KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAAN ORANG BERTAUHID


Tauhid adalah inti agama para nabi dan rasul. Mereka mengajak kepada tauhid dan merealisasikannya pada diri mereka sendiri dan pengikutnya. Seorang yang mewujudkan tauhid dan merealisasikannya dalam keyakinan dan perbuatannya adalah orang yang mendapatkan kedudukan istimewa di sisi Allah Robbul alamin.

Pembaca yang budiman, mungkin anda bertanya, “Bagaimana cara merealisasikan dan mewujudkan tauhid pada diri seseorang?! “Tentunya dengan membersihkan dan menyucikannya dari segala noda-noda syirik dan bid’ah, dan tidak terus-menerus melakukan maksiat. Barangsiapa yang demikian kondisinya, maka ia telah merealisasikan tauhid. [Lihat Qurroh Uyun Al-Muwahhidin (hal. 23) karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar Ash-Shumai’iy, 1420 H]

Jadi, seorang yang bertauhid haruslah memberikan ibadahnya kepada Allah -Ta’ala- saja, bukan untuk selain-Nya. Jika ia berdo’a dan memohon, maka ia tak berdo’a dan memohon, kecuali kepada Allah. Jika ia mengharap dan takut, maka ia tak mengharap dan takut, kecuali kepada Allah. Dia tak akan takut atau mengharap kepada makhluk, walau makhluk itu memiliki kehebatan dan keistimewaan apapun. Dia tak akan takut kepada jin-jin, roh-roh, kuntilanak, gondoruwo, wewe gombel, setan, kuburan dan makhluk halus; atau apapun diantara makhluk yang ditakuti oleh sebagian orang-orang jahil. Bahkan ia hanya takut kepada Allah, Pencipta mereka sehingga mereka hanya mengharap karunia, dan rahmat-Nya. Lanjutkan membaca

MENGATASI KONDISI PERPECAHAN UMMAT ISLAM


Bersatu dan berpisah karena Allah

Kondisi umat Islam yang berpecah sering memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana caranya?

Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan, permusuhan, pertentangan dan perceraian.

Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103) Lanjutkan membaca

Hukum Mengangkat Kedua Tangan pada Takbir-takbir Shalat ‘Id


Abu Abdillah, Ma’had As-Salafy Jember

Banyak pertanyaan muncul tentang hukum mengangkat kedua tangan pada takbir-takbir shalat ‘id selain takbiratul ihram, apakah amalan itu termasuk sunnah atau bukan. Permasalahan ini sering dibicarakan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya pada takbir yang dilakukan 7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua itu. Sementara pada prakteknya, ada di antara jama’ah shalat ‘id yang mengangkat tangannya dan ada pula yang tidak. Padahal di sana ada kaidah dan prinsip yang menyatakan bahwa ibadah itu sifatnya adalah tauqifiyyah, tidak ditunaikan kecuali ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mencoba menyebutkan keterangan para ulama dalam permasalahan ini dan bagaimana seharusnya sikap kita, apakah kita harus mengangkat kedua tangan pada setiap takbir -yang juga diistilahkan dengan takbir-takbir tambahan itu- ataukah tidak. Lanjutkan membaca

Ber-Idul Fitri di Atas Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam


Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 36/IX/VIII

Idul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah Subhanallahu wa Ta’la anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Idul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan. Diantara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, menggauli istri dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Namun akan lebih menjadi bermakna, tatkala hari yang mulia tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan yang sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Kapan Kita BerIdul Fitri?

Hari raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawwal yang dihasilkan dari ru’yatul hilal bukan dengan ilmu hisab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Berpuasalah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan hari bulan tersebut menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) Lanjutkan membaca

Cara-cara Dakwah Menurut Manhaj Salaf


Wasilah dakwah Islamiyyah Salafiyyah sangatlah banyak, amat mencukupi untuk menyebarkan agama ini, membimbing dan menunjuki segenap umat manusia yang memiliki latar belakang dan karakter yang beragam.

Dakwah Salafiyyah tidak membutuhkan wasilah-wasilah bid’ah yang menjamur di tengah-tengah kaum muslimin belakangan ini. Karena mereka yakin bahwa cara-cara syar’i yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah cara yang tepat dan cepat dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara wasilah dakwah Nabawiyyah adalah: Lanjutkan membaca

Zakat Fitrah Sesuai Tuntunan Nabi


Oleh Ustadz Muhammad Wasitho, Lc. (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)

panduan zakat fitrah zakat fitriSeorang muslim dalam menjalankan kewajiban puasa di bulan Ramadhan acap kali melakukan hal-hal yang dapat merusak atau mengurangi kesempurnaan puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Ta’ala mensyariatkan zakat fithri agar lebih menyempurnakan puasanya. Maka dari itu, dalam edisi kali ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk membahas dan memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri Agar ibadah yang mulia ini menjadi benar sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima oleh Allah Ta’ala.

A. Makna Zakat Fithri
Zakat fithri merupakan zakat yang disyari’atkan dalam agama Islam berupa satu sho’ dari makanan (pokok) yang dikeluarkan seorang muslim di akhir bulan Romadhon, dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah dalam berbuka dari puasa Romadhon dan penyempurnaannya. Oleh karena itu dinamakan shodaqoh fithri atau zakat fithri. (Lihat Fatawa Romadhon, II/901). Lanjutkan membaca

Sampaikan Ilmu Dariku Walau Satu Ayat


Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Seputar perawi hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if. Lanjutkan membaca

Download Ceramah Islam: Menyikapi Perbedaan di Kalangan Salafiyyun (Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari)


Alhamdulillah, berikut ini kami hadirkan rekaman pengajian Islam yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari dengan tema Menyikapi Perbedaan di Kalangan Salafiyyun  yang diangkat dari sebuah kitab yang ditulis oleh seorang ulama besar Salafi, yaitu Syaikh Ali Hasan al-Halabi Al-Atsari. Semoga nasihat yang sangat jelas dan gamblang dari ustadz Abu Ihsan dalam kajian ini bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bagi orang-orang yang menisbahkan diri mereka kepada dakwah Salafiyyah. Silakan download pada link berikut:

Menyikapi Perbedaan di Kalangan Salafiyyun 01

Menyikapi Perbedaan di Kalangan Salafiyyun 02

Sumber: Kajianonlinemedan.com

BERHARIRAYA DENGAN PEMERINTAH BUKAN ORMAS


BERPUASA, BER’IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH, BUKAN BERSAMA ORGANISASI TERTENTU

Oleh : Ustadz Mubarak Bamuallim

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin; sejak zaman Rasulullah shallallahualaihi wasallam , Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya bahwa idul fitri(1) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena Idul fitri– demikian pula puasa Ramadhan dan ‘Idul Adha– adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin. Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224). Lanjutkan membaca

Berhari Raya Dengan Siapa?


Sudah beberapa tahun ini, sering kali kaum muslimin di Indonesia tidak merasakan berhari raya bersama-sama. Mungkin dalam berpuasa boleh berbarengan, namun untuk berhari raya kadang kaum muslimin berbeda pendapat. Ada yang manut saja dengan keputusan Departemen Agama RI (pemerintah). Ada pula yang manut pada organisasi atau kelompok tertentu. Ada juga yang mengikuti hari raya di Saudi Arabia karena di sana sudah melihat hilal. Ada pula yang berpegang pada hasil hisab dari ilmu perbintangan. Ada pula yang semaunya sendiri kapan berpuasa dan berhari raya, mana yang berhari rayanya paling cepat itulah yang diikuti. Lalu manakah yang seharusnya diikuti oleh seorang muslim? Berikut kami bawakan beberapa fatwa Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’).

[Fatwa Pertama – Sekelompok Orang Berhari Raya Sendiri]

Fatawa no. 10973

Soal: Di negeri kami ada sekelompok saudara kami yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa memelihara jenggot. Akan tetapi, mereka ini menyelisihi kami dalam beberapa perkara. Di antaranya adalah dalam berpuasa Ramadhan. Mereka enggan untuk berpuasa sampai mereka sendiri dengan mata kepala melihat hilal (bulan sabit tanggal satu kalender Hijriah -pent). Pernah suatu waktu, kami memulai puasa Ramadhan satu atau dua hari sebelum mereka. Terkadang pula mereka berhari raya satu atau dua hari setelah kami merayakan Idul Fitri. Ketika kami bertanya pada mereka tentang puasa pada hari raya, mereka malah menjawab, “Kami tidak mau berhari raya dan tidak mau berpuasa sampai kami melihat sendiri hilal dengan mata kepala kami.” Mereka beralasan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihatnya“. Akan tetapi, mereka tidaklah menentukan ru’yah dengan alat tertentu sebagaimana yang kalian ketahui. Mereka juga menyelisihi kami dalam shalat ‘ied, mereka tidak shalat kecuali satu hari setelah ‘ied sesuai dengan ru’yah yang mereka lakukan. Semacam ini pula terjadi ketika Idul Adha, mereka menyelisihi kami dalam memulai menyembelih hewan kurban dan wukuf di Arofah. Mereka baru merayakan Idul Adha setelah dua hari kami merayakannya. Mereka tidaklah menyembelih hewan kurban kecuali setelah seluruh kaum muslimin menyembelih. Mereka juga shalat di masjid yang ada kuburan lalu mereka mengatakan bahwa tidaklah diharamkan shalat di masjid yang ada kuburan. Semoga Allah membalas amal kebaikan kalian. Lanjutkan membaca