Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut Ilmu ?


Tanya : Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?

Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia – akhirat. Allah ta’ala telah berfirman :

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [QS. Al-Baqarah : 201].

Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”. Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].

Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” [QS. Al-Kahfi : 65-66]

Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. [1]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه

”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].

Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا

”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].

’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :

انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين

”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].

Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].

Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :

من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].

Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i. Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا

”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].

Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan.

Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan……………..

Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.[5]

Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta’ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil al-walaa’ wal-baraa’ tidak berdasar atas nama Islam.

Kesimpulan : Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.

Abul-Jauzaa’ 1429

====================

Catatan kaki :

[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.

[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka” [HR. Bukhari dan Muslim].

[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html

[4] Allah ta’ala berfirman : {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. [QS. Al-Ahzaab : 59].

[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.

MENYIKAPI PENGUASA YANG DHALIM – Tanya Jawab


Tanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat ?

Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :

يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].

Lantas, bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empatbelas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ

“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].

عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ

Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].

Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf.[1] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]. [2]

Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :

وفيه : أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة الإمام ))

“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].

Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :

وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه

“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].

Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ketika terjadi fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur Mu’tazillah dan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para penguasa banyak menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur [3]. Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan :

أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار

“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk [4] dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].

Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang semisalnya. Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti…..

Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].

Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).

عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه

Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu ? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]. [5]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.

“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].

Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi :

إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر

“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].

Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.

Kita tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala Yahudi yang menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal tersebut dan memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis dan cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.

Kesimpulan : Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu a’lam.

DIALOG LANJUTAN……

Tanya : Saya setuju dengan pernyataan taat kepada pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang masih berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang) ? Dan tolong hubungkan dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?

Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :

إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].

Imam An-Nawawi berkata :

والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم

“Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]

Beliau kemudian melanjutkan :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

“Di dalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, 12/232].

Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang mesti diperbuat oleh kaum muslimin ketika menemui atsarah ini ? Keluar dari ketaatan ? atau bahkan memberontak (kudeta) ? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at Islam – tetap memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf, selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir) dan masih menegakkan shalat.

عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur ketaatan terhadap penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling agung (setelah ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah diberikan kecuali pada seorang muslim.

Adapun tentang firman Allah ta’ala :

وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ…… وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ…… وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS. Al-Maidah : 44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Maidah : 45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maidah : 47] [10]

maka ayat di atas juga tidak memutlakkan setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah).

Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :

فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله

“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]. [11]

Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat). Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut :

Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :

وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.

”Firman Allah ta’ala : Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].

Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :

أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق

“Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq” [lihat Zaadul-Masiir 2/366]. Dan lain-lain [12].

Jika ada orang yang berkata : “Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?”. Maka kita jawab : “Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar).

Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين

“Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa” [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].

Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]

Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan hadits :

لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة

“Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no. 22214; shahih].

Perhatikanlah ! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir) hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa bagiannya. Nash ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi pemahaman bagi kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan (yaitu QS. Aali Imran : 118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan : 118].

Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min duunikum di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali ‘Imran : 118].

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus Islam dan menegakkan shalat.

Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :

يَكُوْن بَعْدِيْ أَئِمَّة لاَ يَهتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رجَال قُلُوْبُهُم قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِيْ جِثْمَانِ إِنْسِ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتَطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأطِعْ

“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]

Wallaahu a’lam.

[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H].

[1] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إنما الطاعة في المعروف

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].

[2] Sebagian orang ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya secara keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak benar. Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة

“Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].

[3] Misalnya dapat dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi yang tersebar dalam beberapa juznya.

[4] Perkataan ini adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.

[5] Ibnu Hajar berkata [أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة] “Yaitu pintu mengingkari para penguasa dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13 penjelasan hadits nomor 6685].

[6] Pengertian atsarah yang diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.

Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan makna Atsarah : “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].

[7] Kekufuran yang nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur akbar), secara yakin tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memalingkannya dari kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan hujjah yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran. Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut tidaklah bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang tersebut tidaklah berlaku.

[8] Sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :

لو استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا

“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].

Maka kita jawab : Pertama, Satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz. Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan. Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]. Intinya, bahwa seorang pemimpin itu harus tetap didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika ia masih menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.

[9] Perhatikan hadits berikut :

عَنْ جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].

[10] Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya adalah “tidak berhukum”. Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari sekedar pada orang yang memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

[11] Namun anehnya, mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah ?

[12] Apabila tidak khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.

[13] Sesuai dengan kaidah dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).

[14] Hadits ini merupakan puncak pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu kami tekankan bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami jelaskan ini bukan untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan oleh sebagian pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh Sunnah …….

sumber :blog abul jazaa

Hadits-Hadits Dla’if yang Terdapat dalam Kitab At-Tauhid karya Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab


Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah adalah salah satu ‘ulama besar yang pernah dilahirkan di jamannya. Dikatakan, beliau adalah seorang mujaddid yang mengikuti pendahulunya – yaitu Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – dalam menegakkan kembali dakwah tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan bid’ah, khususnya di daerah Hijaz dan sekitarnya. Beliau rahimahullah adalah seorang ulama yang mempunyai pengetahuan yang luas. Banyak sudah karya tulis yang dilahirkan melalui pena yang beliau genggam. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ‘alal-‘Abiid. Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan point-point ringkas dan padat tentang tauhid dan keutamaannya, serta hal-hal yang merusaknya dari perkara-perkara kesyirikan. Tidak ada seorang pun yang membacanya dengan hati terbuka, kecuali ia akan mendapatkan faedah yang sangat banyak dari kebenaran yang beliau sampaikan. Tidak lain, karena dalam buku tersebut dipenuhi dengan perkataan : qaalallaah wa qaalar-rasuul (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Namun, sebagaimana buku-buku yang lain, buku ini pun tidak lepas dari ‘kritikan’. Dalam buku tersebut masih termuat beberapa hadits dla’if – walau jumlahnya tidak banyak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mencoba mengumpulkan hadits-hadits tersebut berdasarkan penghukuman atau takhrij dan tahqiq para ‘ulama ahli hadits yang tersebar dalam beberapa kitab.. Harapan saya, apa yang saya tulis ini (semoga) dapat bermanfaat bagi para Pembaca; menambah faedah bagi mereka yang akan, sedang atau telah mempelajari Kitaabut-Tauhiid.

BAB 2 : KEISTIMEWAAN TAUHID DAN DOSA-DOSA YANG DIAMPUNI KARENANYA – فضل التوحيد وما يكفر من الذنوب

Muallif (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab) berkata :

وعن أبي سعيد الخدري عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “قال موسى: يا رب علمني شيئا أذكرك وأدعوك به. قال: قل يا موسى: لا إله إلا الله ; قال: يا رب كل عبادك يقولون هذا. قال: يا موسى لو أن السموات السبع وعامرهن غيري والأرضين السبع في كفة، ولا إله إلا الله في كفة، مالت بهن لا إله إلا الله”. رواه ابن حبان والحاكم وصححه

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Musa berkata : “Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu”. Allah berfirman : “Katakanlah wahai Musa : Laa ilaaha illallaah”. Musa berkata : Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini”. Allah pun berfirman : ”Hai Musa, seandainya ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang ’Laa ilaaha illallaah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain; maka ’Laa ilaaha illallaah’ niscaya lebih berat timbangannya”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Haakim, dan ia menshahihkannya.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6218) dan Al-Mawaarid (no. 2324), serta Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (1/528). Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/327-328), An-Nasa’i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 834, 1141), Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat (102-103), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if karena perawi yang bernama Darraaj bin Sam’aan. Al-Imam Ahmad berkata : “Hadits-hadits Darraj dari Abu Al-Haitsam, dari Abu Sa’id Al-Khudriy adalah lemah”.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (9/54-55 no. 6185), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (1/718 no. 1988), dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban (no. 6218).

BAB 7 : TERMASUK SYIRIK; MEMAKAI GELANG, BENANG, DAN SEJENISNYA SEBAGAI PENGUSIR ATAU PENANGKAL MARA BAHAYA – من الشرك: لبس الحلقة والخيط ونحوهما لرفع البلاء أو دفعه

1. Hadits ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

عن عمران بن حصين رضي الله عنه: “أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا في يده حلقة من صفر فقال: ما هذه؟ قال من الواهنة. فقال: انزعها، فإنها لا تزيدك إلا وهنا؛ فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا”. رواه أحمد بسند لا بأس به

Dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan. Maka beliau bertanya : “Apakah ini ?”. Orang itu menjawab : “Penangkal sakit”. Nabi pun bersabda : “Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Sebab jika kamu mati sedangkan gelang itu masih ada di tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad laa ba’sa bih (tidak mengapa/bisa diterima).

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (4/445), Ibnu Majah (no. 3531), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (18/172 no. 391), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6085) dan Al-Mawaarid (no. 1410-1411), serta Al-Haakim (4/216).

Sanad hadits ini dla’if karena :

a) Adanya inqitha’ (keterputusan), karena Al-Hasan (Al-Bashriy) tidak mendengar hadits dari ‘Imran bin Hushain. Tashriih Al-Hasan dalam hadits di atas adalah tidak benar menurut Ibnul-Madini, Abu Hatim, dan Ibnu Ma’in.

b) Adanya ’an’anah dari Al-Mubaarak bin Fudlaalah, sedangkan ia adalah seorang mudallis.

Hadits ini dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (8/448 no. 6053) dan Adl-Dla’ifah (3/101-104), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/341 no. 7582 – beliau menegaskan adanya inqitha’ dalam sanadnya), serta Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (33/2-4-205).

2. Hadits ’Uqbah bin ’Aamir radliyallaahu ’anhu :

Muallif berkata :

وله عن عقبة بن عامر مرفوعا: “من تعلق تميمة فلا أتم الله له، ومن تعلق ودعة فلا ودع الله له”

Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad pula, dari ’Uqbah bin ’Aamir secara marfu’ : “Barangsiapa menggantungkan tamiimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya. Dan barangsiapa menggantungkan wada’ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (4/154), Abu Ya’la (no. 1759), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6086) dan Al-Mawaarid (no. 1413), Al-Haakim (4/216), Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (4/325), serta yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena Khaalid bin ’Ubaid. Ia seorang perawi yang majhul ’ain.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (8/448-449 no. 6054) dan Adl-Dla’iifah (3/427 no. 1266) serta Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/579-580 no. 8358).

BAB 10 : MENYEMBELIH BINATANG DENGAN NIAT BUKAN KARENA ALLAH – ما جاء في الذبح لغير الله

Muallif berkata :

وعن طارق بن شهاب: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب. قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟ قال: مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئا، فقالوا لأحدهما: قرب. قال ليس عندي شيء أقرب. قالوا له: قرب ولو ذبابا. فقرب ذبابا، فخلوا سبيله. فدخل النار. وقالوا للآخر: قرب. فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئا دون الله ، فضربوا عنقه؛ فدخل الجنة” رواه أحمد.

Dari Thaariq bin Syihaab : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula”. Para shahabat bertanya : “Bagaimana hal itu wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari dua orang tersebut : ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Ia menjawab : ‘Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya’. Merekapun berkata kepadanya lagi : ‘Persembahkanlah, sekalipun seekor lalat’. Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankannya untuk meneruskan perjalanan. Maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain : ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Dia menjawab : ‘Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah’. Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga”.

Diriwayatkan oleh Ahmad.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd (hal. 22), Ibnu Abi Syaibah (12/358) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/203).

Hadits yang benar adalah mauquf shahih pada Salmaan Al-Farisiy. Bukan marfu’ sebagaimana dikatakan oleh Muallif (Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab). Lihat Takhrij wa Tahqiq ’alaa Kitaab Al-Jawaabul-Kaafiy li-Ibnil-Qayyim oleh ’Amr bin ’Abdil-Mun’im Saliim (hal. 84-85).

BAB 14 : TERMASUK SYIRIK : ISTIGHTSAH ATAU BERDOA KEPADA SELAIN ALLAH – من الشرك أن يستغيث بغير الله أو يدعو غيره

Muallif berkata :

وروى الطبراني بإسناده “أنه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق يؤذي المؤمنين، فقال بعضهم: قوموا بنا نستغيث برسول الله صلى الله عليه وسلم من هذا المنافق، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إنه لا يستغاث بي، وإنما يستغاث بالله”.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanadnya : ”Pernah terjadi di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada seorang munafiq yang selalu mengganggu orang-orang mukmin. Maka berkatalah salah seorang di antara mereka : ”Marilah kita bersama-sama ber-istighatsah kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam supaya dihindarkan dari tindakan orang munafiq ini. (Ketika mendengar khabar ini), Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah kepadaku, akan tetapi istighatsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (melalui perantaraan Majma’uz-Zawaaid no. 17276) dan Ahmad (5/317).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena :

1. Ibnu Lahi’ah, ia seorang perawi yang dla’if dalam hafalan.

2. Adanya perawi yang mubham (tersembunyi identitasnya) sebelum ’Ubadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ’anhu.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (37/380-381).

BAB 16 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. SABA’ : 23 – قول الله تعالى: {حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}

Muallif berkata :

وعن النواس بن سمعان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا أراد الله تعالى أن يوحي بالأمر تكلم بالوحي أخذت السموات منه رجفة – أو قال رعدة – شديدة خوفا من الله (؛ فإذا سمع ذلك أهل السموات صعقوا، وخروا لله سجدا. فيكون أول من يرفع رأسه جبريل، فيكلمه الله من وحيه بما أراد. ثم يمر جبريل على الملائكة، كلما مر بسماء سأله ملائكتها: ماذا قال ربنا يا جبريل؟ فيقول جبريل قال الحق وهو العلي الكبير فيقولون كلهم مثل ما قال جبريل فينتهي جبريل بالوحي إلى حيث أمره الله)

Dari Nawwaas bin Sam’aan radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Apabila Allah ta’ala hendak mewahyukan perintah-Nya, maka Dia firmankan wahyu itu, dan langit-langit bergetar dengan keras karena rasa takut kepada Allah. Lalu apabila para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut, pingsanlah mereka dan bersimpuh sujud kepada Allah. Maka malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril, dan ketika itu Allah firmankan kepadanya apa yang Dia kehendaki dari wahyu-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap dia melalui satu langit ditanyai oleh malaikat penghuninya : ’Apakah yang telah difirmankan Tuhan kita wahai Jibril ?’. Jibril menjawab : ’Dia firmankan yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Dan seluruh malaikat pun mengucapkan seperti yang diucapkan oleh Jibril tersebut. Demikianlah, sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang telah diperintahkan Allah”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (no. 206), Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah (no. 515), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/152), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena :

1. Nu’aim bin Hammaad, ia seorang perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqriib : ”Shaduuq, yukhthi’ katsiiran (jujur, namun banyak salahnya”.

2. Al-Waliid bin Muslim. Ia seorang mudallis yang melakukan tadlis taswiyah dengan periwayatan secara ’an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah (hal. 226-227 no. 515) dan Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 359-360 no. 527).

BAB 21 : SIKAP BERLEBIHAN TERHADAP KUBURAN ORANG-ORANG SHALIH, AKAN MENJADIKANNYA SEBAGAI BERHALA YANG DISEMBAH SELAIN ALLAH – ما جاء أن الغلو في قبور الصالحين يصيرها أوثانا تعبد من دون الله

Muallif berkata :

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: “لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم زائرات القبور، والمتخذين عليها المساجد والسرج” رواه أهل السنن.

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan serta orang-orang yang membuat tempat ibadah dan memberi penerangan lampu di atas kuburan”.

Diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 320), An-Nasa’i (no. 2043), Abu Dawud (no. 3236), Ibnu Majah (no. 1575), Ahmad (1/229, 287, 324, 337), Ath-Thayaalisiy (no. 2733), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 12725), Al-Haakim (1/374), dan yang lainnya.

Hadits ini dla’if dengan lafadh di atas, dikarenakan ke-dla’if-an Abu Shaalih Baadzaan, Maula Umu Haanii’. Al-Haafidh berkata dalam At-Talkhiish (2/137) bahwa jumhur ’ulamaa menyatakan bahwa Abu Shalih Maula Ummu Haanii’ adalah dla’if (mudallis) dimana ia tidak mendengar hadits dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adl-Dla’iifah (1/393-396 no. 225), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (1/524 no. 1385), Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/471-472 no. 2030), Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (12/148), dan Dr. Muhammad bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy dalam Tahqiq ’alaa Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy (4/454 no. 2856).

BAB 24 : HUKUM SIHIR – ما جاء في السحر

Muallif berkata :

وعن جندب مرفوعا: “حد الساحر ضربه بالسيف” رواه التزمذي،

Dari Jundab secara marfu’ : ”Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal lehernya dengan pedang”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1464), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 1665), Ad-Daaruquthniy (3/114), Al-Haakim (4/360) dan Al-Baihaqi (8/136).

Sanad hadits ini adalah dla’if. Hadits ini mempunyai dua jalan.

Jalan pertama dari Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, dari Al-Hasan Al-Bashriy, dari Jundab. Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sangat dla’if. Adz-Dzahabi mengatakan dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin bahwa ia merupakan perawi yang disepakati ke-dla’if-annya.

Jalan kedua dari Khaalid bin ‘Abdirrahman Al-‘Abd, dari Al-Hasan Al-Bashriy, dari Jundab. Khaalid Al-‘Abd juga dla’if, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Al-Mughni fidl-Dlu’afaa’.

Dua jalan di atas berporos pada Al-Hasan Al-Bashriy. Ia seorang perawi mudallis yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adl-Dla’iifah (3/641-643 no. 1446), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/512 no. 8155), dan Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (2/161).

BAB 25 : PENJELASAN MENGENAI MACAM-MACAM SIHIR – بيان شيء من أنواع السحر

1. Hadits Ibnu Qabishah radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

قال أحمد: حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا عوف، عن حيان بن العلاء، حدثنا قطن بن قبيصة عن أبيه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن العيافة والطرق والطيرة من الجبت”

Telah berkata Ahmad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf, dari Hayyaan bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Qaththan bin Qabiishah, dari ayahnya : Bahwasannya ia mendengat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya ‘iyaafah, tharq, dan thiyarah adalah termasuk jibt”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (3/477, 5/60), Abu Dawud (no. 3907), An-Nasa’i dalam Al-Kubraa (no. 11108), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (18/369 no. 941,942,943,945), ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 19502), Ibnu Hibban dalam Shahih­-nya (no. 6131) dan Al-Mawaarid (no. 1426), serta yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena jahalah Hayyaan bin Al-‘Alaa’. Juga ada idlthirab rawi setelah Hayaan dalam penyebutan nama Hayaan. Dalam beberapa riwayat disebutkan Hayyan saja (tanpa nisbah), Hayyan bin Al-‘Alaa’, Hayyaan bin ‘Umair, dan Hayyaan bin Mukhaariq. Ini menunjukkan tidak dlabth-nya rawi.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayaatul-Maraam (hal. 183-184 no. 301), disepakati oleh Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (18/369), dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (34/208 no. 20603-20604).

2. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

وللنسائي من حديث أبي هريرة رضي الله عنه: “من عقد عقدة ثم نفث فيها فقد سحر، ومن سحر فقد أشرك. ومن تعلق شيئا وكل إليه”

Oleh An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Barangsiapa yang membuat satu buhulan, lalu meniup padanya (sebagaimana dilakukan tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka dirinya dijadikan Allah bersandar kepadanya”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (no. 4079) dan Ibnu ’Adiy dalam Al-Kaamil (238/2).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena dua ’illat. Pertama, adanya inqitha’ antara Al-Hasan dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Kedua, ‘Abbaad bin Maisarah adalah layyinul-hadiits, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haafidh.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayaatul-Maraam (hal. 175 no. 288).

BAB 28 : HUKUM TATHAYYUR – ما جاء في التطير

1. Hadits ’Uqbah bin ’Aamir :

Muallif berkata :

ولأبي داود بسند صحيح عن عقبة بن عامر قال: “ذكرت الطيرة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أحسنها الفأل، ولا ترد مسلما؛ فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل: اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت، ولا يدفع السيئات إلا أنت، ولا حول ولا قوة إلا بك”

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad shahih dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Disebutkan tentang thiyarah dihadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda : “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaknya ia berdoa : ‘Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tidak ada daya upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau”.

Keterangan :

Nama ‘Uqbah bin ‘Aamir di atas, yang betul adalah ’Urwah bin ’Aamir.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3719), Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa (8/139), dan Ibnus-Sunniy dalam ’Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 293).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena ’Urwah bin ’Aamir diperselisihkan status ke-shahabat-nya. Yang rajih – menurut Ibnu Hajar – ia bukan merupakan shahabat, sehingga status hadits ini mursal. Selain itu, Hubaib bin Abi Tsaabit adalah mudallis yang membawakan riwayat dengan ’an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adl-Dla’iifah (4/123 no. 1619) dan Basyiir Muhammad ’Uyuun dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabi ’Amalil-Yaum wal-Lailah li-Ibnis-Suniiy (hal. 144).

2. Hadits Al-Fadhl bin ’Abbas Radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

وله من حديث الفضل بن عباس رضي الله عنه: “إنما الطيرة ما أمضاك أو ردك”

Al-Imam Ahmad meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl bin ’Abbas radliyallaahu ’anhu : “Sesungguhnya thiyarah itu adalah yang menjadikamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluanmu)”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (1/213).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena Ibnu ‘Ulaatsah. Al-Bukhari mengatakan bahwa ada masalah dalam hafalannya (fii hifdhihi nadhar). Juga, adanya inqitha’ dari Maslamah bin ‘Abdillah, dimana ia tidak pernah bertemu dengan Al-Fadhl bin ‘Abbas.

Hadits ini di-­dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad (2/411-412 no. 1824) dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/327-328 no. 1824).

BAB 32 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AALI-‘IMRAAN : 175 – قول الله تعالى: إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Muallif berkata :

عن أبي سعيد رضي الله عنه مرفوعا: “إن من ضعف اليقين أن ترضي الناس بسخط الله، وأن تحمدهم على رزق الله، وأن تذمهم على ما لم يؤتك الله. إن رزق الله لا يجره حرص حريص، ولا يرده كراهية كاره”.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu secara marfu’ : “Sesungguhnya termasuk lemahnya keyakinan apabila kamu mencari kerelaan manusia dengan kemurkaan Allah, memuji mereka atas rizki Allah yang diberikan lewat mereka, dan mencela mereka atas sesuatu yang belum diberikan Allah kepadamu lewat mereka. Sesungguhnya rizki Allah itu tidak dapat didatangkan oleh ketamakan orang yang tamak dan tidak pula dapat digagalkan oleh kebencian orang yang membenci”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/106) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman (no. 203).

Sanad hadits ini adalah dla’if jiddan, karena Muhammad bin Marwaan As-Suddiy adalah perawi yang tertuduh berdusta (muttaham bil-kidzb) sebagaimana dikatakan oleh Al-Haafidh dalam At-Taqrib. Selain itu, ’Athiyyah Al-’Aufiy juga seorang perawi dla’if. Dikatakan : ”Jujur, namun banyak salah” (shaduuq, yukhthi’ katsiran).

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab dalam Fathul-Majid (hal. 346-347). Isyarat pen-dla’if-an juga dikatakan oleh Dr. ’Abdul-’Aliy bin ’Abdil-Hamid Al-Haamid dalam Tahqiq wa Takhrij ’alaa Kitaab Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman lil-Baihaqiy (1/382-383).

BAB 38 : BARANGSIAPA YANG MENTAATI ’ULAMA DAN UMARAA’ DALAM MENGHARAMKAN APA YANG DIHALALKAN ALLAH, ATAU MENGHALALKAN APA YANG DIHARAMKAN ALLAH, BERARTI IA TELAH MEMPERTUHANKAN MEREKA – من أطاع العلماء والأمراء في تحريم ما أحل الله أو تحليل ما حرم الله فقد اتخذهم أربابا من دون الله

Muallif berkata :

وقال ابن عباس: “يوشك أن تنْزل عليكم حجارة من السماء أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، وتقولون قال أبو بكر وعمر؟”.

Ibnu ’Abbas berkata : ”Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan : ’telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, sedangkan engkau (membantahnya) dengan mengatakan : ’telah berkata Abu Bakr dan ’Umar”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (1/337) dan Ibnu ’Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi (no. 2378 dan 2381).

Sanad atsar ini adalah dla’if karena Syuraik Al-Qaadliy adalah orang yang jelek hafalannya (suu’ul-hifdhy).

Atsar ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (5/228 no. 3121) dan Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam Tahqiq ’alaa Kitaab I’laamil-Muwaqqi’iin li-Ibnil-Qayyim (3/539).

BAB 39 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AN-NISAA’ : 60-62 – أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَاناً وَتَوْفِيقاً

1. Hadits ’Abdullah bin ’Amr radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به”

Dari ’Abdullah bin ’Amr radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya tunduk/mengikuti pada apa yang aku bawa (dari Allah)”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 15), Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (no. 279), Al-Khathiib dalam At-Taariikh (4/369), dan Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (1/213).

Sanad hadits ini dla’if karena Nu’aim bin Hammaad. Al-Haafidh dalam At-Taqrib berkata : ”Jujur, namun banyak salah (shaduuq, yukhthi’ katsiiran)”.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Al-Haafidh Ibnu Rajab dalam Jaami’ul-Uluum wal-Hikaam (hal. 495-496 no. 41), Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykaatul-Mashaabih (1/59-60 no. 167), Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 1/46 no. 15).

2. Hadits dari Asy-Sya’biy rahimahullah :

Muallif berkata :

وقال الشعبي: “كان بين رجل من المنافقين ورجل من اليهود خصومة فقال اليهودي: نتحاكم إلى محمد – لأنه عرف أنه لا يأخذ الرشوة. وقال المنافق: نتحاكم إلى اليهود لعلمه أنهم يأخذون الرشوة. فاتفقا أن يأتيا كاهنا في جهينة فيتحاكما إليه، فنَزلت: {أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ}” الآية.

Telah berkata Asy-Sya’biy : ”Pernah terjadi pertengkaran antara seorang munafiq dan seorang Yahudi. Berkatalah orang Yahudi itu : ’Mari kita beritahukan kepada Muhammad’ ; karena ia mengerti bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengambil risywah (uang sogok). Sedangkan orang munafiq itu berkata : ’Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi’ ; karena ia tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk datang berhakim dengan seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat : ”Tidaklah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku…” (QS:4:60)”.

Keterangan :

Sanad hadits ini shahih sampai kepada Asy-Sya’biy. Namun sebagaimana yang tampak, bahwa hadits ini mursal.

Lihat Fathul-Baariy (5/37).

BAB 40 : BARANGSIAPA YANG MENGINGKARI SEBAGIAN DARI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH – من جحد شيئا من الأسماء والصفات

Muallif berkata :

ولما سمعت قريش رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر ” الرحمن ” أنكروا ذلك، فأنزل الله فيهم: {وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَن}

Ketika orang-orang Quraisy mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyebut ‘Ar-Rahmaan’, mereka mengingkarinya. Maka terhadap mereka itu, Allah menurunkan firman-Nya : “Dan mereka kafir kepada Ar-Rahmaan” (QS. Ar-Ra’d : 30).

Keterangan :

Riwayat tentang sababun-nuzul QS. Ar-Ra’d : 30 tersebut dibawakan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya (13/101).

Sanad hadits tersebut adalah dla’if karena status ke-mursal­-annya. Asal riwayat ini ada dalam Shahih Al-Bukhari (no. 2731-2732), Musnad Ahmad (4/323,328), Sunan Abi Dawud (no. 2765,4655), dan Sunan An-Nasa’i (5/169-170) tanpa menyebutkan sababun-nuzul ayat.

BAB 50 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AL-A’RAAF : 190 – قول الله تعالى: فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Atsar Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

وعن ابن عباس في الآية: “قال لما تغشاها آدم حملت فأتاهما إبليس فقال: إني صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة لتطيعاني أو لأجعلن له قرني أيل، فيخرج من بطنك فيشقه، ولأفعلن ولأفعلن يخوفهما، سمياه عبد الحارث. فأبيا أن يطيعاه فخرج ميتا، ثم حملت فأتاهما فقال مثل قوله، فأبيا أن يطيعاه، فخرج ميتا. ثم حملت فأتاهما فذكر لهما فأدركهما حب الولد فسمياه عبد الحارث، فذلك قوله {جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا}” رواه ابن أبي حاتم.

Dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat tersebut (QS. Al-A’raaf : 190) ia berkata : ”Setelah Adam menggauli istrinya Hawaa’, maka ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada mereka berdua dan berkata : ”Sunguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkanmu dari surga. Demi Allah, hendaknya kamu mentaatiku. Kalau tidak, niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dengan merobeknya. Demi Allah, pasti akan aku lakukan”. Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. Iblis melanjutkan : ”Namailah anakmu itu ’Abdul-Haarits”. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya. Ketika bayi mereka lahir, lahirlah ia dalam keadaan mati. Kemudian Hawwa’ hamil lagi. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan mengatakan seperti yang pernah ia katakan sebelumnya. Tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan mati. Selanjutnya, Hawwa’ hamil lagi. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama ’Abdul-Haarits. Itulah tafsiran firman Allah : ’Mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia karuniakan kepada mereka”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (5/1634 no. 8654). Dibawakan pula oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (6/483),

Sanad hadits ini adalah dla’if karena perawi yang bernama Syuraik dan Khashiif.

Hadits ini dilemahkan oleh para muhaqqiqiin Tafsir Ibni Katsir (6/483). Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Mahmud Syaakir juga mengingkari riwayat-riwayat yang mempunyai matan sebagaimana di atas dalam Tahqiq wa Takhrij ’alaa Tafsir Ath-Thabariy (13/309-310). Beliau mengatakan bahwa tidaklah mungkin bagi Nabi Adam ’alaihis-salaam berbuat kesyirikan menuruti perintah Iblis hanya demi seorang anak. Asy-Syaikh Al-Albani juga men-dla’if-kan hadits serupa dari jalur yang lain sebagaimana terdapat dalam Silsilah Adl-Dla’ifah (1/516-517 no. 342).

Catatan : Tidak dipungkiri bahwa riwayat sebagaimana di atas telah ternukil dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma dari para shahabatnya, diantaranya Mujaahid, Sa’id bin Jubair, dan ’Ikrimah. Juga dari ulama pada thabaqah kedua seperti Qataadah, As-Suddiy, dan banyak yang lainnya dari ulama salaf. Begitu juga jama’ah dari ulama khalaf. Ibnu Katsir (6/484) memberi penjelasan tentang ini bahwa sepertinya riwayat tersebut berasal dari ahli kitab, yaitu dimana Ibnu ’Abbas mengambilnya dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ’anhum sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (5/1633 no. 8653).

BAB 55 : TIDAK BOLEH DIMOHON DENGAN MENYEBUT WAJAH ALLAH, KECUALI SURGA – لا يُسأل بوجه الله إلا الجنة

Muallif berkata :

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :”لا يُسأل بوجه الله إلا الجنة” رواه أبو داود.

Dari Jaabir ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Tidak boleh dimohon dengan menyebut Wajah Allah, kecuali surga”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1671), Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa (4/199) dan Al-Asmaa’ wash-Shifaat (2/93-94 no. 661), serta Ibnu ’Adiy dalam Al-Kaamil (3/1107).

Sanad hadits tersebut adalah dla’if, karena perawi yang bernama Sulaiman bin Qarm bin Mu’aadz. Ia seorang perawi yang dla’if dari segi hafalannya yang buruk (suu’ul-hifdhi). Dalam hal ini, ia menyendiri dalam periwayatan sebagaimana dikatakan Ibnu ’Adiy.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykaatul-Mashaabih (1/605 no. 1944) dan ’Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidi dalam Tahqiq wa Takhrih ’alaa Kitaab Al-Asmaa’ wash-Shifaat lil-Baihaqi (2/93-94).

BAB 65 : TIDAK DIBENARKAN MEMINTA ALLAH SEBAGAI PERANTARA KEPADA MAKHLUKNYA – لا يستشفع بالله على خلقه

Muallif berkata :

عن جبير بن مطعم رضي الله عنه قال: “جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، نهكت الأنفس وجاع العيال وهلكت الأموال، فاستسق لنا ربك، فإنا نستشفع بالله عليك، وبك على الله. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: سبحان الله ! سبحان الله ! فما زال يسبح حتى عرف ذلك في وجوه أصحابه. ثم قال: ويحك أتدري ما الله؟ إن شأن الله أعظم من ذلك، إنه لا يستشفع بالله على أحد” . وذكر الحديث، رواه أبو داود.

Dari Jubair bin Muth’im radliyallaahu ’anhu ia berkata : Ada seorang Arab badui datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian berkata : ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kehabisan tenaga, anak-anak kelaparan, dan harta benda musnah. Maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Tuhanmu. Sungguh, kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah”. Ketika itu bersabdalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Subhaanallaah, subhaanallaah”. Beliau pun tetap bertasbih sampai tampak pada raut muka para shahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda : ”Kasihanilah dirimu. Tahukah kamu siapakah Allah itu ? Sungguh, kedudukan Allah jauh lebih agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya, tidak dibenarkan Allah diminta sebagai perantara kepada siapapun dari makhluk-Nya”. Dan seterusnya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4726), Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah (no. 575,576), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kubraa (no. 1547), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (no. 147), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (1/175 no. 92), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if karena perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq). Ia seorang mudallis dimana membawakan riwayat dengan ’an’anah. Juga, Jubair bin Muhamad bin Jubair, ia seorang perawi majhul.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilaalul-Jannah (1/252-253), Asy-Syaikh Hamdiy bin ’Abdil-Majid As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (2/128), Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawaabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 393), dan Dr. ’Abdul-’Aziz bin Ibrahim Asy-Syahwan dalam Tahqiq wa Takhrij Kitaabit-Tauhid li-Ibni Khuzaimah (1/240).

BAB 67 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AZ-ZUMAR : 67 – ما جاء في قول الله تعالى : وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Muallif berkata :

1. Hadits Zaid bin Aslam radliyallaahu ’anhu :

وقال ابن جرير: حدثني يونس أخبرنا ابن وهب قال: قال ابن زيد: حدثني أبي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما السماوات السبع في الكرسي إلا كدراهم سبعة ألقيت في ترس”.
وقال: قال أبو ذر رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “ما الكرسي في العرش إلا كحلقة من حديد ألقيت بين ظهري فلاة من الأرض”.

Telah berkata Ibnu Jarir : Telah menceritakan kepadaku Yunus : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Ketujuh langit itu berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagaikan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai”.

Zaid berkata : Telah berkata Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Kursi itu berada di ‘Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (5/8).

Sanad bagian pertama hadits adalah mursal, karena Zaid (bin Aslam) seorang tabi’iy yang langsung meriwayatkan langsung pada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tanpa melalui perantaraan shahabat.

Sanad di bagian kedua adalah munqathi’, namun ada sanad maushul yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Shifatul-’Arsy (no. 58) secara marfu’ dari Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu dengan sanad shahih (lihat Ash-Shahihah no. 109).

Ke-mursal-an hadits di atas ditegaskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah (1/24) yang kemudian disepakati oleh Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy dalam Tahqiq ’alaa Tafsir Ath-Thabari (5/539).

2. Hadits Al-’Abbas radliyallaahu ’anhu :

وعن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هل تدرون كم بين السماء والأرض؟) قلنا: الله ورسوله أعلم قال: (بينهما مسيرة خمسمائة سنة، ومن كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة سنة وكثف كل سماء خمسمائة سنة، وبين السماء السابعة والعرش بحر بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض، والله سبحانه وتعالى فوق ذلك، وليس يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم). أخرجه أبو داود وغيره.

Dari Al-’Abbas bin ’Abdil-Muthallib radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah 500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4723), At-Tirmidzi (no. 3320), Ibnu Maajah (no. 193), Ahmad (1/206-207), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if, karena perawi yang bernama ’Abdullah bin ’Amiirah. Adz-Dzahabi berkata : ”Padanya terdapat jahalah”. Al-Bukhari berkata : ”Tidak diketahui penyimakannya dari Al-Ahnaf bin Qais”. Al-Haafidh berkata : ”Maqbul”.

Selain itu, terdapat perselisihan dalam sanad dan matannya pada beberapa jalannya.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilaalul-Jannah (1/254) dan Silsilah Adl-Dla’iifah (3/398-402 no. 1247); Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawaabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 395-396); serta Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/292-293 no. 1770).

***

[Alhamdulillah, telah selesai penulisan risalah ini semenjak tiga hari yang lalu. Diselesaikan pada hari Kamis, 1-1-2009, pukul 03.21 WIB oleh Abu Al-Jauzaa’.

Dan kemudian direvisi pada hari Sabtu, 2 Mei 2009, ba’da ’Ashar atas masukan al-akh al-fadlil Ibn ’Aabid – jazaahullaahu khairan katsiiran].

Maraaji’ :

1. Al-Asmaa’ wash-Shifaat, karya Al-Haafidh Al-Baihaqi (tahqiq, takhrij, & ta’liq : Asy-Syaikh ’Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy, taqdim : Asy-Syaikh Muqbil Al-Wad’iy); Penerbit : Maktabah As-Suwadiy, Cet. Thn. 1412.

2. Al-Jawaabul-Kaafiy liman Sa-ala Dawaa-siy-Syaafiy, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim (Takhrij & tahqiq : Asy-Syaikh ’Amr bin ’Abdil-Mun’im Saliim); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1417, Cairo.

3. Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iimaan, karya Al-Haafidh Al-Baihaqiy (tahqiq & takrij : Dr. ’Abdul-’Aliy bin ’Abdil-Hamid Al-Haamid); Penerbit : Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423, Riyadl.

4. Al-Mu’jamul-Kabiir, karya Al-Imam Ath-Thabarniy (tahqiq & takhrij : Asy-Syaikh Hamdiy bin ’Abdil-Majid As-Salafiy); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1404, Cairo.

5. Al-Musnad, karya Al-Imam Ahmad bin Hanbal (tahqiq, takhrij, & ta’liq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dan ’Aadil-Mursyid); Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1416, Beirut.

6. Al-Musnad, karya Al-Imam Ahmad bin Hanbal (syarh : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir); Penerbit : Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416, Cairo.

7. Al-Mustadrak ’alash-Shahihain, karya Al-Imam Al-Hakim An-Naisaburiy (tahqiq : Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Wadi’iy – Tatabbu’u Auhaamil-Haakim Allatii Sakata ’Alaihadz-Dzahabi); Penerbit : Daarul-Haramain, Cet. 1/1418, Cairo.

8. ’Amalul-Yaum wal-Lailah, karya Al-Haafidh Abu Bakr Muhammad Ad-Dinauriy, Ibnus-Sunniy (tahqiq : Basyiir Muhammad ’Uyuun); Penerbit : Maktabah Daaril-Bayaan, Cet. 1/1407.

9. As-Sunan Al-Kubraa, karya Al-Haafidh Al-Baihaqiy (tahqiq : Muhammad bin ‘Abdil-Qadir Athaa); Penerbit : Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 4/1424, Beirut.

10. As-Sunnah, karya Al-Haafidh Ibnu Abi ’Aashim (takhrij : Asy-Syaikh Al-Albani – Dhilaalul-Jannah fii Takhriij As-Sunnah); Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1400, Beirut.

11. As-Sunnah, karya Al-Haafidh Ibnu Abi ’Aashim (tahqiq & takhrij : Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah); Penerbit : Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1419, Riyadl.

12. At-Ta’liqaatul-Hisaan ’alaa Shahih Ibni Hibban, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Daarul-Baawaziir, Cet. 1/1424, Jeddah.

13. Fathul-Baariy, karya Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalaniy (tahqiq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Daarul-Ma’rifah, Beirut.

14. Fathul-Majiid fii Syarhi Kitaabit-Tauhiid, karya Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab (ta’liq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo.

15. Ghayaatul-Maraam fii Takhriiji Ahaadiitsi Al-Halaal wal-Haraam, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1400, Beirut.

16. Hilyatul-Auliyaa’, karya Al-Haafidh Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy; Penerbit : Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409, Beirut.

17. I’laamul-Muwaqqi’iin ’an Rabbil-’Aalamiin, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim (tahqiq : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman); Penerbit : Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1423, Riyadl.

18. Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi, karya Al-Haafidh Ibnu ’Abdil-Barr (tahqiq : Abu Asybal Az-Zuhairiy); Penerbit : Daar Ibni Jauziy, Cet. 1/1414, Riyadl.

19. Jaami’ul-Bayaan ’an Ta’wiili Ayil-Qur’an, karya Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy (tahqiq : Asy-Syaikh Mahmud Syaakir, takhrij : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cairo.

20. Jaami’ul-Bayaan ’an Ta’wiili Ayil-Qur’an, karya Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy (tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy); Penerbit : Markaz li-Buhuuts wad-Diraasaat Al-’Arabiyyah wal-Islamiyyah, Cet. 1/1422.

21. Jaami’ul-’Uluum wal-Hikam fii Syarhi Khamsiina Hadiitsan min Jawaami’il-Kalim, karya Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy (takhrij & ta’liq : ’Ishaamuddin Ash-Shabaabithiy); Penerbit : Daarul-Hadiits, Cet. Thn. 1424, Cairo.

22. Kitaabul-’Adhamah, karya Al-Imam Abusy-Syaikh Al-Ashbahaniy (tahqiq & takhrij : Ridlaaullah bin Muhammad Al-Kafuriy); Penerbit : Daarul-’Aashimah, Riyadl.

23. Kitab Tauhid (terjemahan), karya Syaikh Muhammad At-Tamimi; Penerbit : Yayasan Al-Sofwa, Cet. 3/1420, Jakarta.

24. Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ‘alal-‘Abiid, karya Syaikhul-Islam Muhammad bin ’Abdil-Wahhab (tahqiq : ’Abdul-’Aziz bin ’Abdirrahman As-Sa’iid); Penerbit : Univ. Al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadl – melalui perantara Maktabah Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab, Free Program from : http://www.islamspirit.com.

25. Kitaabut-Tauhiid, karya Al-Imam Ibnu Khuzaimah (tahqiq : Dr. ’Abdul-’Aziz bin Ibrahim Asy-Syahwan); Penerbit : Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408, Riyadl.

26. Majma’uz-Zawaaid wa Manba’ul-Fawaaid, karya Al-Haafidh Nuuruddin Al-Haitsami (tahqiq : ’Abdullah Muhammad Darwiisy – Bughyatur-Raaid); Penerbit : Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1414, Beirut.

27. Mawaaridudh-Dham’aan ilaa Zawaaidi Ibni Hibban, karya Al-Haafidh Nuuruddin Al-Haitsami (tahqiq & takhrij : Husain Saliim Asad Ad-Daaraniy); Penerbit : Daarust-Tsaqafah Al-’Arabiyyah, Cet. 1/1411, Beirut.

28. Miizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Haafidh Adz-Dzahabiy (tahqiq : ’Ali Muhammad Al-Baajawiy), Daarul-Ma’rifah, Beirut.

29. Misykatul-Mashaabih, karya : Al-Imam Muhammad bin ’Abdillah Ath-Thibriziy (tahqiq : Asy-Syaikh Al-Albani); Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1399, Beirut.

30. Mukhtashar Silsilah Al-Ahaadiits Adl-Dla’iifah, karya Asy-Syaikh Al-Albani – Free Program from http://www.alalbany.net/.

31. Mukhtashar Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, karya Asy-Syaikh Al-Albani – Free Program from http://www.alalbany.net/.

32. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy, karya Al-Imam Sulaiman bin Dawud bin Al-Jaaruud (tahqiq : Dr. Muhammad bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy); Penerbit : Markaz li-Buhuuts wad-Diraasaat Al-’Arabiyyah wal-Islamiyyah – Daarul-Hajar, Cet. 1/1419.

33. Shahih Al-Bukhari (tahqiq : Asy-Syaikh Muhibbudiin Al-Khathib, tarqim : Asy-Syaikh Muhammad Fuad ’Abdul-Baqi); Penerbit : Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Cet. 1/1400, Cairo.

34. Shahih Ibni Hibban (takhrij, tahqiq, & ta’liq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth); Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Cet. 2/1414, Beirut.

35. Silsilah Al-Ahaadiits Adl-Dla’iifah, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412, Riyadl.

36. Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415, Riyadl.

37. Sunan Abi Dawud bi-ahkaamil-Albaniy – Free Program from http://www.alalbany.net/.

38. Sunan An-Nasa’i bi-ahkaamil-Albaniy – Free Program from http://www.alalbany.net/.

39. Sunan At-Tirmidzi bi-ahkaamil-Albani – Free Program from http://www.alalbany.net/.

40. Sunan Ibni Majah bi –ahkaamil-Albani – Free Program from http://www.alalbany.net/.

41. Tafsir Al-Qur’anil-’Adhiim, karya Al-Haafidh Ibnu Katsiir (tahqiq : Mushthafaa As-Sayyid Muhammad, dkk); Penerbit : Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421.

42. Tafsir Al-Qur’anil-’Adhiim Musnadan ’an Rasuulillah shallallaahu ’alaihi wasallam wash-Shahaabati wat-Taabi’iin, karya Al-Imam Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy (tahqiq : As’ad Muhammad Ath-Thayib); Penerbit : Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417, Riyadl.

43. Takhriij Ahaadiits Muntaqadah fii Kitaabit-Tauhidlisy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab, karya : Fariih bin Shaalih Al-Bahilaal (taqdim : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Daarul-Atsar, Cet. 1/1415, Riyadl.

44. Taqriibut-Tahdziib, karya Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalaniy (tahqiq & ta’liq : Abu Asybal Shaghiir Ahmad Al-Baakistaaniy, taqdim : Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid); Penerbit : Daarul-’Aashimah, Riyadl.
di 21:45

sumber : blog Abul auzaa

Imam Syafi’i Mengambil Berkah dari Bekas Cucian Baju Imam Ahmad


Dalam sebuah situs, tertulis sebuah artikel sebagai berikut :

Imam Syafi’i Mengambil Berkah Dari Bekas Cucian Baju Imam Ahmad

Thursday, 08 October 2009 18:00 and

Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah : “bahwa pada suatau malam, Imam Syafi’i bermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal.

Kesokan harinya, Imam Syafi’i memerintahkan Rabî’- murid beliau- agar membawakan surat menemui Imam Ahmad ibn Hanbal. Rabî’ bergegas pergi menuju kota Baghdad dan menyerahkan surat tersebut, setelah membacanya, Ahmad meneteskan air mata. Rabi’ bertanya kepadanya, ‘Ada apa di dalamnya wahai Abu Abdillah?’ Ahmad menjawab ‘Beliau menyebut bahwa beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, ’Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, ‘Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Rabi berkata, “Aku berkata, ‘Ini kabar gembira.’ Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku, aku mengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat jawaban Ahmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, ‘Apa yang ia berikan kepadamu?’ Aku menjawab, ‘baju gamis yang langsung menyentuh badannya’ Syafi’i berkata kepadaku, ‘Aku tidak ingin merampasnya darimu, tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga dapat mendapat berkah sepertimu. Maka, kata rabi’, ‘Aku mencucuinya, dan aku bawakan sisa air cuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku menyaksikan beliau setiap hari mengambil sedikit air darinya dan mengusapkannya ke wajah beliau, untuk mengambil keberkahan dari Ahmad ibn Hanbal.

[“Manaqib Ahmad ibn Hanbal”: 455 dan “Al Bidayah wa an Nihayah”; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi]

Pasti kaum Wahabi berjenggot dan bercelana cingkrang di bawah lutut sedikit menjerit kebakaran jenggot dan berkata, “Syirik! Syirik! Syirik! Syirik! Syirik !

Beginilah artikel yang dimuat oleh sang ‘Perindu Khilafah dan Syari’at’ (http://www.seruan-global.com/kajian-umum/imam-syafii-mengambil-berkah-dari-bekas-cucian-baju-imam-ahmad.html) — yang ternyata mengekor alias foto kopi dari blog dusta Abu Salafy.

Tanpa berpanjang lebar kami berkomentar :

Kisah ini tidak shahih, dimana ia dibawakan dalam beberapa sanad dalam sebagian kitab para ulama.

Sanad Pertama

Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dan Ibnu ‘Asaakir dari jalan Abu ‘Abdirrahman Muhammad bin Al-Husain : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah bin Syaadzaan : Aku mendengar Abul-Qaasim bin Shadaqah : Aku mendengar ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz Ath-Thalhiy : Ar-Rabi’ telah berkata kepadaku bahwasannya Asy-Syafi’iy pergi menuju Mesir…. (dst. dari kisah ini).

Taarikh Dimasyq 5/312, Manaaqib Al-Imam Ahmad oleh Ibnul-Jauziy hal. 609 – dan dari jalan Ibnul-Jauziy, Al-Maqdisiy meriwayatkannya dalam Mihnatul-Imam Ahmad hal. 7.

Dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy. Tertuduh memalsukan hadits. Dan perawi yang di atasnya ada yang tidak diketemukan biografinya.

Tertulis dalam Lisaanul-Miizaan (7/92 no. 6695 – tahqiq : ‘Abdul-Fattaah Abu Ghuddah, Cet. 1/Thn. 1423) saat menyebutkan biografi Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy :

قال الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان يضع الأحاديث للصوفية

“Al-Khathiib berkata : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “Ia memalsukan beberapa hadits untuk shufiyyah” [selesai].

Bahkan Ibnul-Jauziy yang membawakan kisah ini pun memberikan jarh kepada Muhammad bin Al-Husain ini dengan perkataannya :

محمد بن الحسين أبو عبد الرحمن السلمي الصوفي حدث عن الأصم وغيره قال أبو بكر الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان السلمي غير ثقة وكان يضع للصوفية الأحاديث

“Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy Ash-Shuufiy, menceritakan hadits dari Al-Asham dan yang lainnya. Telah berkata Abu Bakr Al-Khathiib : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “As-Sulamiy bukan seorang yang terpercaya (tsiqah), dan ia memalsukan beberapa hadits untuk Shufiyyah” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/52-53 no. 2952, tahqiq : Abul-Fidaa’ ‘Abdullah Al-Qaadliy, Daarul-Kutub].

Sanad Kedua

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taarikh Dimasyq (5/312 – tahqiq : ‘Umar bin Gharamah Al-‘Amrawiy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415) : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Jabbaar bin Muhammad bin Ahmad Al-Hawaariy Al-baihaqiy Al-Faqiih – dengan didikte di Baghdad – : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Imam Abu Sa’iid Al-Qusyairiy dengan didikte, dan ia adalah ‘Abdul-Waahid bin ‘Abdil-Kariim : Telah memberitakan kepada kami Al-Haakim Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad Ash-Shaffaar : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah Ar-Raaziy, ia berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, ia berkata : Telah berkata Ar-Rabii’ bin Sulaiman : “Sesungguhnya Asy-Syafi’iy – rahimahullah – pergi menuju Mesir……(dst. dari kisah ini)”.

Dan dari jalannya (Ibnu ‘Asaakir), As-Subkiy meriwayatkannya dalam Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubraa (2/35).

Terdapat tashhif dalam sanad antara Taariikh Ibnu ‘Asaakir dimana padanya tertulis Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, sedangkan dalam Ath-Thabaqaat tertulis Abu Ja’far Muhammad Al-Malathiy.

Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketahui dan tidak diketemukan biografinya – selain dari Ar-Rabii’ bin Sulaiman. Wallaahu a’lam.

Sanad Ketiga

Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Manaaqib Al-Imam Ahmad (hal. 610 – tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy) : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Naashir : telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin ‘Umar Al-Barmakiy, ia berkata : Aku mendapatkan dalam kitab ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Syaadzaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Isa Yahya bin Sahl Al-‘Ukbariy dengan ijazah (ijin periwayatan). Al-Barmakiy berkata : Dan aku menulis dari jalan Abu Ishaaq bin Syaqlaa – ia datang kepada kami, dan kemudian meminta ijin darinya (untuk meriwayatkan) – mereka berdua berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Hamzah bin Al-Hasan Al-Haasyimiy Asy-Syaafi’iy – ia seorang yang terpercaya – berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad An-Naisaburiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sulaiman, ia berkata : Ditulis di hadapan Asy-Syaafi’iy sebuah surat untuk Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal…..(dst. dari kisah ini).

Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketemukan biografinya lagi majhul.

Adz-Dzahabiy berkata dalam biografi Ar-Rabii’ bin Sulaiman Al-Muadzdzin :

ولم يكن صاحب رحلة فأما ما يروى أن الشافعي بعثه إلى بغداد بكتابه إلى أحمد بن حنبل فغير صحيح

“Tidaklah ia pernah menjadi shaahibu rihlah. Adapun apa-apa yang diriwayatkan bahwasannya Asy-Syafi’iy mengutusnya ke Baghdad dengan membawa surat untuk Ahmad bin Hanbal, maka kisah tersebut tidak benar (tidak shahih)” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/587-588, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1413].

Yang menguatkan pernyataan Adz-Dzahabiy adalah bahwa tidak ada seorang pun muhaddits ‘Iraq yang menukil darinya, bahwa mereka mendengar riwayat dari Ar-Rabii’ di ‘Iraq, padahal mereka adalah golongan yang masyhur dengan tahdiits-nya. Apalagi Al-Khathiib tidak menuliskan biografi Ar-Rabii’ dalam kitabnya Taariikh Baghdaad, padahal kitab tersebut masyhur dalam penyebutan orang-orang yang pernah menjadi penduduk atau singgah di Baghdad. Wallaahu a’lam.

Kesimpulannya : Kisah ini tidak shahih. Kalaupun dianggap shahih, maka kisah ini bukan berisi perbuatan atau perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Lantas, bagaimana bisa kisah ini dijadikan dalil tentang keabsahan (hukum) satu amalan ? – yaitu tabarruk dengan atsar orang shaalih selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Dan sungguh sangat menyedihkan jika saudara kita ‘pejuang’ Khilafah dan Syari’ah ini mengucapkan kalimat sinis terhadap syari’at jenggot dan celana yang tidak isbal :

“Pasti kaum Wahabi berjenggot dan bercelana cingkrang di bawah lutut sedikit menjerit kebakaran jenggot dan berkata, “Syirik! Syirik! Syirik! Syirik! Syirik !”.

Kebenciannya terhadap Wahabiy mungkin membuatnya lupa bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى

”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 259].

هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين

“Ini adalah batas panjang kain sarungmu (yaitu pertengahan betis). Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 1783 dan Asy-Syamaail no. 122, Al-Humaidiy no. 445, ‘Aliy bin Ja’d no. 2652, Ibnu Abi Syaibah 8/390-391, Ahmad 5/382 & 396 & 398 & 400, Ibnu Majah no. 3572, An-Nasaa’iy 8/206, Ibnu Hibbaan no. 5445, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 1800 dan Ash-Shaghiir no. 270, Al-Baghawiy no. 3078, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 27/547; shahih].

Jangan sampai kecintaannya pada Khilafah dan Syari’at membuat dia mencela syari’at….. Allaahul-Musta’aan.

[Abul-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor].

Khilafah vs Kerajaan (Lagi)


Khilafah runtuh tahun 1924, setelah itu yang ada hanyalah kerajaan. Itu bukan kata ulama yang pernah saya dengar, akan tetapi kata teman saya dari Hizbut-Tahriir. Diskusi dengan tema ini adalah diskusi klasik yang telah beberapa kali saya lakukan dengan mereka.
Berikut beberapa paragraf kalimat yang pernah saya tulis saat ‘berbincang’ dengan mereka.
Para ulama dalam membedakan hal ini (khilafah dan kerajaan) berdasarkan oleh beberapa hadits diantaranya :

1. Hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ‘anhu :
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت ” .
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah”. Kemudian beliau diam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273 dan Ath-Thayalisi no. 439; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5].
2. Hadits Safiinah radliyallaahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
”Kekhilafahan umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226; dan yang lainnya; shahih].
Dua hadits di atas (dan sebenarnya masih ada hadits-hadits yang lain) secara jelas menjelaskan periodisasi kepemerintahan Islam. Masa kekhilafahan awal dalam Islam adalah selama 30 tahun. Ini adalah tekstual (manthuq) hadits yang sangat jelas lagi tidak memerlukan ta’wil. Jika ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud kekhilafahan selama 30 tahun adalah kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah dan setelah itu tetap berbentuk kekhilafahan (yang tidak berdiri di atas manhaj nubuwwuah) – bukan kerajaan – ; maka itu sangat tidak bisa diterima. Kenapa ? Tidak lain pemahaman itu menafikkan dhahir nash yang mengatakan bahwa setelah masa 30 tahun adalah kerajaan (الْمُلْكُ). Apakah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : tsumma takuunu mulkan ’aadldlan fayakuunu maasyaaa allaahu an-takuunu (”lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki”) dan tsumma mulkun ba’da dzaalika (”kemudian setelah itu – yaitu setelah era 30 tahun – adalah masa kerajaan”) adalah sia-sia tanpa arti ? Dan apakah mereka hendak menakwil bahwa kerajaan itu sama dengan khilafah dalam konteks sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam di atas ? Jika kekhawatiran kita terhadap mereka ini terjadi, tentu saja prasangka mereka itu sangat jauh dari kebenaran….. Para ulama telah menjelaskannya dalam banyak kesempatan ketika mereka mensyarah hadits di atas. Juga ketika mereka menjelaskan perbedaan antara khilafah dan kerajaan atau khalifah dan raja.
Para ulama berkata : Masa tiga puluh tahun itu adalah masa kekhilafahan. Era khulafaaur-raasyidiin yang terdiri dari masa kekhilafahan Abu Bakar, ’Umar, ’Utsman, ’Ali, dan Al-Hasan bin ’Ali radliyallaahu ’anhum (para ulama berbeda pendapat mengenai status Al-Hasan bin ’Ali – namun yang rajih, masa kepemerintahannya termasuk bagian dari masa kekhilafahan). Adapun setelah itu muncullah raja. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal (no. 52) membawakan satu riwayat dari Safiinah radliyallaahu ’anhu sebagai berikut :
أن أول الملوك معاوية رضي الله عنه
”Bahwasannya raja pertama dari raja-raja (dalam Islam) adalah Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 1203 [shahih].
Mengenai kalimat {ثم ملك بعد ذلك} ”kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” ; maka berkata Al-Munawi : ”yaitu setelah berakhirnya masa kekhilafahan nubuwwah, maka akan muncul kerajaan”. Dan bahkan secara tegas Ath-Thibi yang disitir oleh Al-’Adhim ’Abadiy dalam ’Aunul-Ma’bud (2/388) mengatakan bahwa masa setelah ’Ali radliyallaahu ’anhu adalah masa ’mulkan ’adluudlan’ (مُلْكاً عَضُوضاً = Kerajaan yang dhalim).
Lantas, apa perbedaan antara khalifah dan raja atau khilafah dan kerajaan itu ? Mari kita perhatikan satu riwayat yang datang dari Salman ketika satu saat ’Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadanya tentang perbedaan raja dan khalifah, dimana Salman menjawab :
إن أنت جبيت من أرض المسلمين درهمًا أو أقل أو أكثر ثم وضعته في غير حقه فأنت ملك ، وأما الخليفة فهو الذي يعدل في الرعية ، ويقسم بينهم بالسوية ، ويشفق عليهم شفقة الرجل على أهل بيته ، والوالد على ولده ، ويقضي بينهم بكتاب الله
”Apabila engkau mengumpulkan dari bumi kaum muslimin dirham (harta) baik sedikit ataupun banyak, yang kemudian engkau pergunakan tidak sesuai dengan haknya, maka engkau adalah raja. Adapun khaliifah, maka ia berbuat adil kepada rakyat, membagi antara mereka dengan sama rata, sangat memperhatikan mereka (yaitu rakyatnya) sebagaimana perhatiannya seorang laki-laki terhadap anggota keluarganya atau seperti orang tua kepada anaknya, dan memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitabullah” [Ath-Thabaqaatul-Kubraa oleh Ibnu Sa’ad 3/306].
Dan yang lain menambahkan bahwa kerajaan (mulk) itu biasanya dicapai melalui jalan pemaksaan, penundukan (dalam peperangan), pesan/amanat dari seorang ayah kepada anaknya (atau kepada kerabatnya – Abul-Jauzaa’), atau yang semisal dengan itu; tanpa merujuk/mengembalikannya kepada Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Adapun Khilafah, maka ia tidaklah terwujud kecuali dengan penetapan Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Sama saja, apakah melalui jalan pemilihan atau penunjukan [Al-Imaamatul-‘Udhmaa oleh Ad-Dumaiji hal. 40].
Ibnu Khaldun berkata tentang perbedaan antara khilafah dan kerajaan (mulk) :
إن الملك الطبيعي : هو حمل الكافة على مقتضى الغرض والشهوة ، والسياسي : هو حمل الكافة على مقتضى النظر العقلي في جلب المصالح الدنيوية ودفع المضار ، والخلافة هي : حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها
“Sesungguhnya (definisi) kerajaan secara thabi’iy adalah bertujuan membawa seluruh manusia kepada pemenuhan hawa nafsu dan syahwat. Secara siyasiy, kerajaan adalah bertujuan membawa manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan akal untuk mencapai kemaslahatan dunia dan mencegah kemudlaratannya. Dan khilafah adalah bertujuan membawa seluruh manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan syariat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, yang kesemuanya itu dikembalikan kepada kemaslahatan akhirat” [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun hal. 190].
Bukankah secara jelas bahwa yang namanya khilafah secara siyasiy dan syar’iy telah berakhir setelah era Al-Hasan bin ‘Aliy ? Dan setelah itu mulailah sejarah Islam mencatat munculnya berbagai macam Dinasti (Umayyah, ‘Abbasiyyah, dan seterusnya) dimana dalam pencapaian kekuasaan sangat menyelisihi apa yang dilakukan pada era Al-Khulafaur-Rasyidin ? Pada masa-masa itu (sampai hari ini), jabatan khalifah diberikan kepada keluarga secara turun-temurun. Oleh karena itu dikenalnya Dinasti Umayyah adalah karena bergulirnya amir pada saat itu berputar pada keluarga Bani Umayyah. Begitu juga Dinasti ’Abbasiyyah dimana para amir pada saat itu turun-temurun jatuh pada keluarga Bani ’Abbasiyyah. Dan seterusnya dan seterusnya. Dan sejarah pun telah mencatat dengan tinta hitamnya bahwa banyak diantara memperoleh kekuasaannya dengan didahului dengan aneka kekerasan, pemberontakan, pembunuhan, atau yang semisalnya.
Ini adalah kenyataan sejarah yang sangat gamblang. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan memegang tampuk kekuasaannya setelah terlebih dahulu terjadi peperangan yang berlarut-larut dengan ’Aliy bin Abi Thaalib dan Al-Hasan bin ’Aliy radliyallaahu ’anhum.
NB : Tanbih !! Agar tidak terjadi kesalahpahaman, perlu saya jelaskan bahwa saya tidak mengatakan Mu’awiyyah memperoleh kekuasaannya dengan memberontak kepada ’Aliy atau Al-Hasan bin ’Aliy. Penekanan dalam bahasan ini adalah bahwa Mu’awiyyah berkedudukan sebagai raja secara siyasi dilihat dari sisi bahwa ia tidak memperolehnya melalui jalan penetapan Ahlul-Halli wal-’Aqdi. Namun ia adalah sebaik-baik raja dalam sejarah Islam. Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa Mu’awiyyah tetap lebih utama dibandingkan dengan ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang terkenal keadilannya itu.
Bukankah Yazid bin Mu’awiyyah menduduki tampuk kepemimpinan setelah ia ditunjuk oleh ayahnya (yaitu Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ’anhumaa) untuk menggantikannya ? (yang kemudian setelah ia penduduk Syam membaiatnya – yaitu baiat taat – kecuali Al-Husain bin ’Ali, ’Abdullah bin Az-Zubair, dan yang sepaham dengan mereka berdua radliyallaahu ’anhum). Bukankah kita juga mendengar bahwa ’Abdul-Malik bin Marwan memperoleh kekuasaannya secara penuh setelah peperangannya melawan’Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ’anhuma ?
Saya sisipkan satu riwayat menarik dalam Sunan At-Tirmidziy : Berkata Sa’id bin Jumhaan kepada Safiinah :
أَنَّ بَنِي أُمَيَّة يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلافَةَ فِيهِم؟ قَالَ : كَذابُوا بَنُوا الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ
”Bani Umayyah telah menganggap bahwasannya kekhilafahan ada pada diri mereka ?”. Maka Safiinah berkata : ”Bani Az-Zarqaa’ (yaitu Bani Marwan, dimana mereka termasuk bagian dari keluarga besar Bani Umayyah – Abul-Jauzaa’) telah berdusta. Bahkan mereka ini termasuk sejahat-jahat raja” [no. 2226; shahih].
Perkataan Safiinah bahwasannya Bani Az-Zarqaa’ (Bani Marwan) adalah sejahat-jahat raja dapatlah kita maklumi bahwa pada jaman tersebut terjadi sejumlah tragedi berdarah seperti penyerangan terhadap Al-Haramain untuk memerangi Abdullah bin Az-Zubair dan pasukannya sehingga terjadi pembunuhan terhadap ribuan kaum muslimin. Terkenal pula pada masa itu seorang pemimpin yang kejam sepanjang sejarah : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy.
Bukankah kita juga membaca sejarah bahwa Yazid bin ’Abdil-Malik bin Marwan memegang tampuk kepemimpinan dengan wasiat saudaranya Sulaiman setelah didahului dengan pembunuhan terhadap ’Umar bin ’Abdil-’Aziz karena diracun oleh keluarganya ? Bukankah setelah Yazid bin ’Abdil-Malik meninggal, ia mewasiatkan kepemimpinan kepada Hisyam bin ’Abdil-Malik ? Bukankah Dinasti ’Umayyah berakhir dengan aneka macam pemberontakan yang menumbangkan Marwan bin Al-Himar sehingga diganti oleh Dinasti ’Abbasiyyah ? Dan seterusnya dan seterusnya…..
Namun perlu juga saya tekankan di sini – agar tidak ada anggapan menyimpan bayyinah – bahwa boleh dimutlakkan nama khalifah setelah era Khulafaur-Rasyidin dan Al-Hasan bin ’Ali ketika tidak ada tuntutan pembedaan dengan istilah malik (raja) atau mulk (kerajaan). Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah :
ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين ‏[‏خلفاء‏]‏ وإن كانوا ملوكا، ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم في صحيحيهما عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏(‏كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر، قالوا فما تأمرنا ‏؟‏ قال‏:‏ فوا ببيعةالأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، فإن الله سائلهم عما استرعاهم‏)‏‏.‏ فقوله‏:‏‏(‏فتكثر‏)‏ دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا‏.‏ وأيضا قوله‏:‏‏(‏فوا ببيعة الأول فالأول‏)‏ دل على أنهم يختلفون، والراشدون لم يختلفوا‏
”Bolehnya menyebut khalifah terhadap orang-orang yang memimpin setelah era Khulafaur-Rasyidin, walaupun mereka sebenarnya adalah raja dan bukan pula sebagai pengganti para Nabi. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : ”Adalah Bani Israail dibimbing oleh banyak nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Tidak ada Nabi lagi setelahku. Dan kelak akan ada beberapa khalifah yang kemudian menjadi banyak”. Mereka (para shahabat) bertanya : ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Patuhilah khalifah yang mendapatkan baiat yang pertama, dan penuhilah hak mereka. Karena Allah kelak akan meminta pertangungjawaban atas kepemimpinan mereka”. Sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fataktsuru (فتكثر) adalah sebagai dalil bahwasanya yang beliau maksudkan adalah khalifah selain Al-Khulafaur-Rasyidin, karena Al-Khulafaur-Raasyidiin tidak banyak jumlahnya. Dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fuu bi-bai’atil-ula fal-ulaa (فوا ببيعة الأول فالأول); menunjukkan bahwasannya mereka berselisih, padahal Khulafaur-Rasyidin itu tidaklah berselisih” [selesai perkataan Ibnu Taimiyyah – Lihat Majmu’ Al-Fataawaa 35/20].
Penjelasan ini saya rasa sudah sangat masyhur….. Namun anehnya, rekan-rekan Hizbut-Tahrir seakan-akan tidak pernah memunculkannya dalam bahasan mereka. Akibatnya, bisa saja timbul dugaan dalam hati kita bahwa jika hal ini mereka munculkan, akan gugur konsepsi teologis mereka tentang kekhilafahan yang katanya runtuh pada tahun 1924, dan yang ada kemudian setelah itu (yaitu setelah runtuhnya Daulah ’Utsmaniyyah) adalah sistem kerajaan (mulk).
Wallaahu a’lam.
Sedikit referensi mengambil dari :
1. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Al-Mubarakfury Daarul-Fikr, tanpa tahun (terutama pada juz 6 hal. 476-478).
2. ’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud oleh Muhammad Syamsul-Haqq Al-’Adhim ’Abadiy, Penerbit : Muhammad bin ’Abdil-Muhsin, shaahibu Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1488 (terutama juz 2/397-399).
3. Al-Imaamatul-’Udhmaa oleh Dr. ’Abdullah bin ’Umar Ad-Dumaiji, Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1408 (terutama hal. 37-42).
4. Silsilah Ash-Shahiihah oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif (terutama juz 1 hal. 34-36 dan 820-827).
5. Majmu’ Al-Fataawaa oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426 (terutama juz 35 hal. 20).
6. Tarikh Khulafaa’ oleh As-Suyuthi (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar, Cet. 4/2005.
7. Beberapa kitab hadits.

NB :

”Akan ada 12 amir (setelahku)”. (Jabir berkata : ) “Kemudian beliau mengucapkan kata-kata yang tidak aku dengar”. (Kemudian) ayahku berkata : Beliau bersabda : “Semuanya dari Quraisy”. [Lihat takhrijnya dalam Ash-Shahiihah no. 376].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata saat menafsirkan QS. An-Nuur : 55 :

هذا وعد من الله تعالى لرسوله صلوات الله وسلامه عليه بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض, أي أئمة الناس والولاة عليهم, وبهم تصلح البلاد, وتخضع لهم العباد. وليبدلنهم من بعد خوفهم من الناس أمناً وحكماً فيهم, وقد فعله تبارك وتعالى, وله الحمد والمنة, فإنه صلى الله عليه وسلم لم يمت حتى فتح الله عليه مكة وخيبر والبحرين وسائر جزيرة العرب وأرض اليمن بكمالها, وأخذ الجزية من مجوس هجر ومن بعض أطراف الشام, وهاداه هرقل ملك الروم وصاحب مصر وإسكندرية وهو المقوقس, وملوك عمان والنجاشي ملك الحبشة الذي تملك بعد أصحمة رحمه الله وأكرمه

“Ini adalah janji Allah ta’ala kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai khalifah dan pemimpin di muka bumi. Yang dengan mereka seluruh negeri akan menjadi baik. Semua umat akan tunduk di bawah kekuasaan mereka dan Allah akan mengubah perasan takut mereka menjadi aman dan penuh ketenangan. Alhamdulillah, janji ini telah dilaksanakan oleh Allah tabaraka wa ta’ala , karena tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat sehingga Allah memenangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atas Mekkah, Khaibar, Bahrain, seluruh jazirah Arab, dan bumi Yaman. Demikian pula atas kaum Majusi di wilayah Hajr dan sebagian wilayah Syam menyerahkan jizyah kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Heraklius raja Romawi, Mauquqis Gubernur Mesir dan Iskandariyyah, Najasyi raja Habasyah, dan raja-raja Oman; semuanya memberikan hadiah kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam.

ثم لما مات رسول الله صلى الله عليه وسلم واختار الله له ما عنده من الكرامة, قام بالأمر بعده خليفته أبو بكر الصديق, فلمّ شعث ما وهى بعد موته صلى الله عليه وسلم, وأَطّدَ جزيرة العرب ومهدها, وبعث الجيوش الإسلامية إلى بلاد فارس صحبة خالد بن الوليد رضي الله عنه, ففتحوا طرفاً منها, وقتلوا خلقاً من أهلها. وجيشاً آخر صحبة أبي عبيدة رضي الله عنه ومن اتبعه من الأمراء إلى أرض الشام, وثالثاً صحبة عمرو بن العاص رضي الله عنه إلى بلاد مصر, ففتح الله للجيش الشامي في أيامه بصرى ودمشق ومخاليفهما من بلاد حوران وما والاها وتوفاه الله عز وجل واختار له ما عنده من الكرامة

“Kemudian setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan Allah telah memilih untuknya apa-apa di sisi-Nya dari kemuliaan, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq tampuk urusan setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (sebagai seorang khalifah). Beliau mempersatukan umat ini, mengokogkan dan mengatur kembali Jazirah Arab yang sempat pecah dan heboh semenjak kematian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakar kemudian mengutus pasukan ke negeri Persia di bawah komando Khalid bin Walid radliyallaahu ‘dan memenangkan sebagian wilayah Persia. Beliau juga mengutus Abu ‘Ubaidah bin Jarrah radliyallaahu ‘anhu untuk memimpin pasukan ke negeri Syam. Dan yang ketiga, adalah ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhu ke negeri Mesir. Allah memenangkan kaum muslimin atas bumi Syaam, Dimasyqaa, dan sebagian negeri Hauran dimana Allah kemudian mewafatkan Abu Bakar (sebelum melihat kemenangan tersebut) dan memberikan kemulian apa-apa yang ada di sisi-Nya.
ومنّ على أهل الإسلام بأن ألهم الصديق أن يستخلف عمر الفاروق, فقام بالأمر بعده قياماً تاماً, لم يدر الفلك بعد الأنبياء على مثله في قوة سيرته وكمال عدله. وتمّ في أيامه فتح البلاد الشامية بكمالها وديار مصر إلى آخرها وأكثر إقليم فارس. وكسر كسرى وأهانه غاية الهوان وتقهقر إلى أقصى مملكته, وقصر قيصر, وانتزع يده عن بلاد الشام, وانحدر إلى القسطنطينية, وأنفق أموالهما في سبيل الله, كما أخبر بذلك ووعد به رسول الله, عليه من ربه أتم سلام وأزكى صلاة

“Kemudian Allah memberikan anugerah kepada Ash-Shiddiq (Abu Bakar) untuk memlih ‘Umar Al-Faruq sebagai khalifah menggantikan beliau. Maka ‘Umar pun memimpin umat ini sepeninggal Abu Bakar dengan penuh keadilan. Pada masa pemerintahan ‘Umar seluruh negeri Syam, Mesir, dan sebagian besar wilayah Persia dapat ditaklukkan. Beliau meruntuhkan pemerintahan Romawi dan menghinakannya sehina-hinanya. Beliau menaklukkan sebagaian besar wilayah Syam dan memukul mundur mereka sampai negeri Qusthanthiniyyah. Beliau nafkahkan perbendaharaan harta kedua negeri tersebut di jalan Allah, seperti yang dikhabarkan dan dijanjikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

ثم لما كانت الدولة العثمانية امتدت الممالك الإسلامية إلى أقصى مشارق الأرض ومغاربها, ففتحت بلاد المغرب إلى أقصى ما هنالك الأندلس وقبرص, وبلاد القيروان, وبلاد سبتة مما يلي البحر المحيط, ومن ناحية المشرق إلى أقصى بلاد الصين, وقتل كسرى وباد ملكه بالكلية, وفتحت مدائن العراق وخراسان والأهواز, وقتل المسلمون من الترك مقتلة عظيمة جداً, وخذل الله ملكهم الأعظم خاقان, وجبى الخراج من المشارق والمغارب إلى حضرة أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه, وذلك ببركة تلاوته ودراسته وجمعه الأمة على حفظ القرآن, ولهذا ثبت في الصحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال «إن الله زوى لي الأرض فرأيت مشارقها ومغاربها, ويبلغ ملك أمتي ما زوى لي منها» فها نحن نتقلب فيما وعدنا الله ورسوله, وصدق الله ورسوله فنسأل الله الإيمان به وبرسوله, والقيام بشكره على الوجه الذي يرضيه عنا

“Kemudian selama pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, kekuasaan Islam mencapai belahan timur dan barat. Di wilayah barat, kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol), Qubrus, Qairwan, dan Sabtah di seberang samudera. Di wilayah timur, kekuasan Islam sampai di negeri China. Negeri-negeri di wilayah Iraq, Khurasan,, dan Al-Ahwaz ditaklukkan. Di masa beliau, terjadilah pertempuran sengit besar-besaran melawan pasukan Turki dan Alah hinakan raja besar mereka Khakan dan seluruh jizyah dari negeri-negeri yang telah diduduki baik wilayah timur dan barat dihimpun dan diserahkan kepada Amirul-Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu. Hal ini berkat (usaha beliau) dalam tilawah, pengajaran, dan menyatukan umat dalam menghapal Al-Qur’an. Dan hal tersebut adalah seperti yang telah tsabit dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dimana beliau bersabda : ”Sesungguhnya Allah mengumpulkan dan mendekatkan bumi ini kepadaku. Maka aku lihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasan umatku akan sampai kepada apa yang aku lihat” (HR. Muslim 2889, Abu Dawud 4252, dan Ibnu Majah 3952).
Anonim mengatakan…
on
8 Oktober 2010 13:46

Apakah ini berarti ,Ibnu Katsiir rahimahullah ( ahlus sunnah ) berkeyakinan akan munculnya 12 khalifah yang mempersatukan seluruh umat islam ustadz ? ataukah pengertiannya , yang 12 khalifah itu telah berlalu di jamannya salaf shalih , dan yang sekarang dan untuk masa yang akan datang adalah dari golongan raja-raja ?
قال الإمام مسلم بن الحجاج في صحيحه: حدثنا ابن أبي عمر, حدثنا سفيان عن عبد الملك بن عمير عن جابر بن سمرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول «لا يزال أمر الناس ماضياً ما وليهم اثنا عشر رجلاً» ثم تكلم النبي صلى الله عليه وسلم بكلمة خفيت عني, فسألت أبي: ماذا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: قال «كلهم من قريش». ورواه البخاري من حديث شعبة عن عبد الملك بن عمير به, وفي رواية لمسلم أنه قال ذلك عشية رجم ماعز بن مالك, وذكر معه أحاديث أخر, وفي هذا الحديث دلالة على أنه لابد من وجود اثني عشر خليفة عادلاً وليسوا هم بأئمة الشيعة الاثني عشر, فإن كثيراً من أولئك لم يكن إليهم من الأمر شيء, فأما هؤلاء فإنهم يكونون من قريش يلون فيعدلون, وقد وقعت البشارة بهم في الكتب المتقدمة, ثم لا يشترط أن يكونوا متتابعين, بل يكون وجودهم في الأمة متتابعاً ومتفرقاً, وقد وجد منهم أربعة على الولاء وهم أبو بكر, ثم عمر, ثم عثمان, ثم علي رضي الله عنه, ثم كانت بعدهم فترة, ثم وجد منهم من شاء الله, ثم قد يوجد منهم من بقي في الوقت الذي يعلمه الله تعالى. ومنهم المهدي الذي اسمه يطابق اسم رسول الله صلى الله عليه وسلم, وكنيته كنيته, يملأ الأرض عدلاً وقسطاً كما ملئت جوراً وظلماً. [/size]

“Telah berkata Imam Muslim bin Hajjaj dalam shahihnya : ( – saya singkat rantai sanadnya – ) … dari Jabir bin Samurah ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Urusan umat ini akan senantiasa baik selama mereka dipimpin oleh 12 orang laki-laki”. Kemudian beliau mengatakan kata-kata yang tidak aku dengar. Aku bertanya kepada ayahku : “Apa yang diucapkan oleh Rasulullah ?”. Ayahku menjawab : Rasulullah bersabda : ”Semuanya dari Quraisy”

—- disingkat —–

Hadits ini sebagai dalil keberadaan 12 khalifah yang ‘adil. Akan tetapi itu bukanlah (dalil bagi keberadaan) 12 imam-imam Syi’ah, karena umat ini tidaklah dalam keadaan baik di jaman mereka (12 imam Syi’ah). Sedangkan 12 orang (khalifah) tersebut dalam hadits semuanya ‘adil dan berasal dari Quraisy. Dan sungguh telah tetap kabar gembira tersebut atas mereka dalam kitab-kitab sebelumnya. Kemudian,.. keberadaan mereka tidaklah disyaratkan harus berturut-turut. Bisa jadi berturut-turut, bisa pula tidak. Empat di antaranya sudah ada, yaitu Abu Bakar, ‘Umar. ‘Utsman, dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum. Kemudian setelah mereka ada masa-masa fatrah (jeda). Kemudian ada lagi setelah mereka orang yang dikehendaki Allah., kemudian akan ada yang tersisa dari mereka pada waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Dan di antara mereka adalah Al-Mahdi dimana namanya sama dengan nama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kunyahnya sama dengan kunyahnya. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesusahan dan kedhaliman”.

[selesai perkataan Ibnu Katsir rahimahullah]

Hadits tersebut sebenarnya sedang membicarakan tentang khalifah/’amir yang memimpin umat ini dalam kebaikan; bukan menjelaskan kemutlakan periodisasi kekuasaan sebegaimana hadits yang disebutkan di awal artikel ini. Namun begitu, kepemerintahan 12 orang tersebut bisa disebut sebagai kekhilafahan syar’iy karena ia dijalankan dengan dengan keadilan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

HARUSKAH SELALU DISEBABKAN OLEH KETIADAAN KHILAFAH ?


Itulah pertanyaan saya ketika membaca Buletin Al-Islam Edisi 347/Thn. XIV, terutama tulisan yang ada di halaman 3. Dalam Buletin tersebut, sang redaksi menulis ketika menyimpulkan kasus Iraq (Konferensi Baghdad) : “Sesungguhnya ketiadaan Khilafah bagi kaum Muslim yang menghimpun mereka dalam kebenaran merupakan penyebab mundurnya umat Islam dan rakusnya bangsa dan umat lain terhadap umat Islam ini yang mendorong mereka untuk mengerubuti hidangannya. Jika saja Khalifah ada, tentu Khalifah akan berkumpul, dengan memimpin pasukan dan seluruh armada perang terbuka guna menolong setiap negeri yang terjajah………dst. [selesai nukilan]

Lagi-lagi kata mereka bahwa penyebab utamanya adalah ketiadaan khilafah. Kasus seperti ini bukanlah sekali atau dua kali singgah di mata saya ketika membaca. Ketika ada pelacuran yang merajalela, sebabnya karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme; karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak bermunculan paham sesat, karena ketiadaan khilafah. Dan seterusnya. Bahkan ketika ada khilaf perbedaan hari ‘Ied, lagi-lagi mereka menisbatkan penyebabnya karena ketiadaan Khilafah (padahal dalam Shahih Muslim telah disebutkan perbedaan permulaan Ramadlan dan ‘Ied antara Madinah dan Syam di jaman Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma – dan itu terjadi di jaman kekhilafahan). Khilafah seakan menjadi solusi mujarab yang untuk mengeliminasi segala macam musibah dan ketidaksesuaian. Rasa-rasanya jarang sekali mereka (saudara-saudaraku di Hizbut-Tahrir pada khususnya) menisbatkan sebab-sebab permasalahan dan bencana pada kejahilan umat Islam akan Diennya, lemahnya iman mereka kepada Allah dan hari akhir, dan lainnya yang lebih berdasar syar’i; sebagaimana dijelaskan oleh para ulama kita terdahulu dan sekarang dalam banyak kitabnya. Bukankah kehancuran kekhilafahan Baghdad waktu dulu oleh tentara tartar terjadi pada masa “Khilafah” ? Bukankah berkembangnya paham Mu’tazillah di jaman Imam Ahmad terjadi di jaman Khilafah (dan bahkan mendapatkan sokongan kuat) ? Lantas apa sebab esensial dari itu semua ?

Kita refresh kembali pada nukilan di atas. Apakah benar kemunduran umat Islam ini akibat ketiadaan Khilafah yang mengakibatkan kaum kuffar berkumpul mempermainkan umat Islam sebagaimana berkumpulnya orang-orang mengkerubuti makanannya ? Mungkin yang dimaksud oleh redaksi Buletin Al-Islam adalah hadits Tsauban maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما الوهن قال حب الدنيا وكراهية الموت

“Hampir saja umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya”. Lalu seseorang bertanya,”Apakah kami pada waktu itu sedikit ?”. Beliau menjawab,”Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih, yaitu buih banjir. (Pada waktu itu) Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian al-wahn (kelemahan)”. Orang tadi bertanya lagi,”Wahai rasulullah, apakah al-wahn itu ?”. Beliau menjawab,”Cinta dunia dan takut mati”. [HR. Abu Dawud nomor 4297, Ahmad 5/278, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa 1/182; shahih lighairihi].

Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam hadits ini. Akan tetapi di sini hanya akan disebutkan beberapa saja yang terkait dengan pembicaraan :

a. Umat Islam di masa kemunduran dan kehinaan itu berjumlah banyak, namun berselimut kebodohan tentang agamanya. Indikasi tentang kebodohan tersebut tergambar dalam perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : [ولكنكم غثاء كغثاء السيل] ”Akan tetapi kalian itu seperti buih, yaitu buih banjir”. Mafhum dari ciri-ciri buih banjir adalah :

– rapuh, cepat hilang lagi tidak berharga;

– bergerak sesuai dengan arus yang membawanya;

– tercampur kotoran tanah dan sampah.

Ciri-ciri buih banjir inilah yang tergambar dari umat Islam saat ini. Umat Islam yang rapuh, tidak punya pendirian, tidak kenal agamanya, teracuni oleh pemikiran-pemikiran sampah (syirik, bid’ah, dan yang lainnya), dan banyak yang hanya bermodalkan semangat saja ketika menjalankan aktifitas diniyyahnya.

Unsur utama kekuatan Islam bukanlah terletak pada persenjataan, tentara, teknologi, atau komponen materi keduniaan lain. Akan tetapi terletak pada kekuatan aqidah dan manhaj. Jumlah yang banyak tidak punya banyak arti jika kosong dari isi (sebagaimana banyak kita jumpai fenomena Islam KTP). Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menafikkan kemanfaatan kuantitas dengan sabdanya : [بل أنتم يومئذ كثير] ”Tidak, bahkan pada saat itu kalian banyak”.

Hal yang sama adalah sebagaimana Allah memberi pelajaran berharga pada kaum muslimin dalam Perang Hunain :

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً

”Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun” [QS. At-Taubah : 25].

Kebodohan inilah pangkal dari segala musibah. Dengan kebodohan, umat Islam berpecah-belah, berbuat syirik, bid’ah, dan maksiat.

b. Kaum kuffar tidak lagi takut kepada umat Islam karena kewibawaan yang dimilikinya telah hilang. Kewibawaan itu bukanlah sekedar bahwa umat Islam berkumpul dalam naungan ”Khilafah”. Akan tetapi, kewibawaan umat Islam itu ada karena iman dan aqidah yang kuat yang menyelimuti ruh dan jasad. Allah memenangkan suatu kaum karena iman, dan mengalahkan suatu kaum pula karena iman. Allah berfirman :

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الّذِينَ كَفَرُواْ الرّعْبَ بِمَآ أَشْرَكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزّلْ بِهِ سُلْطَاناً

”Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu” [QS. Ali Imran : 151].

Rasa takut yang Allah timpakan kepada hati orang-orang kafir yang menyebabkan mereka menjadi kaum ”terkalahkan” adalah karena kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Pendek kata, kaum muslimin dimenangkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh musuhnya (kaum kuffar). Lantas bagaimana jadinya jika kaum muslimin sendiri bergelimang kemaksiatan dan berkubang kesyirikan ? Faktor apa lagi yang dapat menjadikan Allah memberikan kewibawaan dan kemenangan bagi kaum muslimin terhadap kaum kuffar ? (padahal persenjataan, tentara, dan teknologi kita kalah). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dalam nasihatnya kepada kaum Muhajirin :

يا معشر المهاجرين خمس إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المئونة وجور السلطان عليهم ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا القطر من السماء ولولا البهائم لم يمطروا ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلط الله عليهم عدوا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم

“Wahai para Muhajirin, ada lima perkara (sebab kehancuran). Jika kalian ditimpa lima perkara tersebut dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya :

1. Jikal muncul perbuatan keji pada suatu kaum dan mereka melakukan secara terang-terangan, maka akan menyebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan kelaparan yang belum pernah terjadi pada nenek moyang sebelum mereka.
2. Jika mengurangi takaran dan timbangan, maka akan ditimpakan kepada mereka paceklik dan, kesusahan hidup, dan kesewenang-wenangan (kedhaliman) para penguasa atas mereka.
3. Jika mereka menahan zakat harta mereka maka akan ditahan hujan untuk mereka, seandainya bukan karena hewan ternak, niscaya tidak akan turun hujan atas mereka.
4. Jika mereka melanggar perjanjian yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan menguasakan musuh-musuh dari luar kalangan mereka atas mereka, lalu merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
5. Selama pemimpin-pemimpin mereka tidak berhukum kepada Kitabullah dan memilih yang terbaik dari yang diturunkan Allah, maka akan Allah jadikan musibah di antara mereka sendiri” [HR. Ibnu Majah nomor 4019 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah nomor 106 dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu].

Jikalau yang kita lakukan sekarang adalah pembinaan aqidah dan iman yang benar (bukan sekedar slogan-slogan kosong tentang Khilafah belaka), tentu kita berharap dengan itu Allah akan mengangkat kehinaan ini dari kaum muslimin. Diperlukan waktu yang panjang. Bukan hari ini berbuat, esok ada hasilnya. Itulah usaha yang kita lakukan agar masyarakat Islam kembali kepada agama mereka secara kaffah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم

”Apabila kamu berjual beli dengan ’inah (jual beli sistem riba), memegang ekor-ekor sapi, ridla (terlalu sibuk) dengan pertanian, dan meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan menghilangkannya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian” [HR. Abu Dawud nomor 3462 dengan sanad hasan. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 11].

c. Allah juga telah menyebutkan faktor kemunduran dan kehinaan adalah karena belenggu hawa nafsu duniawi. Hal ini tergambar dari perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ketika menyebut hal tersebut dengan penyakit al-wahn [حب الدنيا وكراهية الموت] ”Cinta dunia dan takut mati”.

Cinta dunia dan takut mati merupakan penyakit kronis yang sedang berjangkit pada umat Islam. Penyakit ini merupakan efek yang ditimbulkan dari lemahnya iman. Gaya hidup materialistik yang notabene berasal dari kaum Yahudi dan Nashrani telah begitu teradopsi. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, umat Islam membebek mereka sampai masuk ke lubang biawak. Hingga pada suatu saat, (mungkin) tidak bisa lagi dibedakan mana muslim dan mana kafir dari dhahirnya.

Allah telah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia kepada manusia :

وَاضْرِبْ لَهُم مّثَلَ الْحَيَاةِ الدّنْيَا كَمَآءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرّياحُ وَكَانَ اللّهُ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ مّقْتَدِراً * الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً

”Dan berikanlah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi pengharapan” [QS. Al-Kahfi : 45-46].

Dan Allah pun telah mencela orang-orang yang tertipu kehidupan dunia :

إَنّ الّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَآءَنَا وَرَضُواْ بِالْحَياةِ الدّنْيَا وَاطْمَأَنّواْ بِهَا وَالّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ * أُوْلَـَئِكَ مَأْوَاهُمُ النّارُ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

”Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat Kami; mereka itu tempatnya di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan” [QS. Yunus : 7-8].

Cinta dunia menyebabkan takut mati. Takut terputusnya kenikmatan-kenikmatan yang telah ia peroleh sebelumnya. Apabila seseorang takut mati, maka hilanglah keinginan untuk berjihad di jalan Allah…………

Jika boleh kita simpulkan dari poin 1-3 di atas tentang kemunduran umat Islam, maka penyebabnya adalah kebodohan dan hawa nafsu yang menjadikan mereka jauh dari pemahaman dan pengamalan Islam yang benar. Itulah sebab esensial kemunduran dan kehinaan umat Islam dewasa ini.

Dan dengan kalimat ringkas harus dikatakan : Satu-satunya jalan keluar dari seluruh kehinaan dan kemerosotan itu adalah mengajak seluruh komponen umat Islam kembali pada ajaran Islam dengan sebenar-benarnya di ash-siraathil-mustaqqim (jalan yang lurus). Jalan lurus nan satu lagi tidak berbilang adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu :

خط لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما خطا ثم قال هذا سبيل الله ثم خط خطوطا عن يمينه وعن شماله ثم قال هذه سبل على كل سبيل منها شيطان يدعو إليه ثم تلا { وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله }

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menggambar untuk kami sebuah garis, seraya bersabda : ”Ini adalah jalan Allah”. Lalu beliau kembali menggambar garis-garis lain di sebelah kanan dan kiri (dari garis yang pertama) seraya bersabda : ”Ini adalah jalan-jalan (yang banyak) dimana pada setiap jalan tersebut terdapat syaithan yang menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153)” [HR. Ahmad no. 4142, Al-Hakim no. 3241, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 11174, dan Ad-Darimi no. 202; hasan].

Jalan satu nan lurus itulah jalan para as-salafush-shalih sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Waqid Al-Laitsi radliyallaahu ’anhu ketika menjelaskan jalan keluar dari fitnah, bencana, dan balaa’ :

أَنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ ” فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَقَالَ مُعَاذُ بن جَبَلٍ : أَلا تَسْمَعُونَ مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالُوا : مَا قَالَ ؟ قَالَ : ” إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ ” ، فَقَالُوا : فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : ” تَرْجِعُونَ إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ

”Sesungguhnya akan terjadi fitnah”. Akan tetapi pada waktu itu banyak shahabat yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal berkata : ”Tidakkah kalian mendengar apa yang sedang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Mereka berkata : ”Apa yang beliau sabdakan ?”. Mu’adz menjawab : ”Sesungguhnya akan terjadi firnah”. Para shahabat bertanya : ”Lantas, bagaimana yang harus kami perbuat wahai Rasulullah ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Kembalilah kepada urusan kalian yang pertama !” [HR. Thabarani dalam Al-Kabiir no. 3232; shahih lighairihi].

Wallaahu a’lam bish-shawwab.

Abul-Jauzaa’

Bincang Bersama Bapak Syamsuddiin Ramadlaan – Revised


Ada hal yang menarik saat saya membaca komentar bapak Syamsuddiin Ramadlan, seorang da’i Hizbut-Tahriir, ketika ia berusaha keras melemahkan hadits ‘Iyyadl bin Ghanm tentang tata cara menasihati penguasa secara empat mata. Namun sayangnya, kritik haditsnya sangat tidak berterima dan terkesan membabi buta tanpa memperhatikan bagaimana thariqah ahli hadits dalam meneliti jalur-jalur riwayat tersebut. Saya hanya akan menambahkan sedikit dari apa yang telah saya tulis di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/takhrij-ringkas-hadits-iyaadl-bin-ghanm.html.

Untuk memudahkan, saya tulis ulang hadits yang akan dibahas sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : ‘Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyaadl marah. Kemudian ‘Iyaadl radliyallaahu ‘anhu tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk memberikan alasan (apa yang telah ia perbuat sebelumnya kepada ‘Iyadl). Hisyaam berkata kepada ‘Iyaadl : “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. ‘Iyaadl bin Ghanm berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah tabaaraka wa ta’ala?” [Musnad Al-Imaam Ahmad, 3/403-404].
Riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim Terputus ?
Bapak Syamsuddin Ramadlaan berkata :
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai “wasithah antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan “keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi’un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, “.Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar”. Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi’, dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari ‘Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha’). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Jubair bin Nufair bin Maalik bin ‘Aamir Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; salah seorang kibaarut-taabi’iin yang menjumpai jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Ibnu Hibbaan mengatakan ia pernah menjumpai jaman jahiliyyah [Ats-Tsiqaat, 4/111. Lihat pula : At-Taariikh Al-Kabiir 2/224 no. 2275]. Ia meriwayatkan secara muttashil (bersambung) dari beberapa orang shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya : Tsaubaan Maulaa Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Khaalid bin Waalid, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ‘Irbaadl bin Saariyyah, ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin, dan yang lainnya [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 4/509-510 no. 905]. Ia meriwayatkan secara mursal dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah [lihat : Jaami’ut-Tahshiil, hal. 153 no. 88]. Adapun penyimakannya dari ‘Umar bin Al-Khaththaab perlu diteliti kembali [Tahdziibul-Kamaal, 4/510].
Jika dikatakan riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim terputus (munqathi’), dengan alasan bahwa Jubair membawakan lafadh periwayatan tidak dengan tashriih penyimakan[1], maka ini sangat layak untuk mendapat kritikan.
Kedudukannya hadits Jubair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah seperti hadits mu’an’an. Hadits mu’an’an dihukumi bersambung menurut jumhur muhadditsiin jika memenuhi persyaratan :
1. Tetapnya ‘adalah perawi.
2. Bukan seorang mudallis.
3. Kemungkinan perawi tersebut bertemu dengan syaikh-nya – dimana ini merupakan madzhab Al-Imam Muslim rahimahullah, dan dihikayatkan ijma’.
[lihat : Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, hal. 1/359-377, tahqiq : Nuuruddin ‘Itr; Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Al-Mandhuumah Al-Baiquuniyyah oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 171-172; dan Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 67-68].
Ketiga syarat tersebut dipenuhi oleh Jubair bin Nufair.
Ia seorang perawi tsiqah lagi jaliil. Ia termasuk perawi yang dipakai Muslim dalam Shahiih-nya. Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan kibaarut-taabi’iin yang lebih bagus riwayatnya dari para shahabat, daripada tiga orang : Qais bin Abi Haazim, Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dan Jubair bin Nufair”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Ibnu Khiraasy berkata : “Ia termasuk tabi’iy daerah yang yang paling agung”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Abu Daawud juga mentsiqahkannya. Ya’quub bin Syaibah bekata : “Ia masyhuur dengan ilmunya”. [Tahdziibul-Kamaal, 4/509-514 no. 905 dan Tahdziibut-Tahdziib 2/64-65 no. 103].
Menukil perkataan Adz-Dzahabiy saja yang mengisyaratkan ia seorang yang layyin karena Al-Bukhaariy tidak membawakan riwayatnya adalah satu tindakan yang kurang fair. Sudah menjadi pemakluman bahwa tidak semua perawi tsiqah diambil oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya.
Ia pun bukan seorang mudallis (yang tidak diterima tadlis-nya). Memang benar, Ibnu Hajar mengklasifikasikannya dalam kelompok mudallisiin, akan tetapi Jubair ini masuk dalam tingkatan kedua [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 57 no. 39, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaimaan & Prof. Muhammad Ahmad]. Maknanya, tadlis-nya itu diterima karena riwayatnya menjadi hujjah dalam kitab Ash-Shahiih. Dan sepengetahuan saya, tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mensifati Jubair ini dengan tadlis selain yang termuat dalam Tadzkiratul-Huffadh (1/52). Ada kemungkinan bahwa maksud penyifatan Adz-Dzahabiy ini adalah bahwa ia kadang membawakan riwayat mursal. Dan bagi ulama mutaqaddimiin, irsal ini seringkali disebut dengan tadlis. Sepengetahuan saya, para ulama hanya menyebutkan riwayat mursal dari Jubair ini adalah dari Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Jika bapak Syamsuddiin Ramadlaan ingin menghukumi riwayat Jubair dari ‘Iyaadl atau Hisyaam bin Hakiim ini mursal, sangat dipersilakan untuk membuktikan secara ilmiah menurut kaidah ilmu hadits, bukan sekedar prasangka semata. Singkatnya, walaupun ia membawakan dengan shighah ‘an, maka riwayatnya dihukumi muttashil sampai benar-benar ada keterangan yang pasti dari ulama hadits mu’tabar bahwa ia telah melakukan tadlis atau riwayatnya tersebut terputus (munqathi’). Dan dalam keterangan ulama mutaqaddimin tidak ada, kecuali keterputusan riwayatnya dari Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Ia pun sejaman dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim, sehingga memungkinkan adanya pertemuan di antara mereka. Betapa tidak ? Jubair adalah kalangan muhdlaram yang tentu saja pernah semasa (mu’asharah) dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakam. Dikuatkan lagi bahwa Jubair, ‘Iyaadl, dan Hisyaam adalah termasuk orang-orang yang sedaerah, yaitu Himsh (Syaam). Periwayatan Jubair dari kalangan shahabat yang dikritik kebersambungannya – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah yang berasal dari Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, tidak ada tashriih perkataan dari ulama naqd yang mu’tabar bahwa Jubair bin Nufair tidak pernah bertemu atau mendengar dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim.
Oleh karena itu, hukum periwayatan Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah bersambung muttashil – sesuai persyaratan Muslim. Klaim munqathi’ adalah klaim tanpa faedah yang menyelisihi kaedah ilmu hadits[2].
Yang lebih menambah keyakinan kita akan kebersambungan sanad tersebut adalah riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَجَدَ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنْ النَّبَطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ لَهُ هِشَامٌ مَا هَذَا يَا عِيَاضُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam mendapatkan ‘Iyaadl bin Ghanm di Himsh menjemur rakyat jelata dalam masalah pembayaran jizyah. Lalu Hisyaam berkata kepadanya : “Wahai ‘Iyaadl, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah tabaaraka wa ta’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia’ [Al-Musnad, 3/404].
Sanad hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim.
Al-Imam Muslim juga membawakan hadits semakna sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الزَّيْتُ فَقَالَ مَا هَذَا قِيلَ يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam, ia berkata : Aku pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya : “Mengapa mereka ini dihukum ?”. Dikatakan : “Mereka disiksa karena masalah pajak (kharaj)”. Hisyaam berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia” [Shahih Muslim no. 2613].
Dua hadits di atas adalah hadits serupa dengan hadits yang sedang kita perbincangkan, namun hanya memuat sebagian lafadhnya saja.
Sisi pendalilannya adalah : Jika riwayat ‘Urwah bin Az-Zubair dari Hisyaam bin Hakiim dihukumi bersambung lagi shahih (sebagaimana dua riwayat di atas), maka riwayat Jubair bin Nufair lebih pantas untuk dihukumi bersambung dibandingkan ‘Urwah. Jubair termasuk kibaarut-taabi’iin, sedangkan ‘Urwah adalah taabi’iy pertengahan.
Riwayat Syuraih dari Jubair bin Nufair Terputus ?
Sebenarnya ini telah saya singgung dalam bahasan saya sebelumnya. Namun di sini saya akan mengulang sebagai penekanan saja.
Abul-Hasan bin Az-Ziyaadiy mengatakan bahwa Jubair wafat pada tahun 75 H. Ibnu Sa’d, Khaliifah bin Khayyaath, dan Ibnu Hibbaan mengatakan tahun 80 H. Yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dimana ia mengatakan : “Wafat tahun 80, dan dikatakan juga setelahnya” [At-Taqriib, hal. 195 no. 912]. Bahkan dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/56), Ibnu Hajar membawakan perkataan Mu’aawiyyah bin Shaalih bahwa ia menjumpai masa Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik (86 H).
Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih bin ‘Abd bin ‘Ariib Al-Hadlramiy Al-Maqraaiy Abush-Shalt Asy-Syaamiy Al-Himshiy; termasuk golongan tabi’iy pertengahan, tsiqah, namun banyak memursalkan hadits, wafat setelah tahun 100 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 424 no. 2790].
Di sini terdapat petunjuk bahwa antara Syuraih dan Jubair bin Nufair semasa. Tidak ada tashriih dari ulama mu’tabar yang menyatakan kemursalan riwayat Syuraih dari Jubair. Oleh karena itu, riwayatnya di sini dihukumi bersambung. Tidak ada sedikitpun hujjah untuk mengatakan riwayat antara keduanya terputus (munqathi’).
Lebih yakin lagi bahwa Abu Daawud dalam Sunan-nya (no. 255) telah menyebutkan tashriih penyimakan Syuraih dari Jubair bin Nufair.
Kritik terhadap Riwayat Ath-Thabaraaniy
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, “Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)”. Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, “Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin ‘Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta”. Abu Hatim juga berkata tentang dia, “Syaikh la ba’sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma’in memujinya dengan baik”. Dalam Tarikh Ibnu ‘Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, “Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits”. Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits!!!
Penulisan Ibnu Zuraiq ini keliru. Yang benar Ibnu Zibriiq. Lengkapnya : Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ bin Adl-Dlahhaak bin Zibriiq Al-Himshiy Az-Zubaidiy [Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/209 no. 711 dan Tahdziibul-Kamaal 2/369-371 no. 330]. Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak tsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Natsnun-Nabaal (hal. 176-177 no. 276) membawakan bahwa Maslamah bin Al-Qaasim mentsiqahkannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.
Dengan perkataan para imam di atas, nampaklah bagi kita riwayat Ishaaq bin Ibraahiim ini dapat digunakan sebagai mutaba’ah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, “Ia adalah mustaqim al-hadits”. Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, “Tafarrada bi ar-riwayah ‘anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya ‘Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya”. Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul.
Nampaknya, bapak Syamsuddiin Ramadlaan ini ingin menggunakan perkataan Adz-Dzahabiy untuk melemahkan ‘Amru bin Al-Haarits. Aneh sekali,…. dari sisi mana pekataan Adz-Dzahabiy itu menggugurkan riwayat ‘Amru bin Al-Haarits ? Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Kaasyif (2/73 no. 4136) : “Telah ditsiqahkan”. Para ulama telah menjelaskan jika Ibnu Hibbaan telah menjazmkan satu pentautsiqan, maka tautsiq-nya itu diterima. Sedangkan perkataan Adz-Dzahabiy bahwa hanya ada dua perawi yang meriwayatkan darinya, ini juga perlu kita cermati. Dalam kitab-kitab biografi perawi, tercatat tiga orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu : Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, ‘Ulwah, dan Muhammad bin ‘Auf Ath-Thaa’iy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 21/569-570 no. 4340].
Pernyataan yang benar akan diri ‘Amru bin Al-Haarits adalah ia seorang yang tsiqah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak ‘illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla’ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) ‘Amru bin Harits,…..
Benar bahwasannya ‘Amru bin Ishaaq adalah perawi majhuul. Namun tidakkah ia sendiri membaca bahwa Ath-Thabaraaniy dalam riwayatnya itu mengambil dari tiga orang perawi ? Mereka adalah : ‘Amru bin Ishaaq, ‘Ammaarah bin Watsiimah, dan ‘Abdurrahmaan bin Mu’aawiyyah. ‘Ammaarah seorang yang shaduuq (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 444-445) dan ‘Abdurrahmaan seorang yang majhuul haal (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 357-358). Oleh karena itu, ketiganya saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Mungkin beliau ini tidak paham dengan yang dibaca dan yang ditulis.
Adapun klaimnya atas ‘parah-nya’ status Ishaaq bin Ibraahiim bin Zuraiq adalah penghukuman yang berlebih-lebihan tanpa mau menoleh dan menjamak perkataan para ulama naqd. Juga tentang ‘Amru bin Al-Haarits yang telah lewat penjelasannya di atas…..
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
(3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha’) antara al-Fadlil dengan Ibnu ‘Aidz, (5) terputusnya Ibnu ‘Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6)
Kalau boleh saya katakan : ‘Ini hanyalah omong kosong belaka !!!’.
Al-Fudlail bin Fadlaalah (inilah penulisan yang benar) ini adalah Al-Hauzaniy Asy-Syaamiy. Tidak ada yang memberikan jarh kepadanya. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/295). Begitu juga Al-Haakim mentautsiqnya dengan menshahihkan riwayat yang ia bawakan [Al-Mustadrak, 3/290]; sementara itu sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya (yaitu : Shafwaan bin ‘Amru As-Saksakiy, Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy, dan Mu’aawiyyah bin Shaalih Al-Hadlramiy). Oleh karena itu, penghukuman yang benar akan dirinya adalah shaduuq hasanul-hadiits [lihat : Tahriirut-Taqriib, 3/163 no. 5436].
Adapun klaimnya bahwa riwayatnya dari Ibnu ‘Aidz adalah munqathi’, ini juga tidak didasari bukti. Jika bapak Syamsuddiin mendasari perkataannya dari Ibnu Hajar dalam At-Taqriib bahwa ia memursalkan satu riwayat, maka Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal hanya menyatakan riwayat mursal-nya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain dari itu, maka perlu bukti ! agar tidak seenaknya orang mengatakan mursal atau munqathi’. Al-Fudlail termasuk shigaarut-taabi’iin dan Ibnu ‘Aidz termasuk tabi’iy pertengahan. Jadi, ini sangat mungkin bahwa keduanya semasa (mu’asharah). Lihat kembali persyaratan diterimanya hadits mu’an’an sebagaimana telah dituliskan di atas.
Hal yang sama tentang klaimnya bahwa riwayat Ibnu ‘Aaidz dengan Jubair bin Nufair terputus.
Logika Aneh
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang “koreksi sembunyi-sembunyi” merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Silakan para Pembaca mencermati hadits di atas. Hadits di atas menunjukkan bahwa Hisyaam bin Hakiim belum mengetahui hadits yang dimiliki ‘Iyaadl. Dan itu terbukti setelah ‘Iyaadl menyampaikan hadits, Hisyaam tidak berkomentar apapun alias menerimanya. Tidak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa Hisyaam setelah itu tetap melanjutkan apa yang diperbuat semula (mengoreksi penguasa secara terang-terangan).
Betapa banyak seorang shahabat tidak mengetahui satu hadits yang kemudian ia diberitahu oleh shahabat lain akan hadits tersebut. Contoh akan hal ini sangat banyak.
Apalagi beberapa shahabat besar mempraktekkan hadits ini seperti Usaamah bin Zaid, Ibnu ‘Abbaas, dan Abdullah bin Abi Aufa radliyallaahu ‘anhum; meskipun bapak Syamsuddiin dan rekan-rekan beliau di Hizbut-Tahriir tidak menyukainya.
Merapikan Jalur Periwayatan
Hadits ‘Iyaadl bin Ghanm tentang nasihat empat mata kepada pemimpin diriwayatkan oleh Ahmad (3/403-404) dari jalan : Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : ‘Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyaadl marah…..dst.
Sanad hadits ini lemah karena inqithaa’ (keterputusan) antara Syuraih dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam.
Akan tetapi inqithaa’ ini disambung oleh Ibnu Abi ‘Aashim (no. no. 1097) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil : Telah menceritakan ayahku, dari Dlamdlam bin Zur’ah, dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah berkata Jubair bin Nufair, ia berkata : Telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm kepada Hisyaam bin Hakiim : “Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘….(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini juga lemah karena kelemahan Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy. Selain itu, penyimakannya dari ayahnya dikritik oleh Abu Haatim [Tahdziibul-Kamaal, 24/483-484 no. 5067].
Syuraih mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaidz Al-Azdiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1098) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy, dari Al-Fudlail bin Fadlaalah, ia mengembalikannya kepada Ibnu ‘Aaidz, dan Ibnu ‘Aaidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair, dari ‘Iyaadl bin Ghanm, ia berkata kepada Hisyaam bin Al-Hakiim : “…..(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini lemah karena ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya hilang [At-Taqriib, hal. 563 no. 3775].
‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/367 no. 1007, Al-Haakim 3/290, dan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 7/18-19 dari jalan Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Saalim, selanjutnya seperti sanad di atas.
Sanad hadits ini lemah karena Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq. Ia seorang yang shaduuq, namun periwayatannya dari ‘Amru bin Al-Haarits adalah lemah dan ditinggalkan.
Dapat kita lihat bahwa dalam setiap thabaqah sanad saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Kelemahan masing-masing sanad bukanlah jenis kelemahan yang tidak menerima penguat berupa mutaba’aat. Oleh karena itu, hadits ini tidak jatuh lebih rendah dari derajat hasan. Bahkan, beberapa ulama telah men-jazm-kan dengan keshahihan seperti Al-Albaaniy, Al-Arna’uth, Ibnu Barjaas, Baasim Al-Jawaabirah, dan Hamzah Az-Zain.
Pendek kata, penghukuman bapak Syamsuddiin Ramadlan dengan kedla’ifan adalah penghukuman yang keliru, mengabaikan penguat-penguat yang dapat mengangkat kelemahan masing-masing sanad.
Dikarenakan hadits ini adalah hasan atau shahih, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang mengakui muslim untuk berpegang kepadanya dalam perkara syari’at. Termasuk dalam hal ini bapak Syamsuddiin Ramadlaan. Saya pribadi sangat mengharapkan agar beliau ini lebih mengutamakan As-Sunnah daripada terus membeo teologi Hizbut-Tahriir yang mengharuskan menentang/menolak hadits ‘Iyaadl bin Ghanm radliyallaahu ‘anhu. Apalagi hadits ini telah dipraktekkan oleh para shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam muamalah mereka terhadap pemimpin kaum muslimin[3].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – 1431] – direvisi untuk kedua kalinya tanggal 13-8-2010.
Adapun kritik hadits bapak Syamsuddin Ramadlaan adalah sebagai berikut (saat menanggapi kritikan Ustadz Badru Salam) :
Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits ‘Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba’ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:
Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin ‘Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi’, sehingga gugur sebagai hujjah.
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai “wasithah antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan “keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi’un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, “.Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar”. Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi’, dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari ‘Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha’). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Adapun hadits dari jalur Mohammad bin ‘Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin ‘Ayyasy adalah dla’ifu al-hadits (dla’if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta’diil, Abu Hatim berkata, “Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya”. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, “Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya”. Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla’if, tidak tsiqqah”.
Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, “Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)”. Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, “Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin ‘Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta”. Abu Hatim juga berkata tentang dia, “Syaikh la ba’sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma’in memujinya dengan baik”. Dalam Tarikh Ibnu ‘Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, “Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits”. Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, “Ia adalah mustaqim al-hadits”. Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, “Tafarrada bi ar-riwayah ‘anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya ‘Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya”. Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak ‘illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla’ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) ‘Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha’) antara al-Fadlil dengan Ibnu ‘Aidz, (5) terputusnya Ibnu ‘Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu ‘anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.
Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma’ az Zawaid, “Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil”, maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.
Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi’ (terputus).
Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin ‘Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha’ (terputus).
Adapun riwayat mu’an’anah dari ‘Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa ‘Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari ‘Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha’).
Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi ‘Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati ‘Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, “Apa ini wahai ‘Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia”. Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi’ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa’ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan ‘Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang “koreksi sembunyi-sembunyi” merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin ‘Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.

[1] Dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1097-1098), Jubair bin Nufair menggunakan lafadh periwayatan : ‘qaala ‘Iyaadl bin Ghanm’ (telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm) dan ‘an ‘Iyaadl bin Ghanm’ (dari ‘Iyaadl bin Ghanm).
[2] Apalagi sampai mengatakan Jubair telah menggugurkan perawi antaranya dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam. Atas dasar dan bukti apa ?
[3] Baca kembali : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/takhrij-ringkas-hadits-iyaadl-bin-ghanm.html.

sumber : blog Abul Jauzaa.

fatwa yang berbau khawarij dari tokoh besar Ikhwanul Muslimin.


oleh : Abu Namira Hasna Al-Jauziyah

Qaradhawi Fatwakan Untuk Membunuh Gaddafi

Di tengah laporan tentang adanya perintah untuk membombandir Benghazi, Syaikh Yusuf Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Muslim Dunia pada Senin malam memfatwakan bolehnya membunuh pemimpin Libya Muammar Gaddafi, setelah ia memutuskan untuk menggenosida rakyatnya.

Qaradawi menyerukan kepada tentara Libya, dengan mengatakan: “Anda bukan orang yang kurang rasa nasionalismenya di banding tentara Tunisia dan Mesir. Oleh karena itu, Anda jangan mengorbankan rakyat Anda demi orang gila yang dikuasai asing untuk membantai rakyatnya dan memperkosa kehormatannya. Dalam hal ini, mendengarkan dan menaati perintah-orang gila itu-adalah haram. Barangsiapa di antara Anda yang dapat membunuh manusia idiot ini, maka jangan ragu lagi lakukan, demi menyelamatkan rakyat Libya.” (moheet.com, 22/2/2011).

TANGGAPAN :

wahai akhi Yusuf Qaradhawi, apakah saudara tidak tahu firman Allah Azza wa jalla. sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang harus taatnya kepada pemimpin, meskipun pemimpin itu berbuat zholim?! perhatikan hadist2 shohih, perkataan sahabat radhiyallahu anhu dan juga ulama-ulama ahlussunnah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Imarah).

Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)

Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?

Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم

“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)

Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما

حملوا وعليكم ما حملتم

“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-).

di dalam hadist lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bagaimana cara menasihati kepada penguasa.

beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:

من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)].

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)].

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)].

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Perkataan seorang sahabat radhiyallahu anhu :

Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)].

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ

“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6).

Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni rahimahullah berkata, “As-habul hadits berpandangan untuk tetap mengikuti setiap pemimpin muslim dalam mendirikan sholat Jum’at, sholat dua hari raya, ataupun sholat-sholat yang lainnya. Entah dia adalah seorang pemimpin yang baik ataupun yang bejat. Mereka juga memandang kewajiban untuk berjihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin tersebut. Meskipun mereka itu zalim dan suka bermaksiat. Mereka juga memandang semestinya rakyat mendoakan perbaikan keadaan, taufik/hidayah, serta kebaikan untuk mereka (penguasa) dan mendoakan juga agar mereka bisa menyebarluaskan keadilan di tengah-tengah rakyat. Mereka juga memandang tidak bolehnya memberontak dengan pedang kepada mereka…” (‘Aqidah Salaf As-habul Hadits, hal. 100 tahqiq Abul Yamin al-Manshuri cet. Dar al-Minhaj berupa file pdf).

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak.” (Fathul Bari, 13/7).

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)].

-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari http://www.sahab.net]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:

1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
4. Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
8. Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
10. Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
11. Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)

Dengan membaca keterangan di atas maka jelaslah kekeliruan orang yang mengatakan bahwa dewasa ini di segenap penjuru dunia tidak ada lagi ulil amri/penguasa yang harus ditaati. Bahkan, dia mengatakan bahwa masyarakat yang taat kepada para penguasa tersebut maka telah menjadikan mereka sebagai para thoghut (sesembahan selain Allah)! Dan hal itu juga mengisyaratkan kepada kita bahwa pemikiran yang membolehkan pemberontakan kepada penguasa yang zalim -walaupun tidak mengharuskannya- adalah salah satu pemikiran sesat warisan sekte Khawarij yang harus kita waspadai!


tulisan ini banyak mengambil dari makalah Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa(Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) oleh ustadz Sofyan Chalid Ruray dan ditambah sumber-sumber lain yang terkait.

Fungsi Petir Menurut Syariat


Pertanyaan: Petir itu menurut syariat fungsinya apa? Melempar setan?

Dijawab oleh al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari

Yang berfungsi untuk melempar setan adalah bintang yang dijatuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah salah satu fungsi diciptakannya bintang-bintang di langit, sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an.

Adapun fungsi petir dan kilat, sebagai jawabannya kami nukilkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (24/263-264), “Adapun petir dan kilat, terdapat keterangan pada hadits marfu’ (disandarkan sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam kitab Sunan at-Tirmidzi dan lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ar-ra’d (petir). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

“Malaikat dari malaikat-malaikat Allah yang ditugasi mengatur urusan awan di tangannya ada alat (cambuk) [1] dari api untuk mengarak awan menurut kehendak Allah.” [2]

Pada kitab Makarrim al-Akhlaq karya al-Kharaithi, terdapat atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu:

Beliau ditanya tentang petir, maka beliau menjawab, “Malaikat.” Beliau ditanya lagi tentang kilat, beliau menjawab, “Cambuk-cambuk di tangan para malaikat.” Pada riwayat lain beliau berkata, “Cambuk-cambuk dari besi di tangan malaikat.”

Telah diriwayatkan pula atsar-atsar yang semakna dengan ini.

Begitu pula telah diriwayatkan keterangan lain dari beberapa salaf yang tidak menyelisihi keterangan di atas, seperti ucapan sebagian mereka, “Sesungguhnya petir itu adalah (suara) benturan substansi-substansi (zat-zat) awan akibat adanya tekanan udara dalam awan.” Keterangan ini tidaklah kontradiksi dengan keterangan di atas karena ar-ra’d (petir/guruh) adalah mashdar dari ra’ada (artinya telah berguruh), yar’udu (artinya sedang/akan berguruh), ra’dan (artinya guruh/petir).

Demikian pula ar-ra’id (artinya yang berguruh) dinamakan ra’dan (petir/guruh), seperth halnya al’adil (artinya yang adil) dinamakan ‘adlan (artinya adil).

Gerakan yang ada mengharuskan keluarnya suara, sementara para malaikatlah yang menggerakkan (mengarak) awan. Mereka memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya. Seluruh gerakan yang terjadi di alam atas dan alam bawah, yang mengaturnya adalah para malaikat. Suara manusia pun bersumber dari benturan anggota-anggota tubuh lainnya, yaitu kedua bibirnya, lidahnya, gigi-giginya, anak lidah (anak tekak), dan tenggorokan. Bersama dengan itu, manusia disifati bahwa dia bertasbih kepada Rabbnya, memerintahkan kepada yang kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Jika begitu, petir adalah suara menghardik awan. [3]

Begitu pula halnya dengan kilat. Telah dikatakan, “(Kilat itu) kilauan air atau kilauan api.” Hal ini pun tidak menafikan (menampik) bahwa kilat itu adalah cambuk yang ada di tangan malaikat, karena api yang berkilau di tangan malaikat seperti cambuk, seperti penggiring hujan. Malaikat menggiring (mengarak) awan seperti halnya penunggang menggiring binatang tunggangannya.”

Catatan kaki:

[1] Lihat penjelasan makna makhariq (alat semacam cambuk) dalam an-Nihayah fi Gharib al-Atsar karya Ibnul Atsir.

[2] Setelah itu beliau ditanya lagi tentang suara petir yang terdengar itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

“Hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya (untuk mengaraknya) hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya.”

Ini adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan riwayat at-Tirmidzi (pada Kitab Tafsir al-Qur’an, Bab Wa min Surah ar-Ra’d no. 3117) tentang kedatangan sekelompok Yahudi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang petir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, ath-Thabarani, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, dan lainnya dengan lafadz:

Sekelompok orang Yahudi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Abul Qasim, kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa hal. Jika engkau menjawabnya, kami akan mengikutimu, membenarkanmu dan beriman kepadamu … Kabarkan kepada kami tentang petir, apakah itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Petir adalah salah satu malaikat Allah malaikat Allah yang ditugasi mengurus awan, (di kedua tangannya -atau di tangannya- ada cambuk dari api untuk menghardik awan), dan suara yang terdengar darinya adalah hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya.”

Yang dalam kurung adalah tambahan lafadz dari adh-Dhiya’ pada salah satu riwayatnya. Dinyatakan berderajat shahih oleh al-Albani. Lihat ash-Shahihah (no. 1872).

[3] Ini sesuai dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pada kelanjutan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.

Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 67/1432 H/2010, hal. 76-77.

Tanggapan atas ucapan “janganlah merasa benar sendiri”


Ucapan ini kerap kali terdengar ketika ada dua orang yang saling berselisih tentang suatu permasalahan, khususnya dalam permasalahan agama. Untuk itu, marilah kita membedah maksud dari perkataan ini, sehingga kita tidak salah dalam menempatkan kalimat ini dalam permasalahan yang tidak sepantasnya kalimat ini diucapkan.

Maka kita perlu mengetahui sembilan point berikut sebagai tanggapan ucapan tersebut:

1. kita memeluk AGAMA ISLAM, karena KEBENARANnya dan kita MEYAKINI akan kebenaran tersebut. demikian halnya segala sesuatu yang didalamnya, yakni SYARI’ATnya. SYARI’AT yang datang dari Allah TELAH JELAS dan SEMUANYA telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya.

2. Hikmah diturunkan Al Qur-aan dan diutusnya Rasul adalah MENEGAKKAN kebenaran, yang dengannya Allah membantah KEBATHILAN ahlul baathil dan merendahkannya, serta meninggikan ahlul haq.

3. Maka dengan melihat point kedua, tidak boleh lagi ada yang berkata:

“jangan engkau katakan ini sesat, itu sesat; karena yang lebih tahu tentang sesat atau tidaknya adalah Allah. hanya Allah-lah yang benar.”

tanggapan:

– jika seseorang mengatakan “ini sesat, itu sesat” TANPA berlandaskan HUJJAH, maka ini adalah kebodohan. sesat apakah yang dimaksudkannya? sesat dari jalan mana? kalau ia mengatakan “sesat dari jalan Allah”; maka kita katakan: “datangkanlah HUJJAH, dijalan Allah manakah kesesatan tersebut”. janganlah sampai engkau mengadakan kedustaan atas nama Allah! ingatlah ini merupakan suatu dosa yang sangat besar!

– yang jadi permasalahan ketika seseorang malah disalahkan ketika ia menyatakan sesat terhadap sesuatu yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya akan kesesatan tersebut.

kita mengimani bahwa Allah telah menurunkan Al Qur-aan sebagai Al Furqaan (pembeda yang haq dan yang baathil, yang lurus dan yang sesat); maka jika apa yang dikatakan sesat oleh Al Qur-aan, maka itulah kesesatan.

kita telah mengimani bahwa Allah telah mengutus RasulNya untuk MENJELASKAN Al Qur-aan dan untuk menjadi hakim atas segala perselisihan manusia tentang agamanya. maka apa yang dikatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka itulah kesesatan.

benar, bahwa Allah, Dialah Yang Benar (al-Haq); tapi ketahuilah, al-haq tersebut telah ada ditengah-tengah kita dengan diturunkanNya al Qur-aan yang membawa kebenaran dan dengan diutusNya RasulNya yang memberi kabar gembira dan yang memberi peringatan (lihat al Isra: 105). apakah engkau tidak mengakuinya? apakah engkau tidak mau berhukum dengannya untuk menyelesaikan permasalahanmu?

mungkin ia mengira bahwa pengingkaran terhadap kesesatan seperti ini adalah perpecahan, sehingga tidak boleh ada pengingkaran. ya subhanallah, apakah yang dimaksud dengan perpecahan? apakah yang dimaksud dengan persatuan? yang dimaksud dengan perpecahan adalah orang yang menyelisihi kebenaran, sedangkan yang dimaksud dengan persatuan adalah orang yang mengikuti kebenaran.

maka orang-orang yang berkumpul diatas kesesatan, tidaklah disebut sebuah persatuan, dan tidak akan pernah umat ini berkumpul diatas kesesatan, akan selalu ada diantara umat ini yang akan tetap berada diatas kebenaran, menyelisihi kebathilan-kebathilan yang diperbuat oleh para pengikut hawa nafsu.

maka orang-orang yang hendak menghalang-halangi orang yang mengingkari kesesatan inilah yang patut untuk merenungi hal-hal berikut:

– apakah engkau hendak membiarkan terjadinya kesesatan dalam agama ini?

– apakah engkau hendak meluaskan kesesatan dalam agama ini?

– apakah engkau mengira kesesatan tersebut merupakan kebenaran?

– atau apakah engkau hendak mengatakan kesesatan itu adalah bagian agama ini?

akan tetapi yang perlu diingat, seseorang yang mengingkari kesesatan HARUS SESUAI DENGAN SYARI’AT, bukan dengan cara-cara yang baathil; tidaklah kesesatan itu dilawan dengan cara-cara yang sesat pula.

(simak pembahasan tentang ini disini)

http://muslim.or.id/manhaj-salaf/amar-maruf-nahi-mungkar-1.html

http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-2.html

http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-3.html

4. Maka jika terjadi perselisihan, yang menghukumi benar atau salahnya adalah KITABULLAH dan SUNNAH Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menurut PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH.

sehingga tidak boleh ada berkata DIKEMBALIKAN KEPADA MASING-MASING. tapi dikembalikan kepada Allah (kitabNya) dan RasulNya (sunnahnya) menurut PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH.

dikatakan mengembalikan kepada PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH, karena bisa saja kedua pihak berselisih MENCARI PEMBENARAN, dengan ASAL COMOT dalil-dalil dari qur-aan dan sunnah dengan PEMAHAMANNYA MASING-MASING tanpa merujuk pada pemahaman yang DIAKUI oleh Allah dan RasulNya, yaitu pemahaman para shahabat; untuk MEMBENARKAN kesesatannya.

simak:

http://abuzuhriy.com/?p=2417

http://abuzuhriy.com/?p=938

maka orang yang mengatakan (kembali kepada al qur-aan dan as-sunnah, dengan pemahamn masing-masing) tidak ada bedanya dengan golongan pertama yang berkata: “kembalikan saja pada masing-masing” dan inilah pemahaman LIBERAL yang sesat dan menyesatkan, yang menjangkiti banyak kaum muslimin.

5. jika menurut al-qur’an dan as-sunnah sesuai pemahaman salafush shalih itu benar, maka kita benarkan.

lantas APAKAH SALAH, seseorang yang mengatakan DIRINYA BENAR, sedangkan ia berlandaskan dengan DALIL-DALIL yang SHAHIIH (diatas kitabullah dan sunnah rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam dengan PEMAHAMAN salafush shalih)?!

6. kita tidak menafikkan akan ADANYA perselisihan diantara dua belah pihak (atau bahkan lebih) yang TELAH MENGEMBALIKAN perkaranya kepada al-qur’an dan as-sunnah sesuai pemahaman salafush shalih…

namun TETAP SAJA hanya ada SATU kebenaran. namun penyikapannya tentu TIDAK SAMA dengan penyikapan terhadap orang yang MENYELISIHI al qur-aan dan as-sunnah (menurut pemahaman salafush shalih), dan ijma’.

maksudnya, TIDAK DIBENARKAN dalam masalah-masalah seperti ini, seseorang BERKACAMATA KUDA, menganggap dalam perkara ini yang ada hanya pendapatnya saja, atau menganggap hal ini merupakan IJMA’ kaum muslimin yang tidak boleh diselisihi, sehingga ia MENGINGKARI dengan keras pendapat yang menyelisihinya, bahkan MENYESATKAN orang yang menyelisihinya.

dan dalam perkara ini PASTILAH orang-orang yang berselisih AKAN SALING MENYELISIHI berdasarkan kandungan dalil yang mereka dapati dan sudut pandang yang mereka pegang pada masing-masing pihak.

tidaklah perselisihan yang seperti ini dikatakan sebagai “perpecahan”, tidak sepantasnya pula perselisihan seperti ini dapat mengakibatkan perpecahan diantara kaum muslimin.

Dalam masalah-masalah yang memungkinkan terjadinya khilaf diantara para ulama, dan khilaf itupun DIAKUI oleh ULAMA AHLUS-SUNNAH; tidak dibenarkan sebagian pihak menyesatkan sebagian yang lain.

Mari kita menyimak nasehat syaikh al ‘utsaimin berikut:

kita wajib untuk tidak menjadikan perselisihan di antara ulama’ ini sebagai penyebab perpecahan, karena kita seluruhnya menghendaki al-haq, dan kita seluruhnya telah melakukan segala usaha yang ijtihad-nya membawa ke sana.

Maka selama perselisihan itu (seperti ini), sesungguhnya kita tidak boleh menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan perpecahan diantara ahlul ilmi, karena sesungguhnya para ulama’ itu selalu berselisih, walaupun di zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam..

Kalau begitu, maka yang menjadi kewajiban bagi thalibul ilmi hendaklah mereka bersatu, dan janganlah mereka menjadikan perselisihan semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci.

Bahkan jika engkau berbeda pendapat dengan temanmu berdasarkan kandungan dalil yang engkau miliki, sedangkan temanmu menyelisihimu berdasarkan kandungan dalil yang ada padanya, maka kalian wajib untuk menjadikan diri kalian diatas satu jalan dan hendaklah kecintaan bertambah di antara kalian berdua.”

(Kitabul ilmi, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 28-30, penerbit: Daar ats-Tsurayya, cet: I, th:1417 H. 1996 M)

7. perkataan “jangan merasa benar sendiri” ini, jika yang mengatakannya adalah orang yang berada diatas kebathilan, maka ini hanyalah ANGAN-ANGAN KOSONGnya.

agar sekiranya, KEBATHILANnya juga DIANGGAP sebagai sebuah kebenaran. sehingga ia BERANGAN-ANGAN orang yang memang berada diatas kebenaran menerima kebathilannya, dan BERANGAN-ANGAN agar orang tersebut mengatakan: “engkau benar, akupun benar, dan kita tidak saling mengusik” mungkin itulah ANGAN-ANGANnya!

8. jika orang yang berada diatas kebenaran disebut “merasa paling benar”, maka kita katakan, orang tersebut tidaklah ‘merasa’ tapi MEMANG ia berada diatas kebenaran.

9. jika orang yang berada diatas kebathilan tersebut yang mengatakan perkataan demikian, maka kita katakan, yang seharusnya disebut “merasa paling benar” adalah pelaku kebathilan ini, bagaimana tidak? mereka diseru untuk merujuk kebenaran, tapi mereka menolak. cukuplah bagi mereka sebutan ‘merasa benar sendiri”…

Semoga bermanfaat..

tulisan ini dikutip dari catatan fb akhi Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy