KEHINAAN ULAMA ASWAJA ABAD INI MUHAMMAD SA’ID ROMADHOON AL-BUUTHY


KEHINAAN ULAMA ASWAJA ABAD INI MUHAMMAD SA’ID ROMADHOON AL-BUUTHY

(Hakekat Al-Buthy telah diungkap oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah  sejak puluhan tahun yang lalu)
Ulama sufi yang bermadzhab asy’ari ini –yang telah mencapai usia sangat tua lebih dari 80 tahun- memang sangat terkenal membenci kaum Ahlus Sunnah yang disebut sebagai wahabiyah.

Hal ini tidak lain kecuali karena kaum wahabiyah memerangi kesyirikan yang diserukan oleh Al-Buthy, seperti bolehnya beristighotsah kepada para wali yang telah meninggal dunia. (lihat di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=67327, dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=24726)

Bahkan ia nekat berdusta untuk menjatuhkan kaum yang dituduh sebagai wahabiyah…

Kedustaan beliau inipun diikuti oleh para pecintanya di tanah air kita Indonesia. Terlalu banyak orang sufi yang menuduh kaum wahabi sebagai khawarij dan pemberontak…suka mengkafirkan…, antek-antek penjajah…dan lain sebagainya.

Ternyata sang Mufti Suria ini membela Basyaar Asad habis-habisan…, bahkan mengajak untuk berjihad bersama Basyar Asad….

Sungguh kehinaan…kehinaan..dan kehinaan…

Berikut khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Al-Buthy pada tanggal 15 Februari 2013 lalu

Diantaranya ia berkata : Lanjutkan membaca

Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU


Oleh. Ustadz Aris Munandar

Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000

Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan.

ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه،

“Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya.

لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة،

Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.

ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.

Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.

ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك.

Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut.

(وصورتهما).

Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya. Lanjutkan membaca

Bercadar Mazhab Resmi NU


Jika Muhammadiyah terkenal dengan keputusan Majelis Tarjih maka saudara kita Nahdhiyyin terkenal dengan keputusan Bahtsul Masail. Keputusan Bahtsul Masail yang paling bergengsi di NU tentu adalah hasil Bahtsul Masail di muktamar NU. Berikut ini saya kutipkan fatwa resmi NU yang telah menjadi keputusan resmi muktamar NU.

Teks arab dan terjemahnya saya memakai yang terdapat dalam buku Ahkam al Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’, Kumpulan Masalah2 Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra Semarang.

Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.

Seluruh fatwa yang ada di buku tersebut sudah dikoreksi oleh tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama antara lain J. M (Yang Mulia-ed) Rois Aam, Kj H Abdul Wahab Khasbullah, J.M. KH Bisyri Syamsuri, al Ustadz R Muhammad al Kariem Surakarta, KH Zubair Umar, Djailani Salatiga, al Ustadz Adlan Ali, KH Chalil Jombong dan alm KH Sujuthi Abdul Aziez Rembang. Lanjutkan membaca

Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Bukan Tafsir Sufi


Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

tafsir-imam-syafii-1

l-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu merupakan salah seorang tokoh Ahlus Sunnah yang dikenal memiliki keilmuan agama di berbagai bidang, termasuk pula dalam ilmu tafsir. Beliau merupakan salah satu rujukan pada zamannya, yang menjadi tempat bertanya kaum muslimin dalam penafsiran Al-Qur’an.
Ahmad bin Muhammad Asy-Syafi’i berkata: “Aku mendengar ayahku dan pamanku berkata: Adalah Sufyan bin Uyainah rahimahullahu, jika ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang tafsir dan fatwa, maka beliau menoleh kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan berkata: ‘Bertanyalah kalian kepada orang ini’.” (Siyar A’lam An-Nubala’, Adz-Dzahabi, 10/17)
Yunus bin Abdil A’la berkata: “Dahulu aku duduk bersama para ahli tafsir dan berdialog dengan mereka. Lalu jika Al-Imam Asy-Syafi’i mulai menafsirkan, seakan-akan beliau menyaksikan ayat itu diturunkan.” (Tarikh Madinah Dimasyq, 51/362)
Abu Hassan Az-Ziyadi berkata: “Aku dahulu bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang beberapa makna dalam Al-Qur’an. Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mampu dari beliau dalam menyebutkan makna-makna Al-Qur’an dan ungkapan yang disertai maknanya, serta menguatkannya dengan syair atau bahasa Arab.” (Tarikh Dimasyq, 51/362)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Dahulu nafas para ahli hadits ada di tangan Abu Hanifah hingga kami melihat Asy-Syafi’i. Beliau adalah manusia yang paling mengerti tentang Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau tidak merasa cukup dengan sedikit menuntut ilmu hadits.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/99)
Muhammad bin Fudhail Al-Bazzar menyampaikan dari ayahnya bahwa dia bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu tatkala melihat Al-Imam Ahmad duduk dengan seorang pemuda: “Wahai Abu Abdillah, engkau meninggalkan majelis Ibnu Uyainah, padahal dia memiliki riwayat Az-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Ziyad bin ‘Alaqah dan kalangan tabi’in lainnya, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui tentang (keutamaan) mereka?”
Jawab Al-Imam Ahmad: “Diam kamu. Jika engkau tertinggal mendapatkan hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi), engkau bisa mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Itu tidak membahayakan agamamu, tidak pula akal dan pemahamanmu. Namun jika engkau tertinggal oleh pemikiran pemuda ini, saya khawatir engkau tidak lagi menemukannya hingga hari kiamat! Aku tidak pernah melihat orang yang paling mengerti tentang Kitabullah dari pemuda Quraisy ini.”
Aku bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.” (Hilyatul Auliya’, 9/100)
Ini pula yang dikatakan oleh Al-Mubarrid: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Al-Imam Asy-Syafi’i, karena sesungguhnya beliau orang yang paling ahli dalam bidang syair, sastra, dan paling mengerti tentang Al-Qur’an.” (Tawali At-Ta’sis, Ibnu Hajar hal. 104)

Kedudukan Al-Qur’an menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman, petunjuk, dan pembimbing. Barangsiapa senantiasa menggali ilmunya maka dia akan memiliki kedudukan yang tinggi, sesuai kadar ilmu Al-Qur’an yang dimilikinya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya merupakan rahmat dan hujjah. Berilmu bagi orang yang mengetahuinya dan jahil bagi yang tidak mengetahuinya. Tidak berilmu orang yang jahil terhadapnya, dan tidak jahil orang yang mengilmuinya. Sedangkan manusia bertingkat-tingkat dalam keilmuan. Kedudukan mereka dalam ilmu sesuai tingkatan mereka dalam mengilmuinya (Al-Qur’an).” (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i hal. 19)
Beliau rahimahullahu juga menjelaskan bahwa kebahagiaan serta kemenangan hidup di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh dengan memahami hukum-hukum yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya. Beliau rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang menjangkau ilmu tentang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, baik secara nash maupun secara istinbath (mengambil kesimpulan dari suatu dalil), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepadanya untuk berkata serta mengamalkan apa yang telah diilmuinya, maka dia akan meraih kemenangan dalam agama dan dunianya. Akan hilang darinya berbagai keraguan. Cahaya hikmah akan senantiasa menerangi hatinya dan dia akan mendapatkan kepemimpinan di dalam agama.” (Ar-Risalah hal. 19)

Perbedaaan tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan tafsir kelompok Shufiyah
Sebagian orang menyangka bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sejalan dengan pemikiran Shufiyah. Hal ini disebabkan karena banyaknya ahli tasawwuf yang menisbahkan dirinya sebagai penganut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i serta mengikuti ajaran-ajaran beliau. Padahal tidak demikian keadaannya. Bahkan prinsip-prinsip yang diajarkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu senantiasa sejalan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah secara umum. Khususnya dalam bidang ilmu tafsir, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sangat jauh dari berbagai prinsip Shufiyah dalam penafsiran Al-Qur’an.
Dalam ushul tafsir, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menegaskan bahwa dalam memahami Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat-Nya dengan beberapa cara:
– Ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan secara nash, seperti beberapa perkara wajib, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan mengharamkan atas mereka perbuatan keji, yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan zina, minum khamr, memakan bangkai, darah, dan daging babi, serta menjelaskan kepada mereka kewajiban berwudhu dan yang lainnya.
– Ada pula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kewajiban sesuatu melalui kitab-Nya dan menjelaskan caranya melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bilangan shalat, zakat, dan waktu-waktunya, serta yang lainnya.
– Apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa sesuatu yang tidak disebutkan nash-nya dalam Al-Qur’an, di mana Allah l telah mewajibkan dalam kitab-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapkan hukumnya. Maka barangsiapa yang menerima hukum dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia menerima ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– Adapula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam menemukan jawabannya dan menguji ketaatan hamba tersebut dengan berijtihad, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas mereka. (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 21-22)
Prinsip-prinsip yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ini sangat bertentangan dengan apa yang menjadi prinsip kaum Shufiyah. Di kalangan Shufiyah, ilmu tidak diambil dengan cara mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena mereka menganggap bahwa mengambil ilmu secara langsung dari keduanya adalah kekeliruan. Seperti apa yang diucapkan oleh Abul Fadhl Al-Ahmadi: “Jangan kalian memastikan kebenaran dari apa yang kalian ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah, meskipun secara hakiki itu adalah kebenaran.” (Al-Mashadir Al-’Ammah lit Talaqqi ‘inda Ash-Shufiyah, karya Shadiq Salim, hal. 186)
Namun salah satu cara mereka dalam mengambil ilmu adalah dengan kasyaf shufi. Yaitu kemampuan untuk dapat melihat berbagai hal dengan cara menembus alam ghaib, sehingga seakan-akan dia melihatnya dengan mata kepalanya. Ilmu kasyaf ini –menurut mereka– jauh lebih afdhal dari sekadar mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Ghazali menukil dari Al-Junaid bahwa dia berkata: “Aku lebih suka bagi seorang murid pemula untuk tidak menyibukkan hatinya dengan tiga hal: mencari nafkah, menuntut ilmu hadits, dan menikah. Aku lebih suka bagi seorang shufi untuk tidak menulis dan membaca, karena cara itu lebih fokus untuk mencapai harapannya.” (Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali, 4/239)
Ad-Darani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits, atau menikah, atau mencari nafkah, maka sungguh dia telah condong kepada dunia.” (Ihya’ Ulumiddin, 1/61)
Oleh karenanya, di kalangan Shufiyah, orang yang paling bodoh sekalipun bisa menjadi seorang syaikh yang dihormati. Asy-Sya’rani tatkala menyebut salah seorang gurunya berkata: “Di antara mereka adalah syaikh dan ustadz saya: Sidi Ali Al-Khawwash Al-Baralsi –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai dan merahmatinya–, beliau adalah seorang yang ummi, tidak bisa menulis dan membaca. Dia berbicara tentang makna-makna Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah yang mulia, dengan perkataan yang sangat berharga yang membuat para ulama tercengang1….” (Thabaqat Asy-Sya’rani, 2/150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 184)
Subhanallah! Kaum Shufiyah berusaha memalingkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Padahal seorang muslim tidak mungkin dapat memahami agamanya kecuali dengan cara belajar dan mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَالْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطه وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَ يُوقه
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar dan kesabaran diperoleh dengan belajar sabar. Barangsiapa yang mencari kebaikan maka ia akan diberi dan barangsiapa yang menjaga diri dari kejahatan maka ia akan dipelihara.” (HR. Al-Khathib dalam Tarikh-nya 9/127, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, karya Al-Albani, 1/342)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
لَقَدْ ضَلَّ مَنْ تَرَكَ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِقَوْلِ مَنْ بَعَدَهُ
“Sungguh telah sesat orang yang meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ucapan orang setelahnya.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih, Al-Khathib Al-Baghdadi, 1/386)
Perbedaan yang sangat mencolok antara Al-Imam Asy-Syafi’i dengan kaum Shufiyah inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaum Shufiyah dalam menafsirkan ayat tidak bersandar kepada kaidah-kaidah yang diterapkan para ulama dalam menafsirkan, juga tidak bersandar kepada kaidah-kaidah ilmu musthalah hadits. Mereka selalu bersandar kepada apa yang disebut dengan ilmu kasyaf tersebut, ilmu ladunni2, mimpi-mimpi, atau perasaan, yang dengannya mereka mengaku –padahal mereka para pendusta– bahwa mereka mendapatkan penafsiran langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.
Asy-Sya’rani berkata tentang salah seorang syaikh sufi asal Mesir yang bernama Ahmad Az-Zawawi: “Dia (Az-Zawawi) pernah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya cara kami adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau duduk bersama kami dalam keadaan sadar (bukan mimpi). Kami menemaninya sama seperti para sahabat. Kami juga bertanya kepadanya tentang urusan agama kami dan bertanya tentang hadits-hadits yang dilemahkan oleh para hafizh. Lalu kami mengamalkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya’.” (Lawaqih Al-Anwar Al-Qudsiyyah, lembaran 157, Al-Mashadir Al-’Ammah, hal. 236)
Dengan pengakuan dusta bahwa mereka dapat bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar, mereka pun menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan cara “mendengar langsung” dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Al-Ibriz bahwa Al-Lamthi bertanya kepada syaikhnya yang bernama Ad-Dabbagh tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Maka Ad-Dabbagh menjawab: “Aku tidak menafsirkan ayat ini kepada kalian kecuali dengan apa yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemarin beliau menyebutkan tafsirnya kepada kami …. –lalu ia menyebutkan tafsirannya.” (Al-Ibriz hal. 150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 237)
Demikian pula Ash-Shayadi mengaku bahwa dia telah dibaiat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa membaca surah Al-Ikhlas jika masuk rumah. (Bawariqul Haqa’iq, hal. 307, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 238)
Ash-Shayadi Ar-Rifa’i juga mengaku bahwa Khadhir menafsirkan kepadanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (Yasin: 68)
Khadhir berkata kepadanya: “Penafsiran ayat ini adalah, barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya dan Kami tinggikan kedudukannya di sisi Kami, Kami jadikan dia di kalangan makhluk terbalik (amalannya).” (Bawariqul Haqaiq, hal. 147)
Adapun dalam periwayatan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, As-Sahrawardi mengaku dalam kitabnya As-Sirr Al-Maktum bahwa Khadhir telah memberitakan kepadanya 300 hadits yang dia dengar secara langsung dari lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyful Khudr, lembaran 8, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 261)
Dari sebagian kecil apa yang telah kami paparkan ini, nampaklah bahwa Thariqat Shufiyah memiliki ajaran-ajaran yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah diajarkan oleh para ulamanya, termasuk di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Oleh karenanya, penisbahan sebagian kaum Shufi kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, baik dalam masalah fiqih maupun akidah, adalah penisbahan yang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sendiri berlepas diri dari mereka.
Wallahul muwaffiq.

1 Seperti itu pula sufi masa kini (Jamaah Tabligh), ed.
2 Setali tiga uang dengan ilmu kasyaf, yakni “ilmu” yang didapat “langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala” tanpa proses belajar. Menurut keyakinan sufi, “ilmu” ini tertanam dalam hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan), inspirasi, dan sejenisnya. Dengan mujahadah, “pembersihan dan pensucian hati” melalui amalan atau zikir tertentu akan terpancar “nur” dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia alam ghaib. Diyakini, mereka bahkan bisa “berkomunikasi langsung” dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasul, dan ruh-ruh lainnya, termasuk Nabi Khidhir. Menurut kibulan orang-orang sufi, ilmu laduni hanya bisa diraih oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat (pengikut sufi menyebutnya dengan wali, habib, gus, dan sejenisnya), meski lahiriahnya mereka adalah orang-orang yang justru menyelisihi syariat. Berkedok ilmu laduni ini, orang-orang sufi, selain melakukan pembodohan terhadap umat, juga berupaya menjauhkan umat untuk mempelajari ilmu naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah), bahkan berujung dengan menafikannya.

Sufi Menyelisihi Akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu


Al-Ustadz Abu Abdillah Abburrahman Mubarak

Satu kebohongan jika mereka mengklaim sebagai pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah Imam Ahlus Sunnah yang teguh dan kokoh di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Penulis Mukhalafatus Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidaklah mengambil dari beliau kecuali dalam perkara fiqih dan ibadah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Namun mereka tidak mengikuti jalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.” (Mukhalafatush Shufiyah hal. 19)
Kami akan sebutkan beberapa penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.

Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah rububiyah
Banyak sekali keyakinan shufiyah dalam masalah rububiyah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menyimpang dari pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Di antaranya:
1. Shufiyah mengaku wali mereka tahu ilmu ghaib
Ilmu ghaib adalah perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ؛ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ إِلاَّ اللهُ، وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا تَكْسِبُ غَدًا وَلَا تَدْرِي بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْـمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ الله،ُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ
“Lima kunci perkara ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah, tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang akan diperbuatnya esok hari dan tidak pula tahu di mana jiwa itu akan mati kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari hal. 4697)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Telah ditutup ilmu tentang kapan hari kiamat dari Nabi-Nya. Sedangkan selain malaikat yang didekatkan dan nabi-nabi yang terpilih, ilmunya lebih sedikit dari mereka ….” (Al-Umm) [Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 96-100]

2. Shufiyah meyakini wali-wali mereka bisa mencipta dan mengatur alam
Penciptaan adalah khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Namun Jufri Al-Khadrami, seorang tokoh ekstrem shufi saat ini, menyatakan bahwa seorang wali punya kemampuan menciptakan anak di rahim seorang ibu tanpa ada bapak. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Bahkan dia berani menyatakan bahwa wali-walinya punya kemampuan menghilangkan musibah orang yang ber-istighatsah (meminta tolong dihilangkan musibah) kepadanya. Dengan lancang ia bahkan berkata: “Pengaturan yang dilakukan wali bahkan sampai di surga dan neraka.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 32-33)

Penyelisihan shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shufiyah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah:
1. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menetapkan semua sifat yang terdapat dalam nash/dalil
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan keadaan Dajjal:
إِنَّهُ أَعْوَرُ وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, dan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang terbunuh di medan perang, dia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa kepadanya.1
Bagaimana dengan shufiyah?
Shufiyah telah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i dan salafus shalih. Mereka melakukan tahrif (penyelewengan makna) dan takwil. Mereka tidaklah menetapkan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali tujuh saja. (Mukhalafatush Shufiyah hal. 37-38 secara ringkas)

Shufiyah mengingkari Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas
Di antara keyakinan Ahlus Sunah wal Jamaah adalah meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas arsy-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia naik di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, ketika dia hendak membebaskan budaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan: “Di mana Allah?” Hamba sahaya tadi menjawab: “Allah di atas.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi berkata: “Engkau utusan Allah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bebaskanlah, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:
Ibnul Qayim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan sanadnya bahwa beliau rahimahullahu berkata, “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam zhihar2. Beliau rahimahullahu berkata: “Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya punya seorang budak perempuan yang menggembala kambing. Ketika saya mendatanginya, ternyata seekor kambing telah hilang. Ketika saya bertanya kepadanya, dia menjawab bahwa kambing itu dimakan serigala. Saya pun marah kepadanya. Saya adalah seorang bani Adam (yang bisa berbuat khilaf, red.) sehingga saya menempeleng wajahnya. Saya punya kewajiban membebaskan budak. Apakah saya boleh membebaskannya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada budak tersebut: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi menjawab: “Engkau Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata: “Bebaskanlah dia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Nama sahabat tadi (sebenarnya) Mu’awiyah bin Al-Hakam (bukan Umar bin Al-Hakam sebagaimana dalam riwayat, red.), demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.”
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin. Beliau rahimahullahu menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas sebagai tanda keimanan.
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini dan juga meninggalkan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Sebagian mereka menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana-mana. Sebagian mereka bahkan ada yang mengingkari pertanyaan: di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk yang terbaik, telah menguji keimanan seorang hamba sahaya dengan pertanyaan semacam ini. (Lihat pembahasan lebih detail pada Mukhalafatush Shufiyah hal. 41-53)

Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah Uluhiyah

1. Shufiyah menyeru kepada kesyirikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnul Qayyim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan sanadnya, beliau berkata: “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya, dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya, adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya.Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata: “Orang-orang shufiyah berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa kepada nabi. Juga kepada wali mereka yang masih hidup ataupun yang telah mati. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hilangkanlah musibah yang menimpa kami. Tolonglah kami. Engkaulah tempat menyandarkan diri.’ Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang berdoa kepada selain-Nya dan menganggapnya sebagai sebuah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus:106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Doa adalah ibadah seperti halnya shalat. Tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun kepada rasul atau wali. Berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik besar yang menggugurkan amal dan mengekalkan pelakunya di neraka. (Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah)

2. Shufiyah mengajarkan sihir
Sihir adalah satu perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan kepadanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang yang tujuh, yakni meyakini bahwa bintang-bintang bisa berbuat apa yang dimintai darinya, maka dia kafir. Jika cara itu menyebabkan kafir dan dia meyakini kebolehan melakukannya, maka kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka bukan hanya pelaku, bahkan sumber dan penyebar sihir di umat ini. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menyebutkan di antara sebab-sebab tersebarnya sihir adalah:
1. Menyebarnya kebodohan
2. Permusuhan di antara kaum muslimin dan selain mereka
3. Berkuasanya orang-orang kafir atas kaum muslimin
4. Menyebarnya kelompok sesat dan merusak.

Beliau juga menegaskan, shufiyah termasuk sumber sihir. Beliau terangkan bahwa sumber sihir di alam ini adalah:
1. Yahudi
2. Rafidhah dan Batiniyah
3. Shufiyah
4. Ahlul Kalam (Filsafat)
5. Buku-buku yang ditulis tentang masalah sihir
Di antara bukti yang menunjukkan shufiyah adalah orang-orang yang banyak andil dalam penyebaran sihir, adalah buku-buku sihir yang ditulis oleh tokoh-tokoh shufiyah. Di antaranya:
1. Buku Syamsul Ma’arif Al-Kubra
Penulisnya adalah Ahmad Al-Buni. Di akhir bukunya, dia menerangkan sanad-sanad ilmu sihirnya yang dinisbatkan kepada banyak tokoh shufi ekstrem.
2. Buku Rahmah fi Thibb wal Hikmah
Penulis buku ini, Mahdi bin Ibrahim Ash-Shabiri, adalah seorang tokoh shufi ekstrem.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Di antara khurafat yang paling hina dalam buku ini adalah yang disebutkan penulisnya dalam judul masalah obat kebutaan: diambil darah haid wanita yang belum pernah didatangi pria (masih gadis, red.), lalu dicampur dengan mani, digunakan sebagai celak mata, ini akan menghilangkan gangguan pada mata.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Al-Imam berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini kecuali orang yang dungu dan hilang akalnya.”
Asy-Syaikh juga berkata: “Buku-buku shufi ekstrem dipenuhi sihir dan tanjim (astrologi, red.).” (Lihat Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati Alamatis Sihri hal. 54-67)

3. Shufiyah membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلٌ الصَّالِحٌ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu jika mati dari mereka seorang yang shalih, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Bagaimana dengan shufiyah?!
Tidak samar lagi, kaum shufiyah adalah orang-orang yang paling getol membangun dan menyeru untuk membangun kuburan. Membangun kubah-kubah di atas kuburan, terutama kuburan orang yang mereka anggap sebagai wali.

1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 2826) dan Muslim (no. 1890) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2 Zhihar yaitu menyerupakan istri dengan ibu kandung, seperti ucapan: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”

sumber  :www.asy-syari`ah.or.id.

Inilah Kelakuan Orang NU


(Menggunting dalam Lipatan?)

NU menandatangani kerjasama dengan Batak Kristen, dengan klaim akan menangani masalah social baik di masjid maupun gereja.

Tampaknya ketua umum NU (Nahdlatul Ulama), Said Aqil Siradj (SAS) belum kenyang jadi Penasehat PMKRI (Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia) (1999-sekarang), maka kini merambah ke penandatanganan kerjasama dengan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Padahal Ummat Islam di berbagai tempat mengalami gegeran (konflik) dengan HKBP. Bahkan Allah Ta’ala jelas melarang, dengan firmanNya, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman-teman setia (mu); sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin (teman setia), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (Al-Maidah: 51)

Kelakuan orang NU yang tidak menggubris kenyataan dan larangan Allah Ta’ala itu ditandai dengan tanda tangan resmi.

Inilah beritanya:

PBNU Jalin Kerjasama dengan HKBP, Meski di Daerah HKBP Rawan Konflik

JAKARTA (voa-islam.com) – Di tengah maraknya konflik jemaat HKBP dengan umat di berbagai daerah terkait pendirian gereja, PBNU justru menjalin kerjasama  dengan HKBP. Kerjasama di bidang training kepemimpinan dan advokasi kemiskinan ini dilakukan dalam rangka saling mengenal antara PBNU dan HKBP.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menandatangani perjanjian kerjasama dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), di Jakarta, Senin (18/10/2010). Kerjasama yang ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan Ephorus Bonar Napitupulu, pucuk pimpinan HKBP ini diklaim sebagai usaha saling mengenal dan berkomunikasi yang lebih baik di antara dua pihak

“Kita akan bekerjasama dalam menangani persoalan sosial, antara lain bagaimana kita mengadakan training leadaership, mengadvokasi kemiskinan yang ada di sekeliling kita, meningkatkan ekonomi mereka yang disekeliling kita, di masjid maupun gereja, karena rata-rata mayoritas kan NU,” kata Marsudi Syuhud, ketua PBNU yang terlibat dalam perjanjian ini.

….Kita akan bekerjasama dalam menangani persoalan sosial, di masjid maupun gereja. Ini muamalah sosial bagaimana kita bisa saling mengerti satu sama lain dan berdamai, kata Marsudi Syuhud, ketua PBNU….

Ia menegaskan, kerjasama ini sama sekali tak ada kaitannya dengan kasus perselisihan gereja HKBP dengan masyarakat di Bekasi beberapa waktu lalu.

Marsudi mengatakan persoalan yang muncul di Bekasi sebenarnya persoalan kecil karena muncul karena antar persoalan pribadi tidak saling kenal. Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya membawa adatnya masing-masing dan tidak mempedulikan yang lain.

Ia menjelaskan, kerjasama ini tidak ada menyangkut masalah akidah di antara kedua agama. “Kita tak saling menyinggung masalah akidah, ini muamalah sosial bagaimana kita bisa saling mengerti satu sama lain dan berdamai,” terangnya.

HKBP rawan konflik dengan umat Islam di berbagai daerah

Diberitakan voa-islam sebelumnya, di berbagai daerah jemaat HKBP kerap menuai konflik dengan umat Islam soal pendirian gereja, misalnya HKBP Philadelpia Jejalen Jaya Kabupaten Bekasi, HKBP Cinere Depok, dan terakhir HKBP Pondok Timur Kota Bekasi, Jawa Barat.

Konflik yang paling panas adalah kasus HKBP Pondok Timur yang melahirkan insiden Ciketing 12 September 2010 dengan tertusuknya jemaat HKBP Hasian Sihombing dan beberapa korban luka warga Muslim.

Momen kekisruhan tersebut justru dimanfaatkan HKBP untuk mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Padahal konflik HKBP di Ciketing bukan karena kesalahan PBM, tapi dipicu oleh manipulasi tanda tangan warga dalam proses perizinan legalisasi pembangunan gereja di lahan kosong kampung Ciketing Asem (Cikeas) Mustikajaya.

….konflik HKBP di Ciketing dipicu oleh manipulasi tanda tangan warga dalam proses perizinan legalisasi pembangunan gereja di lahan kosong kampung Ciketing Asem (Cikeas) Mustikajaya….

Contohnya, dalam surat pernyataan persetujuan warga terdapat tanda tangan Banah binti Bandul. Dalam KTP bernomor 3275.1153016.00001, nenek yang tinggal di Ciketing Asem RT 5/RW 6 ini tidak bisa membuat tanda tangan, sehingga ia hanya membubuhkan cap jempol. Anehnya, dalam surat pernyataan persetujuan warga tercantum tanda tangan nenek Banah. Setelah diselidiki oleh Forum Umat Islam Mustika Jaya (FUIM), ternyata tanda tangan dalam surat pernyataan tersebut dipalsukan.

Tanda tangan Siti Jubaidah, warga Mustika Jaya RT 03/RW 06 pun tidak beres. Tanda tangan dalam surat pernyataan persetujuan gereja jauh melenceng dari tanda tangan asli dalam KTP bernomor 10.5501.631274.1002.

Warga Muslim lainnya yang tanda tangan KTP-nya berbeda dengan surat pernyataan persetujuan gereja HKBP, antara lain: Pak Milih (54 tahun), Sinan (35 tahun), Arief (28 tahun), Niden (38 tahun), Sarwono (34 tahun), Manih (47 tahun), Kumin (60 tahun), Karsin (45 tahun), Didin (31 tahun), Nurjayadi (47 tahun), dll.

Buntut dari manipulasi dalam proses pendirian gereja HKBP tersebut, Nicing (Ketua RT 03/RW 06) dan Rimin Sairi (Ketua RW 06) kelurahan Mustika Jaya Bekasi membuat pernyataan tertulis, bahwa dalam berkas-berkas permohonan perizinan gereja HKBP itu terdapat pemalsuan data identitas dan pemalsuan tanda tangan warga. Dalam surat berstempel RT dan RW tertanggal 1 Agustus 2010 itu dilampirkan surat pernyataan ratusan warga Mustika Jaya yang menolak berdirinya gereja HKBP dengan latar belakang pemalsuan data dan penyuapan. Uang suap yang dikucurkan HKBP untuk satu buah foto copy KTP berkisar dari Rp 100.000 hingga 1 juta rupiah.

Demi mendapatkan izin gereja sesuai aturan PBM, dilakukanlah transaksi suap-menyuap, lalu memalsukan identitas dan tanda tangan warga. Setelah terbongkar kedoknya, warga pun mencabut pernyataan persetujuan, hingga kandaslah izin gereja. Setelah gagal mendapat izin sesuai peraturan PBM, kini HKBP menuntut pencabutan PBM. [taz/nuo]

Sumber: Voaislam, Senin, 18 Oct 2010

Tidak menggubris kenyataan dan larangan Allah Ta’ala

Lakon orang NU itu sama sekali tidak pantas ditiru. Bahkan sama sekali tidak melek terhadap kenyataan, apalagi prihatin terhadap nasib Ummat Islam. Kalau sedikit mau melihat kenyataan, maka coba baca artikel ini:

Batak Kristen dan Konflik Horizontal

October 5, 2010 11:13 pm admin Artikel, Kata Hikmah

Batak Kristen dan Konflik Horizontal

KASUS tertusuknya Pendeta Luspida Simanjuntak dan penatua Hasian Sihombing dari HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pada 12 September 2010 lalu, adalah salah satu peristiwa bernama konflik horizontal yang berkaitan dengan etnis Batak Kristen. Luspida Simanjuntak dan Hasian Sihombing adalah pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, Jawa Barat.

Belasan tahun sebelumnya, pada konflik Poso yang sudah berlangsung sejak 25 Desember 1998, mencuat beberapa nama pemuka agama Batak Kristen dan tokoh Batak Kristen bernama Pendeta Renaldy Damanik dan Janis Simangunsong yang memprovokasi Tibo dan kawan-kawan untuk melakukan pembantaian di Pesantren Walisongo (28 Mei 2000). Tibo dan kawan-kawan akhirnya dihukum mati pada tanggal 22 September 2006, sedangkan tokoh-tokoh penting di belakangnya hingga kini tak tersentuh.

Keterkaitan etnis Batak Kristen di dalam konflik horizontal, memang tidak selalu berujung pada tragedi berdarah. Ada kalanya masih berupa potensi yang tentu saja mengkhawatirkan, seperti melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dilakukan salah seorang etnis Batak Kristen dengan menerbitkan komik digital.

Sekitar pertengahan November 2008, di situs http://www.lapotuak.wordpress.com sempat tayang komik berbahasa Indonesia dengan judul Muhammad dan Zainab serta Kartun Sex Muhammad dengan Budak. Komik penghinaan itu sudah tayang sejak 12 November 2008, namun baru membuat heboh sekitar sepekan kemudian.

Pada komik itu Nabi Muhamad SAW digambarkan sebagai laki-laki brewokan. Sedangkan Zainab dan Mariah ditampilkan dengan pakaian yang menggoda bahkan ada yang telanjang. Tidak sekedar memvisualisasikan sosok, komik itu juga mengkutip beberapa ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits, namun dengan penafsiran versinya sendiri yang tentu saja sangat menyesatkan.

Dari nama blog dan sejumlah tulisan yang pernah ditayangkan blog tersebut, sudah bisa diduga bahwa blog itu dibuat oleh etnis Batak, khususnya Batak Karo beragama Kristen yang sudah terpengaruh Yudaisme (Yahudi). Kesan ini semakin kuat setelah membaca artikel berjudul Batak Toba, Keturunan Israel Yang Hilang yang ditayangkan sejak 11 Januari 2008.

Secara keseluruhan, isi situs yang sudah eksis sejak 05 Desember 2007 itu memang melecehkan agama Islam dan Nabi Muhammad SAW, seraya memposisikan agama Islam sebagai agama yang tidak benar. Antara lain, sebagaimana bisa dibaca melalui tulisan berjudul Agama Benar vs Agama Tidak Benar yang tayang pada 28 April 2008.

Selengkapnya dapat dibaca di: http://www.nahimunkar.com/batak-kristen-dan-konflik-horizontal/#more-3483

Di samping itu, kalau mengaku sebagai orang beriman, maka mestinya sami’na wa atho’na kepada firman Allah Ta’ala yang telah jelas melarang. Inilah ayatnya:

] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ[

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman-teman setia (mu); sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (Al-Maidah: 51)

] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ[

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. “ (Al-Mumtahanah: 1)

Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya loyalitas kepada orang-orang mukmin dan memusuhi orang-orang kafir.

Apakah memang maunya berbalikan dengan aturan Allah Ta’ala? Atau cari kesempatan untuk menggunting dalam lipatan? Semoga saja tidak. Hanya masalahnya, apakah di NU sudah tidak ada lagi orang yang menegakkan perintah Allah Ta’ala?

أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ [هود/78]

Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS Hud: 78).

(nahimunkar.com)

BENARKAH Muhammad Alwi Al Maliki (SEORANG MUHADDITSUL HARAMAIN) ?


Pengagum Alwi Al Maliki memprotes :

...Untuk masalah ini silahkan
 ustadz baca kitab XXX oleh Muhadditsul Haramain Sayyid
 Muhammad Alwi
 Al Maliki, ana tunggu jawaban Ustadz Aunur Rofiq.


(0815 4803 0XXX )

Redaksi Al Furqon Menjawab :

…Kami tidak memiliki kitab yang disarankan tersebut. Sejauh ini kami belum mengetahui ada yang menggelari Muhammad Alwi Al Maliki dengan Muhadditsul Haramain kecuali orang-orang yang fanatik kepadanya atau semadzab. Simak perkataan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Arab Saudi terdahulu ketika memberi muqoddimah kitab hiwar ma’a Maliki fi Raddi Mungkaraatihi (Dialog dengan Al Maliki, Bantahan Kemungkaran dan kesesatannya) karya Syaikh Abdullah bin Mani’, anggota Kibar Ulama Saudi, kata beliau: “…saya telah mencermati kemungkaran-kemungkaran di kitab karangan Muhammad Alwi maliki dan dalam muqodimah kitabnya yang tercela yang dinamakan Ad Dzakho’ir Al Muhammadiyyah. Dalam buku itu dia menisbatkan sifat-sifat ilahiyyah kepada Rasulullah, semisal: “Rasulullah memegang kunci-kunci langit dan bumi, beliau berhak membagi tanah di surga, mengetahui perkara ghaib, ruh, dan lima perkara yang hanya diketahui Allah, makhluk diciptakan karena beliau, malam kelahirannya lebih agung ketimbang lailatul qadar, dan tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali karena beliau”. Contohnya dia mengakui qosidah-qosidah yang dia nukil dari kitab Ad Dzakho’ir yang berisi istighotsah dan meminta perlindungan kepada nabi, sebab beliau adalah tempat berlindung ketika terjadi musibah. Karena kemana lagi berlindung kalau bukan kepadanya, dan masih banyak lagi…Dan sungguh menggelisahkan saya munculnya kemungkaran yang jelek ini, bahkan sebagiannya jelas-jelas bentuk kekufuran nyata dari Muhammad Alwi Al Maliki.

Sebagaimana banyak ulama merasa sesak dengan banyaknya kesesatan dan kesyirikan yang dia tulis dibukunya, terutama Lembaga Ulama-Ulama Besar. Oleh karena itu Lembaga tersebut menerbitkan keputusan no. 86 tgl 11/11/1401 H, berupa pengingkaran kepada dakwah Al Maliki yang mengajak kepada syirik, bid’ah, kemungkaran, kesesatan dan menjauhkan dari petunjuk salaf umat ini berupa akidah yang selamat dan peribadatan yang benar kepada allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya”.(lihat Muqoddimah kitab Syaikh Abdullah bin Mani’ ini).

Al Maliki juga menulis juga menulis kitab lain yaitu Mafahim Labudda An Tushohhah (Namun patut disayangkan kitab ini telah telah diterjemahkan oleh penerbit berinisial PZZ,dengan judul yang kami singkat PYHD, Namun Al Alhamdulillah Majalah Al Furqon edisi 8/tahun III/Rabiul Awwal 1425 hal 19 telah memberikan bantahan singkatnya yang diterjemahkan dari kitab Syaikh Shalih bin Abdul Azis Alu Syaikh ). Kitab ini tidak jauh beda dengan kitab yang pertama tadi. Oleh karena itu dibantah oleh Syaikh Shalih bin Abdul Azis alu Syaikh ( MenAg Saudi Arabia sekarang ) dalam kitab Hadzihi Mafahimuna. Dalam kitab tersebut Syaikh Shalih membongkar kedok Al Maliki yang katanya ahli hadits itu. Ternyata dia bukan ahli hadits. Dengan indikasi ini, kami yakin kitab yang disarankan untuk dibaca isinya kurang lebih sama. Maka silahkan membaca dua kitab tersebut agar memahami kebenaran yang sesungguhnya. Semoga Allah menunjuki kita semua ke jalan kebenaran. (Majalah Al Furqon Gresik, Edisi 5 Thn. III hal. 2, dengan judul asli “Tuduhan tak Berdasar” ).

:: KESIMPULAN :::

Kitab penuh penyimpangan aqidah karya Muhammad alwi al maliki :

1.Ad Dzakho’ir Al Muhammadiyyah
2.Mafahim Labudda An Tushohhah

Kitab bantahan atas kesesatan Muhammad alwi al maliki

1. Hiwar ma’a Maliki fi Raddi Mungkaraatihi wa Dholalatihi
( Membantah kitab Ad Dzakho’ir…)
Karya Syaikh Abdullah al mani’
Anggota Kibar Ulama Saudi
2. Hadzihi Mafahimuna
(Membantah kitab Mafahim Labudda …)
Karya Syaikh Shalih bin Abdul Azis Alu Syaikh
Menag Arab Saudi sekarang

Mengenal lebih dekat dengan “Syaikh”nya Nahdatul Ulama

Pertanyaan : “Didaerah Jawa Timur banyak saudara-saudara yang kita
belajar di pondok pesantren salafiyyah (Ustadz Ali Saman berkomentar:
Masya Allah…Salafiyyah NU, Nahdatul Ulama ?!?!?! ) sangat
mengagungkan sosok Kyai Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, Siapakah
sosok syaikh tersebut ? Apakah benar dia seorang Muhaddits Ahlus
Sunnah? Apakah sekarang masih hidup ? Apakah sumbangsih Syaikh
Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki terhadap perkembangan dakwah
salafiyyah di Saudi pada umumnya dan para alumninya di Indonesia
pada khususnya ?

Ustadz Ali Saman menjawab :
Ikhwanifillah A’azakumullah…saya kemaren membaca di majalah Al
Furqon ( Al Furqon Gresik, Edisi 5 Thn. III hal. 2) perdebatan
antara Ustadz Aunur Rofiq dengan salah satu pengagum Syaikh Muhammad
Alwi Al Maliki, pengagum Alwi Al Maliki tersebut mengatakan bahwa
syaikhnya adalah Muhadditsul Ahlus Sunnah. Syaikh Muhammad Alwi Al
Maliki duhulunya adalah pernah ngajar di haram (tanah suci), dan
orang salafy. Kemudian setelah itu banyak penyimpangan-penyimpangan.
Salah satunya buku yang menunjukkan penyimpangannya adalah dia
menulis buku yang berisi pengkultusan Nabi Shalllallahu ‘Alaihi
Wassalam dan mengarang tentang sunnahnya maulid nabi
Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam.

Kemudian habis itu, ia dikeluarkan atau dipecat dari mengajar di
halaqah di masjidil haram oleh kepemimpinan tinggi masjid al
haramain. Bahkan terjadilah hiwar (debat/dialog) yang sangat kuat
sekali antara syaikh Sulaiman Ibnu Mani’ (Anggota Kibar Ulama
Saudi) dengan Syaikh alwi almaliki di Mekkah, dan hiwar/dialog itu
direkomendasikan oleh Syaikh AbdulAzis bin Baz ( Mufti Kerajaan Arab
Saudi waktu itu ) dan terbitlah bukunya dan sudah
diterjemahkan “Dialog dengan Alwi Al Maliki”,

Silahkan baca bukunya…..Syaikh Sulaiman Ibnu Mani’ membantah dengan
nash Al Quran, Sunnah Nabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akal
terhadap pendapat alwi al maliki yang membolehkan Maulid Nabi.

Ikhwanifillah A’azakumullah….Syaikh Alwi Al Maliki sebenarnya
memiliki manhaj yang baik sebelum ia dikeluarkan dari mengajar di
masjidil haram.

TETAPI sekarang manhajnya sudah rusak, akidahnya sudah rusak, dan
banyak disana ia menghalalkan tawassul yang diharamkan oleh Allah
dan RasulNya, bahkan mengagungkan Rasulullah sampai-sampai
menjadikan Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam seolah-olah
sebagai ilah atau sebagai Tuhan, dan hal ini adalah sumber dari
kesesatan agama Syi’ah, yang mereka mengagungkan Rasulullah
Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam melebihi derajat yang Allah turunkan
kepada dia (Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam). Syaikh Alwi
Al Maliki setelah disuruh taubat oleh para ulama disana ( Saudi
maksudnya ). Ia tidak mau taubat dari perbuatan dosanya, Akhirnya
pemerintah setempat memutuskan menghukum Syaikh Sayyid Alwi AlMaliki
sebagai tahanan rumah. Dan menurut cerita teman saya, suatu ketika
ia pernah nekad untuk keluar untuk sholat ied di masjidil haram,dan
ketika keluar dari masjidil haram dan para syabab tahu bahwa orang
tersebut adalah syaikh yang memiliki dan mendakwahkan aqidah tauhid
yang rusak, akhirnya para syabab langsung mengerubungi dia untuk
berusaha memukulinya, akhirnya mulai saat itu, pemerintah setempat
melarang ia dari sholat id (ditempat umum). Syaikh alwi al maliki
menyebarkan kesesatan ajarannya melalui pembangunan ma’had
diberbagai tempat dengan nama ma’had “Ar ribath”, dia membungkus
kesesatan ajarannya dengan slogan ajaran cinta kepada ahlul bait
(allawiyyin) , yang sebenarnya adalah mencela kepada ahlul bait itu
sendiri !!!. Ma’had Ar ribath di Mekkah didirikan oleh dia di tempat
yang sangat tersembunyi sekali, “laa ya’rifuha illa ahluha” / “tidak
ada orang yang tahu kecuali orang – orang yang menginduk kepada
ma’had ini”. Sampai saya sendiri pernah mencoba mencari tahu ma’had
ar ribath kayak apa ???, tapi tidak ketemu…karena mereka tahu
bahwa saya dari jam’iyyah islamiyyah dari penampilan saya. Di
Maroko dan Madinah didirikan ma’had ar ribath juga.

Santrinya memiliki ciri khas yang sangat unik sekali diantaranya
memakai gamis seperti yang saya pakai TETAPI gamis mereka nyapu
masjid/lantai (isbal maksudnya ) dan memakai selendang hijau (coba
antum teliti, penampilan kyai-kyai NU…niscaya antum akan tahu
dengan siapa dia belajar). Sampai-sampai ketika mereka keluar masuk
di perkemahan dan hotel-hotel jama’ah haji mereka mengatakan “Kita
ini dari Islamic University menawarkan kambing kurban 200 riyal ?”
padahal kambing yang kita beli itu harganya 350 riyal. “Sisanya dari
mana ? “Sisanya ? Wallahu a’lam bish showab”, Mengapa mereka berani
menjual kambing dengan 200 riyal ?, karena mereka menyembelih
kambing sebelum hari id dengan dalil bahwa (kata mereka) madzab
Syafi’iyyah membolehkannya. Padahal tidak ada madzab syafi’i yang
membolehkannya !!!. Kemudian habis itu ya ikhwan…ciri-cirinya
mereka itu, Masya Allah…kelihatannya mereka iltizam kepada sunnah,
padahal mereka itu menindas-nindas dan menguburkan sunnah itu
sendiri. Sunnahnya bagaimana? Sunnah yang mereka sering tampakkan
adalah hadits yang berbunyi (yang artinya) “Sholat menggunakan siwak
itu pahalanya lebih dari 70 kali sholat”, padahal hadits ini adalah
hadits yang dho’if !!! Kalaupun seandainya hadits ini adalah hadits
yang shohih, maka derajatnya hasanun lighoirihi. Ketika mau sholat,
mereka langsung ambil siwak, meskipun imam sudah takbir, mereka
tetap sibuk siwak-an, padahal Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
Wassalam mengatakan “fa idzaa kabbara fakkabaruu..”Apabila ia (imam)
bertakbir, bertakbirlah kalian..”. ngga’ usah pakai ushalli…ngga’
usah pakai siwak. Adapun mengenai murid-muridnya …Murid-muridnya
banyak sekali bertebaran di Indonesia, bahkan sekarang ini banyak
dan lebih banyak lagi, mereka membuat jam’iyyah lanjutan setelah
Ma’had Ar Ribath…yaitu Jam’iyyah Al Ahqaf. Apel siaganya tiap pagi
adalah…keliling kuburan syaikh mereka. Oleh karena tidak pantas
mereka menisbatkan pesantrennya kepada salafiyyah, karena salafiyyah
adalah ..salafy adalah ashhabunnabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam wa
ashhabul kiram, itu yang kita nama salafiyah.dan kita tidak menyebut
pesantren mereka dengan pesantren salafiyyah !!! Salafiyyah yang
mereka (murid Alwi Al Maliki di Indonesia dan Nahdatul ‘Ulama)
maksudkan adalah pesantren tradisional, ngajinya pake kitab kuning,
mandinya dengan 2 qullah meskipun sudah kotor/butek/keruh airnya
sampai-sampai membuat kulit gatal. ( maksudnya orang –
orang “salafiyyah” NU mengganggap bahwa air yang telah mencapai 2
qullah tidak dapat ternajisi oleh apapun…padahal pemahaman yang
benar tidaklah demikian, baca keterangan Ustadz. Abdulhakim bin Amir
Abdat mengenai hadits masalah ini pada AsSunnah edisi 06/tahun
VII/1424 H/2003 M hal. 11 )

Nah oleh sebab itu, Ikhwanifillah A’azzakumullah….dikatakan pula
Syaikh Alwi Al Maliki ini memiliki ziarah (kunjungan) ke Indonesia
setiap satu tahun sekali, ziarahnya langsung ke Jawa Timur, ke
tempat para fans nya ( maksudnya bekas muridnya ), Saya orang jawa
timur…dan banyak bertemu dengan pengikut-pengikut mereka ini.
Bahkan satu cerita mengatakan, Wallahu a’lam cerita ini betul atau
tidak…bahkan diantara orang-orang yang diziarahi terutama orang-
orang madura… arek-arek situbondo itu…mereka rela menikahkan
anaknya dengan syaikh ini, dalam rangka mengambil keturunan habaib.
Perlu kita ketahui keturunan habaib tidak ada fungsinya disisi Allah
swt kecuali dengan taqwa !!!. Habaib banyak…habaib banyak di
Indonesia…yang ngaku habaib …habib…habib…habib, tapi
perbuatannya…adalah menyalahi Sunnah Rasulullah
Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, bukan pencinta Rasulullah
Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam. Katanya habaib juga masih main
perempuan… Katanya habaib juga masih jualan tanah surga,
katanya…perbuatan macam apa yang dilakukan para habaib seperti ini ???

Ikhwanifillah… antum coba sekarang lihat di Bogor, kebetulan saya
waktu itu tinggal di Jakarta dan saya suka ke Bogor…disana ada
kuburan yang dikeramatkan milik habib fulan… omzetnya setiap hari
atau setiap minggu, melebihi 30 Juta, oleh karena itu mereka tidak
mau meninggalkan kerjaan seperti ini…bayangkan 1 minggu dapat 30
juta…bandingkan dengan gaji pegawai negeri…satu minggu dapat
berapa ??? belum potongan-potongan yang lain…, yang datang disana
juga para pejabat – pejabat, seperti inilah kondisi umat kita, yang
mau dibohongi oleh pemuja-pemuja kuburan habaib. Dan parahnya…para
prajurit-prajurit alawiyyin (maksudnya murid alwi al maliki) ini
banyak mengajar di Pesantren NU, seperti Pesantren Tebu Ireng,
Pesantren Kyai As’ad, dan Pesantren Ash Shidiqiyyah di Kedoya
Jakarta. Ciri-ciri mereka sama…kalau pake gamis,
sorbannya/selendangnya berwarna hijau…kalau pake sarung, ngga’
tahu saya ciri-ciriya…(SELESAI TANYA JAWAB )

Sumber : ditranskrip dari CD Dakwah Bedah Buku Intensif 2004 CD-3,
Sesi tanya jawab (kajian tanggal 13 Dzulhijjah 1424 H) dengan Ustadz
Ali Saman Hasan, Lc ( Alumni Univ. Islam Madinah, sekarang mengajar
di Ma’had Al Irsyad Tengaran, Salatiga )

 

Mengenal lebih dekat “Syaikh”nya Nahdatul Ulama


 

Pertanyaan :

“Didaerah Jawa Timur banyak saudara-saudara yang kita belajar di pondok pesantren salafiyyah (Ustadz Ali Saman berkomentar: Masya Allah…Salafiyyah NU, Nahdatul Ulama ?!?!?! ) sangat mengagungkan sosok Kyai Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, Siapakah sosok syaikh tersebut ? Apakah benar dia seorang Muhaddits Ahlus Sunnah? Apakah sekarang masih hidup ? Apakah sumbangsih Syaikh Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki terhadap perkembangan dakwah salafiyyah di Saudi pada umumnya dan para alumninya di Indonesia pada khususnya ?

 

Ustadz Ali Saman menjawab :

Ikhwanifillah A’azakumullah…saya kemaren membaca di majalah Al Furqon ( Al Furqon Gresik, Edisi 5 Thn. III hal. 2 ) perdebatan antara Ustadz Aunur Rofiq dengan salah satu pengagum Syaikh Muhammad Alwi Al Maliki, pengagum Alwi Al Maliki tersebut mengatakan bahwa syaikhnya adalah Muhadditsul Ahlus Sunnah. Syaikh Muhammad Alwi Al Maliki duhulunya adalah pernah ngajar di haram (tanah suci), dan orang salafy. Kemudian setelah itu banyak penyimpangan-penyimpangan. Salah satunya buku yang menunjukkan penyimpangannya adalah dia menulis buku yang berisi pengkultusan Nabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam dan mengarang tentang sunnahnya maulid nabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam. Kemudian habis itu, ia dikeluarkan atau dipecat dari mengajar di halaqah di masjidil haram oleh kepemimpinan tinggi masjid al haramain. Bahkan terjadilah hiwar (debat/dialog) yang sangat kuat sekali antara syaikh Sulaiman Ibnu Mani’ (Anggota Kibar Ulama Saudi) dengan Syaikh alwi almaliki di Mekkah, dan hiwar/dialog itu direkomendasikan oleh Syaikh AbdulAzis bin Baz ( Mufti Kerajaan Arab Saudi waktu itu ) dan terbitlah bukunya dan sudah diterjemahkan “Dialog dengan Alwi Al Maliki”, Silahkan baca bukunya…..Syaikh Sulaiman Ibnu Mani’ membantah dengan nash Al Quran, Sunnah Nabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akal terhadap pendapat alwi al maliki yang membolehkan Maulid Nabi.

 

 

 

Ikhwanifillah A’azakumullah….Syaikh Alwi Al Maliki sebenarnya memiliki manhaj yang baik sebelum ia dikeluarkan dari mengajar di masjidil haram. TETAPI sekarang manhajnya sudah rusak, akidahnya sudah rusak, dan banyak disana ia menghalalkan tawassul yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, bahkan mengagungkan Rasulullah sampai-sampai menjadikan Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam seolah-olah sebagai ilah atau sebagai Tuhan, dan hal ini adalah sumber dari kesesatan agama Syi’ah, yang mereka mengagungkan Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam melebihi derajat yang Allah turunkan kepada dia (Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam). Syaikh Alwi Al Maliki setelah disuruh taubat oleh para ulama disana ( Saudi maksudnya ). Ia tidak mau taubat dari perbuatan dosanya, Akhirnya pemerintah setempat memutuskan menghukum Syaikh Sayyid Alwi Al Maliki sebagai tahanan rumah. Dan menurut cerita teman saya, suatu ketika ia pernah nekad untuk keluar untuk sholat ied di masjidil haram, dan ketika keluar dari masjidil haram dan para syabab tahu bahwa orang tersebut adalah syaikh yang memiliki dan mendakwahkan aqidah tauhid yang rusak, akhirnya para syabab langsung mengerubungi dia untuk berusaha memukulinya, akhirnya mulai saat itu, pemerintah setempat melarang ia dari sholat id (ditempat umum). Syaikh alwi al maliki menyebarkan kesesatan ajarannya melalui pembangunan ma’had diberbagai tempat dengan nama ma’had “Ar ribath”, dia membungkus kesesatan ajarannya dengan slogan ajaran cinta kepada ahlul bait (allawiyyin) , yang sebenarnya adalah mencela kepada ahlul bait itu sendiri !!!. Ma’had Ar ribath di Mekkah didirikan oleh dia di tempat yang sangat tersembunyi sekali, “laa ya’rifuha illa ahluha” / “tidak ada orang yang tahu kecuali orang – orang yang menginduk kepada ma’had ini”. Sampai saya sendiri pernah mencoba mencari tahu ma’had ar ribath kayak apa ???, tapi tidak ketemu…karena mereka tahu bahwa saya dari jam’iyyah islamiyyah dari penampilan saya. Di Maroko dan Madinah didirikan ma’had ar ribath juga. Santrinya memiliki ciri khas yang sangat unik sekali diantaranya memakai gamis seperti yang saya pakai TETAPI gamis mereka nyapu masjid/lantai (isbal maksudnya ) dan memakai selendang hijau (coba antum teliti, penampilan kyai-kyai NU…niscaya antum akan tahu dengan siapa dia belajar). Sampai-sampai ketika mereka keluar masuk di perkemahan dan hotel-hotel jama’ah haji mereka mengatakan “Kita ini dari Islamic University menawarkan kambing kurban 200 riyal ?” padahal kambing yang kita beli itu harganya 350 riyal. “Sisanya dari mana ? “Sisanya ? Wallahu a’lam bish showab”, Mengapa mereka berani menjual kambing dengan 200 riyal ?, karena mereka menyembelih kambing sebelum hari id dengan dalil bahwa (kata mereka) madzab Syafi’iyyah membolehkannya. Padahal tidak ada madzab syafi’i yang membolehkannya !!!. Kemudian habis itu ya ikhwan…ciri-cirinya mereka itu, Masya Allah…kelihatannya mereka iltizam kepada sunnah, padahal mereka itu menindas-nindas dan menguburkan sunnah itu sendiri. Sunnahnya bagaimana? Sunnah yang mereka sering tampakkan adalah hadits yang berbunyi (yang artinya) “Sholat menggunakan siwak itu pahalanya lebih dari 70 kali sholat”, padahal hadits ini adalah hadits yang dho’if !!! Kalaupun seandainya hadits ini adalah hadits yang shohih, maka derajatnya hasanun lighoirihi. Ketika mau sholat, mereka langsung ambil siwak, meskipun imam sudah takbir, mereka tetap sibuk siwak-an, padahal Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam mengatakan “fa idzaa kabbara fakkabaruu..”Apabila ia (imam) bertakbir, bertakbirlah kalian..”. ngga’ usah pakai ushalli…ngga’ usah pakai siwak. Adapun mengenai murid-muridnya …Murid-muridnya banyak sekali bertebaran di Indonesia, bahkan sekarang ini banyak dan lebih banyak lagi, mereka membuat jam’iyyah lanjutan setelah Ma’had Ar Ribath…yaitu Jam’iyyah Al Ahqaf. Apel siaganya tiap pagi adalah…keliling kuburan syaikh mereka. Oleh karena tidak pantas mereka menisbatkan pesantrennya kepada salafiyyah, karena salafiyyah adalah ..salafy adalah ashhabunnabi Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam wa ashhabul kiram, itu yang kita nama salafiyah.dan kita tidak menyebut pesantren mereka dengan pesantren salafiyyah !!! Salafiyyah yang mereka (murid Alwi Al Maliki di Indonesia dan Nahdatul ‘Ulama) maksudkan adalah pesantren tradisional, ngajinya pake kitab kuning, mandinya dengan 2 qullah meskipun sudah kotor/butek/keruh airnya sampai-sampai membuat kulit gatal. ( maksudnya orang – orang “salafiyyah” NU mengganggap bahwa air yang telah mencapai 2 qullah tidak dapat ternajisi oleh apapun…padahal pemahaman yang benar tidaklah demikian, baca keterangan Ustadz. Abdulhakim bin Amir Abdat mengenai hadits masalah ini pada As Sunnah edisi 06/tahun VII/1424 H/2003 M hal. 11 )

 

 

Nah oleh sebab itu, Ikhwanifillah A’azzakumullah….dikatakan pula Syaikh Alwi Al Maliki ini memiliki ziarah (kunjungan) ke Indonesia setiap satu tahun sekali, ziarahnya langsung ke Jawa Timur, ke tempat para fans nya ( maksudnya bekas muridnya ), Saya orang jawa timur…dan banyak bertemu dengan pengikut-pengikut mereka ini. Bahkan satu cerita mengatakan, Wallahu a’lam cerita ini betul atau tidak…bahkan diantara orang-orang yang diziarahi terutama orang-orang madura… arek-arek situbondo itu…mereka rela menikahkan anaknya dengan syaikh ini, dalam rangka mengambil keturunan habaib. Perlu kita ketahui keturunan habaib tidak ada fungsinya disisi Allah swt kecuali dengan taqwa !!!. Habaib banyak…habaib banyak di Indonesia…yang ngaku habaib …habib…habib…habib, tapi perbuatannya…adalah menyalahi Sunnah Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, bukan pencinta Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam. Katanya habaib juga masih main perempuan… Katanya habaib juga masih jualan tanah surga, katanya…perbuatan macam apa yang dilakukan para habaib seperti ini ???

 
Ikhwanifillah… antum coba sekarang lihat di Bogor, kebetulan saya waktu itu tinggal di Jakarta dan saya suka ke Bogor…disana ada kuburan yang dikeramatkan milik habib fulan… omzetnya setiap hari atau setiap minggu, melebihi 30 Juta, oleh karena itu mereka tidak mau meninggalkan kerjaan seperti ini…bayangkan 1 minggu dapat 30 juta…bandingkan dengan gaji pegawai negeri…satu minggu dapat berapa ??? belum potongan-potongan yang lain…, yang datang disana juga para pejabat – pejabat, seperti inilah kondisi umat kita, yang mau dibohongi oleh pemuja-pemuja kuburan habaib. Dan parahnya…para prajurit-prajurit alawiyyin (maksudnya murid alwi al maliki) ini banyak mengajar di Pesantren NU, seperti Pesantren Tebu Ireng, Pesantren Kyai As’ad, dan Pesantren Ash Shidiqiyyah di Kedoya Jakarta. Ciri-ciri mereka sama…kalau pake gamis, sorbannya/selendangnya berwarna hijau…kalau pake sarung, ngga’ tahu saya ciri-ciriya…(SELESAI TANYA JAWAB )

___________________________________________________________________________________________________________
Sumber : ditranskrip dari CD Dakwah Bedah Buku Intensif 2004 CD-3, Sesi tanya jawab (kajian tanggal 13 Dzulhijjah 1424 H) dengan Ustadz Ali Saman Hasan, Lc ( Alumni Univ. Islam Madinah, sekarang mengajar di Ma’had Al Irsyad Tengaran, Salatiga )

Copy@IkhwanInteraktif.com

Syubhat Berdzikir Memakai Alat Tasbih dan Bantahannya


Kata  pengantar  :

Pada bagian keduabelas ini ana akan  meluruskan suatu amalan yang di anggap baik   yang sudah menjadi kebiasaan  kaum nahdiyyin, yakni berdzikir dengan menggunakan alat tasbih. pada kesempatan ini, ana akan ambil pernyataan dari salah satu kiyai NU, yakni KH Muhyiddin Abdusshomad, dan seperti biasanya ana akan sertakan derajat hadist  yang membolehkan berdzikir dengan alat tasbih yang disampaikan oleh KH Muhyiddin Abdusshomad, Lihat derajat hadist semakna yang disampaikan KH. Muhyiddin Abdusshomad di no. 3.  (Abu  Namira  Hasna Al-Jauziyah).


pernyataan  KH Muhyiddin Abdusshomad :

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca “Subhanallah” sebanyak 33 kali. “Alhamdulillah” 33 kali, “Allahu akbar” 33 kali dan “La Ilaha illallah” 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula.” (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.

KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
sumber  : http://www.nu.or.id/ubudiyyah/Berdzikir Memakai Tasbih/hltm.
———————————————————————————————————————————————————
BANTAHAN  :
Oleh : Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. 

Kebanyakan orang di tempat kita menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Alloh adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan. Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada biji tasbih di tangannya.

Ada di antara mereka yang selalu terlihat menjalankan tasbih di tangannya walaupun sedang mengobrol dengan rekannya, padahal terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan dzikir. Yang lebih merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya di leher walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir, tetapi—anehnya—orang menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Alloh).

Sebagian lagi meyakini bahwa biji tasbih yang digantungkan di leher adalah ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir. Ada pula yang mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah biji tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan tidak mungkin kami sampaikan semuanya.
Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena makin jauhnya kaum muslimin dari agamanya. Oleh karena itu, para ulama yang cemburu akan agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat biji tasbih ini. Mereka menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam agama Islam yang mulia ini (1) . Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-mudahan Alloh melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.
Sekilas Tentang Untaian Biji2an Tasbih
Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Demikianlah yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.
Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).
Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2) bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara baru dalam agama (Islam). Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia. Agama Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana. Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma (Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka. Adapun kaum muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk ibadah mereka.
Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3) , justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau “lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang, sebagaimana firman Alloh:
(…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩
…. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? (QS. an-Naml [27]: 59)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah). (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)
Makna Tasbih
“Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).
Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ
Bahwa beliau pernah melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya. (HR. al-Bukhori: 1104)
Dzikir Ada Dua Macam
Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:
1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab [33]: 41)
Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).
2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)
Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya
Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
Makna اْلأَنَامِلُ
Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).
Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.
Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.
Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.
Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam Mengingkari Biji Tasbih
Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan yang terbaik buat diri dan agama mereka. Oleh karena itu, tatkala menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005)
Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah atau tidak Shahih
Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;
1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.”
Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167.
Keterangan:
Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:
* Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.
* Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”
* Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):
a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:
إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ
“Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”
b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.
Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)
Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى
“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”
Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Keterangan (9):
Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.
Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”
Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”
Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”
Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”
3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:
:دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ
أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata: ‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”
Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.
Keterangan:
Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.”
Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”
Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”
Demikian juga salah satu rowi hadits ini bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban. Akan tetapi, terdapat penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya. Oleh karena itu, cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul (tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Berdzikir Dengan Kedua Tangan atau Tangan Kanan Saja?

Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat pertama (12)mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan. Dalilnya:
* Keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri, sebagaimana dalam sebuah hadits;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 3486)
* Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan.
Pendapat kedua (13) mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol. Dalilnya:
* Ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ
Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002).
Pendapat yang Kuat

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ
Pendapat yang kuat insya Alloh adalah pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”
Pendapat ini sejalan dengan hadits lain yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam perkara yang terpuji, di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)
Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan menjelaskan yang masih umum/global.
Beberapa Mafsadat Biji Tasbih

Setelah jelas bahwa biji tasbih tidak disyari’atkan dalam berdzikir, kita juga menjumpai beberapa perkara terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:
* Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:
…. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?…. (QS. al-Baqoroh [2]: 61)
* Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih. Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan jari-jarinya(15).
* Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya. Kita jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia: “Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih ini(16).”
* Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347).
Penutup

Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna, yang telah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam tidak pernah mengenalkan biji tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak menggunakannya dalam ibadah. kemudian sebagian orang setelah generasi terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih banyak dan lebih mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru kebiasaan orang Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam ibadahnya, dan tatkala para sahabat mengetahui hal baru ini mereka segera mengingkarinya, untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu selanjutnya para ulama kemudian juga mengikuti jalan para salafush sholih dalam berdzikir dan mengingkari hal-hal yang baru dalam agama ini.
Wallohu A’lam.

________________________

FooteNote
(1) Di antaranya kitab as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha kar. Dr. Bakar Abu Zaid (dan kami sarikan tulisan ini dari kitab tersebut. Demikian juga, telah difatwakan tentang masalah ini oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: 22/506, Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin: 3/120, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no. 83, Fatawa Rosyid Ridho: 3/435, Lajnah Fatwa al-Azhar dalam Majalah al-Azhar jilid 21 th. 1949, Fatawa Lajnah Da‘imah KSA no. 2229, dan lainnya.
(2) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45.
(3) Akan tetapi, semua hadits tentang biji tasbih terbukti kelemahannya bahkan kepalsuannya sebagaimana kami jelaskan dalam pokok bahasan Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah.
(4) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 39. Al-Albani berkata kalimat السبحة (dengan makna biji tasbih) adalah kalimat yang baru yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab (Silsilah Dho’ifah: 1/185).
(5) Lihat Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.
(6) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.
(7) Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184.
(8) Dinukil secara ringkas dari Silsilah Dho’ifah: 1/ 185-187.
(9) Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47
(10) Demikian juga, ada hadits semisal dari Sa’ad bin Abi Waqqosh tetapi dalam sanadnya ada rowi majhul (periwayat tak dikenal) bernama Khuzaimah sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar, demikian juga rowi lainnya bernama Sa’id bin Abi Hilal dikatakan oleh Imam Ahmad rowi yang mukhtalith, dan ditambah lagi sebagian rowi hadits tidak menyebutkan Khuzaimah tetapi langsung dari Aisyah s\ sehingga hadits ini terputus. Kesimpulannya, hadits tersebut cacat—disebabkan oleh adanya rowi majhul—atau hadits tersebut terputus.
(11) Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83, dan as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 16-19.
(12) Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64.
(13) Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H.
(14) Demikian pula hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar: 23, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nata‘ij al-Afkar: 1/18.
(15) Dinukil secara bebas dari Kutub wa Rosa‘il Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/198.
(16) Idem.
Sumber : Catatan al akh Ahmado Ferizzi

Syubhat Adanya Bid`ah hasanah dan Bantahannya


Kata  pengantar  :

Pada bagian kesebelas  ini ana akan  meluruskan suatu  yang sudah menjadi keyakinan  kaum nahdiyyin, yakni adanya bid`ah hasanah dalam islam.kali ini ana menukil dari sebuah buku karya Dr. Oemar Abdallah Kemel,yang berjudul : Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan judul : “Kenapa Takut Bid’ah?“Insya Allah,ana akan menjelaskan alasan-alasan yang menjadi hujjah dalam membolehkan  bid`ah hasanah, sebgagai tambahan, ana juga akan nukil syubhat-syubhat yang menjadi alasan dibolehkannya adanya bid`ah hasanah, yang tidak disebut dalam tulisan Dr. Oemar Abdallah Kemel.( Abu Namira  Hasna  Al- Jauziyah).

Dr. Oemar Abdallah Kemel  dalam bukunya menyatakan :

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid’ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid’ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” mengatakan:

“Pada mulanya, bid’ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar’i, bid’ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid’ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid’ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid’ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid’ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”.

b. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid’ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid’ah dan sesat?

Di antara contoh bid’ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid’ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid’ah dan sesat.
Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya “Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan “Kenapa Takut Bid’ah?

sumber  :  http://www.nu.or.id/ubudiyyah/Praktik Bid’ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat/html/

—————————————————————————————————————————————————-

BANTAHAN  :

Sebenarnya ane sudah lama ingin menulis risalah kecil ini. Tetapi karena bingung mencari sumber dan banyak kendala dalam menyelesaikannya. Tetapi dalam rangka ilmiah dan keprihatinan akan mudahnya umat muslimin melakukan hal baru dalam agama dan mereka mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah. Lalu apa batasan bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Maka ane berazzam untuk mencari sumber-sumber yang diperlukan, Alhamdulillah sebelum mutasi ane menemukan di balik tumpukan artikel yang sudah berdebu dan beberapa sumber lainnya yang sempat ane kopi.
Semoga artikel ini membawa suasana ilmiah, dan mohon tidak usah diperdebatkan lebih jauh bila berbeda pendapat, karena tulisan ini hanya sebagai pembanding, bila tidak setuju tidak mengapa. Toh tidak setuju dengan tulisan saya tidak membuat anda keluar dari Islam.

Bismillah wal Hamdulillah

Kita awali dengan suatu hadits
Dalam hadits muslim bahwa kullu bid’atun dholalah (setiap bid’ah adalah kesesatan)

Berkata Abdullah bin Umar ra :
“Setiap  bid’ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Ibnu Rajab berkata bahwa hadits muslim tsb termasuk “Jawami’ul Kalim“ (kata singkat dan padat makna) Tidak ada satu perbuatan bid’ah yang dikecualikan padanya dan ini merupakan salah satu kaidah agama yang agung. (Al Jami’ Al Ulum Al Hikam)

Syaikh Muhammad al Utsaimin
Bid’ah apa saja yang di klaim sebagai bid’ah hasanah dapat dibantah dengan hadits ini (setiap bid’ah adalah kesesatan) (Al Ibda Al Kamali As Syara’ wal Katharu al Bid’ah)

Imam as Syaukani : Hadits ini tergolong kaidah agama yang mencakup berbagai macam hukum yang tak terhitung jumlahnya. Hadits ini begitu gamblang dan jelas menunjukkan batilnya pendapat beberapa fuqoha yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian. (hanya menolak sebagian bida’ah) (Nailul Authar)

Umar Radhiyallahu anhu : Ketahuilah setiap perkara yang diadakan adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat dan sesat tempatnya di neraka (Lihat al bida’ )

Al Imam Asy Syatibhi ra dalam mengomentari hadits muslim diatas :
1.    Bahwa riwayat tsb datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat (tentang sesatnya bid’ah) tetapi tidak tedapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan diantara bbid’ah ada yang pentunjuk, tidak ada pula yang disebutkan setiap bid’ah sesat kecuali ini dan itu. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tsb diatas hakikatnya yang dzahir berupa lafadz “kullu” (seluruhnya)
2.    Dalam prinsip ilmiah bahwa setiap kaidah menyeluruh bila diulang ulang di banyak tempat dan tidak pernah disertai pengkhususan maka itu merupakan dalili ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.
3.    Ijma para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in akan tercelanya bid’ah dan tidak ada sedikitpun dari mereka yang bersikap tawaqquf (abstain) atau ragu.
4.    Orang yang memahami bid’ah mengharuskan bersikap meyakini bahwa bid’ah itu sesat karena hal itu termasuk perkara yang bertentangan dengan syari’at.

Banyak kesalahpahaman antara kaum muslimin terhadap sebagian yang disebutkan dalam ulama dengan istilah bid’ah hasanah, makruh, mubah atau mahmudzah (mahmudah) dan madzmumah (tercela) dengan mendasarkan pada :
Hadit Muslim
“Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya”

Jawaban :
1.    Makna hadits tersebut adalah mencontohkan perbuatan sunah. Hal ini berkaitan anjuran nabi untuk bersedekah tetapi tidak ada yang menyambutnya lalu seorang anshor menyambutnya dan mendadak para sahabat mengikutinya.
2.    Nabi bersabda “Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam” dilain waktu nabi bersabda: “setiap bid’ah adalah kesesatan”. Maka tidak mungkin sabda nabi saling bertentangan satu sama lain. Dan tidak boleh mengambil satu hadits dan menolak hadits yang lain.
3.    Makna perbuatan yang baik juga bisa berarti menghidupkan sunah nabi yang telah ditinggalkan
4.    Makna perbuatan yang baik tidak bisa diartikan sebagai bid’ah. Sebab baik buruknya perbuatan harus berlandaskan syari’at.

Mendasarkan pada hadits bukhori tentang perkataan umar Radhiyallahu anhu pada saat sholat tarawih di bulan Ramadhan.
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”

Jawaban
1.    Jika orang berpendapat bahwa ini adalah dalil bid’ah hasanah maka ketahuilah bahwa sabda Nabi tidak bisa dibatalkan dengan ucapan manusia, baik Abu Bakar ra, Umar ra dll. Berkata Abdullah bin Abbas pernah berkata “ Hampir saja kalian dihujani batu dari langit. Aku katakan Nabi bersabda begini dan begini, kalian membantahnya dengan mengatakan: “Akan tetapi Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu.” Umar bin abdul aziz ra mengatakan ; “Tidak berlaku pendapat siapapun dihadapan sunah Rasulullah saw. “
Imam Syafi’i berkata; “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah nyata baginya sunnah Rasulullah maka tidak dibenarkan baginya meninggalkan karena ucapan seseorang. (I’lamul Muwaqqi’in)
2.    Umar mengatakan itu disaat umat muslimin melakukan sholat tarawih kembali dengan berjama’ah. Tentunya ini tidak bertentangan dengan sunah nabi yang diriwayatkan aisyah bahwa Rasulullah sholat pada suatu malam lalu diikuti oleh orang banyak dst (riwayat bukhori)
3.    Istilah bid’ah yang dikatakan Umar ra bukanlah makna dalam bid’ah dalam etimologi/bahasa bukan makna bid’ah dalam syariat karena sebelum kekhalifaan umar, Sholat tarawih berjama’ah mulai ditinggalkan dan di masa umar ra, sunah tersebut dihidupkan kembali. (pendapat ini didukung Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir dalam tafsir surat al baqoroh ayat 118, Ibnu rajab, Mohammad Rasyid Ridho).

Mendasarkan pada pembukuan Mushaf Al Qur’an merupakan bid’ah hasanah.

Jawaban :
1.    bahwa pembukuan al Qur’an telah sesuai kitabullah
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (Al Qiyamah 17)

Dalam ayat tsb ada isyarat untuk mengumpulkannya karena keumuman lafadz tsb. Lalu kenapa dijaman Rasulullah belum dibukukan? Karena pada masa itu ada pencegah dibukukannya karena Al Qur’an turun berangsur angsur dan kadang ada ayat yang dinasakh. Maka setelah meninggalnya Rasulallah mereka baru mengumpulkannya karena telah sempurnya agama ini dan terputusnya wahyu.
2.    Hal ini merupakan ijma para sahabat, sebab ijma’ adalah salah satu hujjah di dalam islam.

Mendasarkan pada adzan pertama di jaman utsman bin affan Radhiyallahu anhu.

Jawaban :
1.    Hal itu merupakan ijtihad utsman bin affan ra, akan tetapi ada salah seorang sahabat menyelisihinya sehingga bukan merupakan hujjah yang mutlak. Apabila ada sahabat berhujjah dan ada yang menyelisihninya maka kita butuh melihat yang rajih siapa yang kuat dari pendapat mereka. Ali bin abi Thalib ra ketika berada di kuffah dan beliau hanya mengamalkan yang disunahkan Rasulullah dan meninggalkan ijtihad Utsman bin Affan . Demikian pula Abdullah bin Umar (Lihat kitab al Ajwibah an Nafi’ah). Imam Syafi’i mengatakan dal kitab al Umm:  „Aku lebih menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan duduk diatas mimbar. Maka apabila imam sudah melakukannya (duduk), muadzin mengumandangkan adzan dst.
2.    Sebab Utsman menambah adzan disebabkan semakin banyaknya manusia dan berjauhan rumah mereka. (lihat hadit Bukhori, Abu Dawud dan Tirmidzi). Sehingga tidak dapat mendengar adzan tsb. Sebagian ulama menggolongkan ini pada maslahah mursalah. Maka apakah kedua illat ma’qulah (sebab masuk akal) tsb ada di jaman sekarang. Berkata Albani: barangsiapa berpegang pada azan utsman secara mutlak maka dia tidak mengikutinya (Utsman) akan tetapi menyelisihinya. Karena tidak memperhatikan dengan mata ilmu sebab. Kalau tidak ada sebab tentu Utsman tidak akan melakukan penambahan atas sunah yang ada dan sunah dua khalifah setelahnya (Abu Bakar dan Umar).

Mendasarkan pada perkataan Abdullah bin Mas’ud
”Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt. “(HR Imam Ahmad)

Jawaban :
1.    Ibnul Qoyyim : Ucapan ini bukan berasal dari Rasulullah. Hanya orang orang jahil yang menisbatkan ucapan ini dari Rasulullah. Ucapan ini bersumber dari Abdullah bin Mas’ud.
2.    Kaum muslimin yang dimaksud Abdullah bin Mas’ud adalah para sahabat karena barangsiapa memperhatikan keseluruhan riwayat itu maka akan tahu yang dimaksud adalah para sahabat. Dalam perkataannya yang panjang saya singkat saja karena udara mulai sumuk hehehe
„……kemudian melihat hati hamba-Nya setelah Muhammad, didapatinya hati para sahabat adalah paling baik setelah hati Muhammad. Lalu menjadikan wazir Rasulnya, mereka berperang atas agamanya. Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt.  Ditambah lagi pendapat al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak mencantumkan hadits ini dalam Judul „Keutamaan Sahabat“  (semoga Ridha menbacanya biar nggak mencela para sahabat)

Mereka berdalil pada ucapan Imam Syafi’i
“Bid’ah ada dua macam. Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Madzmumah (tercela). Apa saja yang termasuk sunah maka termasuk bid’ah mahmumah dan apa saja yang menyelisihi maka termasuk bid’ah madzmudah (tercela) (Hilyatul Auliya’).

Jawaban :
Dan ucapan beliau :
Perkara muhdats (yang baru ada dua macam). Yang baru serta menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma termasuk bid’ah sesat. Tetapi perkara baru yang tidak menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma tidak termasuk bid’ah tercela (Manaqib Asy Syafi’i)
1.    perlu diketahui bahwa ucapan Imam Syafi’i tidak merubah ketetapan Rasulallah saw sebagai mana telah dijelaskan diatas ditambah perkataan Ibnu Abbas “Tidak seorangpun pendapatnya kada diterima kadan ditolak kecuali Rasulullah Saw.
2.    Barangsiapa mencermati perkataan Imam Syafi’i maka akan mengetahui bahwa yang dimaksud bid’ah mahmudah adalah bid’ah secara etimologi (bahasa) yang berkaitan dengan urusan dunia. Sedangkan bila bid’ah secara syara’ tentu bid’ah madzmumah (tercela). Karena Imam Syafi’i membatasi pada Kitab dan Sunah. Berkata Ibnu Rajab dalam mengomentari pendapat Imam Syafi’i: “Maksud Imam Syafi’i hakikat bid’ah madzmumah (tercela) adalah yang tidak ada landasan syar’inya. Sementara bid’ah mahmudah adalah yang bersesuaian dengan sunah Nabi saw. Ini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa karena ada landasan syar’inya. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
3.    Sudah kita ketahui bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang berpegang teguh dalam sunah. Bahkan beliau pernah berkata “Apabila kalian melihat dalam bukuku ucapan yang menyelisihi sunah Nabi, maka ambillah sunah Nabi dan buanglah jauh jauh ucapan itu (syiar nubala) dan masih banyak lagi perkataan beliau tentang pentingnya sunah nabi.

Berpendapat pada ucapan Imam al Irara  bin abdussalam
“Bid’ah terbagi menjadi lima bagian, bid’ah wajib, haram, mustahab, makruh, mubah. Cara mengidentifikasi bid’ah itu berpulang kepada syari’at dst. (Qowahidul Ahkam)

Jawaban
1.    Kita tidak boleh menentang ucapan nabi dengan perkataan manusia
2.    Asy Syatibhi menolak pembagian tsb (Lihat Al I’tishom)
3.    Bid’ah yang dimaksud al Izz Abdussalam adalah bid’ah secara bahasa. Kita dapat mengetahui dari contoh contohnya dari bid’ah tsb. Misal Bid’ah wajib adalah mempelajari nahwu untuk mempelajari kitabullah dan sunah, bid’ah mustahab adalah sholat tarawih berjamaah di bulan romadhon. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah oleh imam adalah bid’ah secara bahasa (etimologi). Imam Irara bin Abdussalam adalah ulama yang sangat menentang bid’ah dan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah. Buktinya penentangan beliau akan hal hal yang dianggap orang sebagai bid’ah hasanah. Syihabudin Umar berkata beliau sering menghapus bid’ah yang dilakukan khatib (sholat jum’at) seperti mengetuk ngetuk pedang diatas mimbar. Beliau jga yg menghapus nifsu sya’ban dan shalat raghaib dan berjabat tangan seusai sholat jama’ah.(Thobaqot Asy Syafi’iah)

“Apakah mereka memiliki tandingan/sekutu yang membuat syariat dalam urusan dien bagi mereka yang tidak diberi izin oleh Allah.” (asy-Syuraa:21)

Semua tulisan saya bukan kepastian…silahkan berkomentar. Bagi saya bid’ah itu jelas…masalahnya bagaimana fiqh dakwah kita dalam merubah bid’ah itu. Apakah dengan keras dengan berkata kamu sesat, kamu sesat…atau dengan cara elegan.

Oh iya bid’ah iku panganan opo yoooo…ini gambaran singkat aja mugo mugo mudeng.
Arti bid’ah secara bahasa/etimologi: mengadakan sesuatu hal yang baru
Arti bid’ah secara syara’/syariat :
Bid’ah artinya sesuatu yang baru dlm agama setelah agama dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi SAW. Bentuk jama’nya al-Bida’. Bid’ah juga berarti sst yang diciptakan namun menyalahi kebenaran yang diterima dari Rosulullah SAW dan prinsip agama yang benar
Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid’ah menurut syari’at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Al-Ihdaats (mengada-adakan)
2. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
3. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari’at, baik secara khusus maupun umum.

semoga bantahan yang singkat ini,bermanfaat.