sesuai.

وأيضاً اشتمل كتابه على كثير من البدع والضلالات، فكتاب سيد قطب في ظلال القرآنما فيه من التحريفات أكثر مما في كتاب الصابوني. ومن أمثلة ذلك: أنه يؤول الاستواء. ومن أمثلته أنه يشعر في سورة الإخلاص بأن عنده ميل إلى بعض مذاهب المتصوفة من القائلين بوحدة الوجود أو نحو ذلك. يفهم منه ما نقول إنها ظاهرٌ بَيّن، لكن يفهم منه.

Namun buku beliau juga mengandung banyak kebid’ahan dan kesesatan. Buku Sayyid Quthb Fi Zhilalil Qur`an ini mengandung lebih banyak penyelewengan dibandingkan dengan buku ash-Shobuni. Diantara contohnya adalah : beliau menakwilkan kata istiwa`. Contoh lain lagi adalah dapat dirasakan bahwa di dalam (menafsirkan) surat al-Ikhlas, beliau memiliki kecenderungan kepada sebagian madzhab sufi yang berpendapat dengan wahdatul wujud atau semisalnya yang dapat difahami (dari ungkapannya), kami tidak mengatakan hal ini adalah zhahir dan terang namun (kami katakan) dapat difahami dari ungkapannya.

ومن ضمن ذلك أنه يقول: إن بحث زيادة الإيمان ونقصانه أنه من البحوث الكلامية التي لا ندخل فيها،قالها في سورة الأنفال عند قوله تعالى:وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيماناً في الحاشية. ومن أمثلة ذلك أنه يفسر الرب بالإله، والإله بالرب، يعني: توحيد الربوبية عنده هو توحيد الألوهية، وتوحيد الألوهية هو توحيد الربوبية، عنده عكس في فهمها، فالرب عنده هو المستحق للعبادة، والإله عنده هو الخالق الرازق ، وهذا لا شك أنه يتبعه أشياء من مسائل الاعتقاد ينحرف بها من يلتزمها عن جادة أقوال السلف.

Diantara penyelewengan lainnya adalah beliau berkata : Sesungguhnya pembahasan bertambah dan berkurangnya iman itu adalah termasuk pembahasan Kalamiyah yang tidak masuk di dalam (pembahasan aqidah). Beliau mengatakan hal ini di dalam catatan kaki ketika menafsirkan surat al-Anfal ketika firman Alloh : “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka maka bertambahlah keimana mereka.” Contoh lainnya adalah beliau menafsirkan kata Rabb dengan Ilah dan Ilah dengan Rabb, maksudnya tauhid ar-Rububiyah menurut beliau sama dengan tauhid al-Uluhiyyah dan tauhid al-Uluhiyyah itu sama dengan tauhid ar-Rububiyah. Ia memahami kedua tauhid ini secara terbalik, Rabb itu menurutnya adalah Dzat yang berhak untuk disembah dan Ilah adalah Sang Pencipta Sang pemberi Rezeki. Hal ini tidak diragukan lagi dapat menyebabkan orang yang mengikuti suatu pendapat darinya tentang masalah i’tiqad (keyakinan) dapat menyimpang dari berpegang dengan pendapat ulama salaf.

من ضمن ذلك أنه في مسائل طاعة المشركين لا يَفْهم تفصيل أهل العلم فيها، فيُفهم من ظاهر كلامه ما يكون موافقاً فيه لبعض الغلاة في مسائل الطاعة: طاعة المشركين، أو طاعة الأحبار والرهبان. ومن أمثلة ذلك ما ذكره في سورة الأنعام عند قوله تعالى: وإن أطعتموهم إنكم لمشركون فذكر فيها أشياء منها مما أدخله فيها كما أذكر مسألة لبس المرأة الأزياء والموديلات التي يصدرها أو تصدرها شركات الأزياء في باريسعلى حد تعبيره فيقول: أولئك الذين يُشرِّعون للنساء عامة ألبسة تلبس في الصباح كذا، وفي المساء كذا، وفي السهرة كذا، وفي العمل كذا … إلى آخره.

Termasuk penyimpangan beliau juga adalah di dalam masalah ketaatan kepada kaum musyrikin dimana beliau tidak memahami tafshil (perincian) para ulama mengenainya sehingga dapat di fahami dari zhahir ucapan beliau adanya keselarasan dengan sebagian pendapat kaum ghulat (ekstrimis) di dalam masalah ketaatan tersebut, yaitu ketaatan kepada kaum musyrikin atau ketaatan kepada para pendeta dan rahib-rahib. Seperti misalnya apa yang beliau sebutkan di dalam surat al-An’am ketika menafsirkan firman Alloh : “Dan jika kamu mentaati mereka tentulah kamu akan menjadi orang-orang musyrik.” Lalu beliau menyebutkan sesuatu hal yang beliau masukkan ke dalamnya (ke dalam masalah ketaatan, pent.) –sebagaimana yang saya ingat- yaitu masalah pakaian wanita yang memiliki desain dan model-model yang diproduksi oleh perusahaan desain di Paris, dan beliau berkata : mereka adalah orang-orang yang mensyariatkan bagi kaum wanita secara umum untuk menggunakan pakaian semisal ini di waktu pagi, seperti ini di waktu sore, seperti ini pada tengah malam, seperti pada saat bekerja… dan seterusnya.

يقول سيد قطب: إن هذه الفئة يعني: مصمم الأزياء إنهم آلهة لأنهم أحلوا الحرام فأُطيعوا، وحرموا الحلال فأُطيعوا. فيقول: المرأة المسلمة التي تطيعهم في ذلك قد اتخذتهم آلهة لأنها أطاعتهم في تحليل الحرام وتحريم الحلال. وهذا لا شك أنه كلام باطل ؛ لأن المرأة إذا لبست الملابس المحرمة التي جاءت من عند أولئك المصممين لا يعني أنها اعتقدت أنها حلال.

Sayyid Quthb mengatakan : Sesungguhnya kaum seperti ini, yaitu yang mendesain model pakaian wanita, sesungguhnya mereka adalah sesembahan-sesembahan dikarenakan mereka menghalalkan yang haram lalu mereka ditaati, dan mengharamkan yang halal lalu ditaati. Lalu beliau berkata : wanita muslimah yang turut mentaati mereka di dalam masalah berpakaian ini, maka sungguh telah menjadikan mereka sebagai sesembahan-sesembahan dikarenakan ia mentaatinya di dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Dan hal ini tidak diragukan lagi merupakan ucapan yang batil, karena seorang wanita apabila menggunakan pakaian yang haram yang dihasilkan oleh para desainer pakaian seperti itu, tidaklah otomatis artinya ia berkeyakinan bahwa hal ini halal.

فمسألة التكفير في اعتقاد أن هذا الذي حرمه الله جل وعلا حلال. أما إذا أطاعوهم مع عدم اعتقاد أن هذا حلال… ؛ فمثلاً امرأة لبست ملابس أبرزت صدرها ورجليها عند الرجال الأجانب متابعة للمصممين، هذا إن كانت تعتقد أن هذا الفعل حرام ونحو ذلك، وغُلبت عليه ؛ ضعف إيمانها ليس هذا بكفر ولم تؤله أولئك. فهو في هذه المسألة جعل الطاعة مكفرة، وقد أخذ بقوله بعض الجماعات التي غلت في مسألة الحكم بما أنزل الله؛في مسألة الطاعة؛ طاعة المشرعين، المصممين، المنظمين إلى آخره.

Masalah takfir (penvonisan kafir) adalah ketika meyakini bahwa sesuatu yang diharamkan oleh Alloh Jalla wa ‘Ala ini adalah halal. Adapun apabila ia mentaati mereka dengan tanpa berkeyakinan bahwa ini halal…, seperti misalnya seorang wanita yang berpakaian dengan pakaian yang terbuka bagian dada dan kakinya di depan lelaki ajnabi (asing) karena ikut-ikutan para desainer itu, apabila ia meyakini bahwa perbuatannya itu haram atau semisalnya, namun ia dikalahkan hawa nafsunya dan karena keimanannya yang lemah, maka hal ini bukanlah kekufuran dan ia tidak menjadikan mereka sebagai sesembahan. Beliau (Sayyid Quthb) di dalam masalah ini telah menjadikan ketaatan sebagai perkara yang mengkafirkan. Sebagian jama’ah mengambil pendapat beliau ini , dan mereka telah melampaui batas di dalam masalah berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh dan masalah ketaatan, yaitu ketaatan kepada kaum musyrikin, para desainer dan penentu masalah tersebut… dan seterusnya.

أيضاً من المسائل التي اشتمل عليها كتاب في ظلال القرآنأنه لا يظهر فيه اعتناء بما أثبته أهل السنة، يعني: يشبه أن يكون فكرياً غير مركز على مسألة معينة، يعني: على توجه معين هو أراد منه أن يكون كتاباً دعوياً كما يزعم يناسب الوقت، لكنه اشتمل على أشياء مما ذكرت وغيرها.

Juga termasuk diantara penyimpangan yang terkandung di dalam buku Fi Zhilalil Qur`an adalah bahwasanya tidak tampak pada beliau adanya perhatian tehadap apa yang ditetapkan oleh ahlus sunnah, maksudnya : seakan-akan pemikiran beliau tidak terfokus pada suatu masalah tertentu secara spesifik, dalam artian pada arah tertentu beliau menghendaki supaya bukunya menjadi buku dakwah sebagaimana yang beliau anggap sesuai dengan kondisi zaman ini, namun buku ini mengandung sesuatu yang telah saya sebutkan dan selainnya.

وأيضاً من الأشياء التي تفرد بها أنه ذكر في سورة يوسف ذكر أن أولئك الذين يسألون عن أحكام الإسلام وهم في مجتمع جاهلي هؤلاء يقدحون في الإسلام، والذين يجيبونهم من العلماء هؤلاء يشاركونهم في القدح. هذا معنى كلامه، لِمَ ؟ قـال: لأن أحكام الإسلام والفقه الإسلامي ما أتى إلا لينزل على واقع مسلم. أما هذه المجتمعات الجاهلية على حدِّ تعبيره فإنها لا تقبل أحكام الله حتى يجتهد لها العالم في بيان الأحكام!

Juga diantara sesuatu yang beliau lain dengan lainnya adalah, ketika beliau menyebutkan di dalam surat Yusuf, beliau menyebutkan bahwa mereka yang bertanya tentang hukum-hukum Islam sedangkan mereka adakah masyarakat jahiliyah, mereka ini hanya bermaksud melecehkan Islam, dan para ulama yang menjawab pertanyaan mereka, maka berarti turut serta di dalam pelecehan. Inilah makna (yang difahami) dari perkataannya. Kenapa demikian? Beliau berkata : Karena hukum-hukum Islam dan fikih Islami tidaklah datang melainkan untuk menyetujui keadaan realita seorang muslim. Adapun masyarakat jahiliyah ini –menurut definisi beliau – sesungguhnya tidak menerima hukum-hukum Islam sekalipun seorang alim bersungguhnya-sungguh di dalam menjelaskan hukum!

وهذا لا شك أنه صورة من صور المخالفة لمنهج الحق في هذا، لأن أحكام الإسلام تُبَيّن في الدار التي فيها مسلمون ولو لم يكن فيها إلا مسلم واحد. إذا سأل عن دينه بُيِّنَ له وتُكلم في بيان الإسلام وبيان أحكامه ولو كان في دار جاهلية. وتعميمه أن بلاد المسلمين دور جاهلية هذا لا شك أن فيه تعدٍ.يعني: جميعاًعلى حد تعبيره – .

Hal ini, tidak diragukan lagi merupakan suatu gambaran dari penyelewengan dari manhaj yang haq, dikarenakan hukum-hukum Islam itu dapat dijelaskan pada suatu negeri yang ada kaum muslimin di dalamnya, bahkan walaupun yang ada hanya seorang muslim saja. Apabila ia bertanya tentang agamanya maka diterangkan padanya dan diterangkan tentang Islam dan hukum-hukumnya, walaupun ia berada di negeri Jahiliyah. Adapun pengumuman beliau bahwa semua negeri kaum muslimin adalah negeri jahiliyah, maka ini tidak ragu lagi merupakan sikap melampaui batas, maksudnya : (beliau mengkafirkan) semuanya –menurut definisi yang beliau buat-.

وأيضاً من المسائل التي تفرد بها، أنه قسم الفقه إلى قسمين في سورة يوسف: (القسم الأول): فقه الأوراق. و (القسم الثاني): فقه الواقع، وفقه الحركة أيضاً. يقصد بفقه الأوراق: الفقه الموجود بين أيدينا من فقه علماء الإسلام، ويقصد بفقه الواقع: يعني الواقع الذي تعيشه الحركة وما حول الحركة ونحو ذلك ؛ يعني: ما حول الجماعة العاملة والتنظيم العامل، يقول: إن مهمتنا الآن العناية بفقه الحركة فقه الواقع. أما فقه الأوراق فهذا لم ينشأ إلا في مجتمع المدينة، لأنه لا بد فيه من مجتمع يطبقه، فإذا لم نوجد هذا المجتمع الذي يطبقه فإننا لا نحتاج إلى العناية به، كما تتوجه يعني الدراسات ونحو ذلك يعني العناية الكبيرة به. فالعناية الكبرى تنصب على فقه الواقع لأنه هو الذي تحتاج إليه الأمة ونحو ذلك.

Termasuk pula masalah yang beliau lain daripada lainnya adalah, beliau memilah-milah fikih menjadi dua macam di dalam surat Yusuf : yaitu (pertama) fiqhul auraq (fikih kertas atau teori) dan (kedua) fiqhul waaqi’ (fikih realitas) dan termasuk pula fiqhul harokah (fikih pergerakan). Yang beliau maksudkan dengan fiqhul auraq adalah fikih yang ada di tengah-tengah kita ini berupa fikih ulama Islam, sedangkan yang beliau maksudkan dengan fiqhul waaqi’ adalah realita yang dihadapi harokah, seputar harokah dan semisalnya., maksudnya yaitu seputar pengorganisasian jama’ah dan kelompok. Beliau berkata : Sesungguhnya, tanggung jawab kita sekarang adalah memperhatikan fikih harokah fiqhul waaqi’. Adapun fiqhul auraq, tidaklah berkembang melainkan di dalam masyarakat madani, karena haruslah ada masyarakat yang mempraktekkannya. Apabila kita tidak menemukan masyarakat yang mempraktekkannya, maka kita tidak perlu lagi memperhatikannya, sebagaimana studi-studi dan selainnya yang diarahkan dengan perhatian yang besar kepadanya. Perhatian besar kita haruslah tertujui pada fiqhul waaqi’, karena fikih inilah yang umat lebin membutuhkannya dan semisalnya.

له آراء كثيرة مخالفة إذا تأملت هذا الذي ذُكر، فطالب العلم الذي يحرص على العلم النافع إنما يطالع كتب السلف الصالح، يطالع الكتب التي تفيده العلم المنقى الصافي، أما الكتب المشتملة على الباطل، المشتملة على التحريفات، المشتملة على آراء شخصية ليس عليها أدلة ظاهرة من القرآن والسنة لا يوافق علماء أهل السنة والجماعة عليها، فإن قراءة طالب العلم خاصة المبتدئ فيها إنها قد تسبب وتوقع في قلبه شبهة، والحريص على دينه لا يوقع ولا يسعى في أن يوقع نفسه وقلبه في شبهة ).

Beliau memiliki banyak pemikiran yang menyimpang apabila anda memperhatikan hal yang telah disebutkan. Seorang penuntut ilmu yang antusias di dalam menuntut ilmu yang bermanfaat hanyalah dengan menelaah buku-buku salaf shalih, buku-buku yang dapat memberikan manfaat ilmu yang bersih lagi murni baginya. Adapun buku-buku yang mengandung kebatilan, mengandung penyelewengan, mengandung pemikiran-pemikiran individu yang tidak dibangun dengan dalil-dalil nyata dari al-Qur`an dan as-Sunnah, yang tidak menyepakati ulama ahlus sunnah wal jama’ah, maka sesungguhnya seorang penuntut ilmu terutama yang masih pemula, pada saat membacanya, dapat menyebabkan ketergelinciran dan menyusupnya syubhat di dalam hatinya. Orang yang antusias di dalam mempelajari agamanya tidak akan menjatuhkan dan membiarkan dirinya tergelincir dan disusupi oleh syubhat.”

المرجع ( “شرح كتاب مسائل الجاهلية لشيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب، الشريط السابع، الوجه الثاني ).

Sumber : Kaset “Syarh Masa`ilil Jahiliyah karya Syaikhil Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab”, kaset ke-7, side B.

 

Sebagian fatwa ini dicuplik dari buku Baro`atu Ulama`il Ummah min Tazkiyati Ahlil Bid’ah wal Madzmumah, karya Syaikh ‘Isham bin ‘Abdillah as-Sinaani. Dimuroja’ah oleh Al-‘Allamah Asy-Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan dan baca serta direkomendasikan oleh Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu. Download dari www.sahab.org.

sumber :

 

  1. FATWA ULAMA UMAT TENTANG SAYYID QUTHB (3 – Terakhir)

    31 Agu 2007 FATWA ULAMA UMAT TERHADAP SAYYID QUTHB. [Bagian 3 – Terakhir]. فتوى العلامة الشيخ عبد المحسن بن حمد العباد. FATWA AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH
    abusalma.net/?p=526Tembolok