Unjuk Rasa, Bukan Jalan Perbaikan
Ketika badai unjuk rasa berhembus, orang-orang berhamburan keluar rumah mengekspresikan keinginannya. Mereka berkumpul dalam aksi longmarch besar-besaran. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya ikut serta. Walaupun awalnya sekedar unjuk rasa damai, tetap saja kerusuhan sering kali mewarnai. Mengapa demikian? Simaklah pendapat seorang ‘alim rabbani yang namanya tak asing di telinga kita. Beliaulah ulama yang digelari oleh Syaikh Al Albani –rahimahullah– sebagai faqiehuz zamaan, alias ahli fiqih zaman ini. Beliaulah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah-.
Ada yang bertanya kepada beliau: “Kalau penguasanya tidak berhukum dengan syariat Allah, lalu ia membolehkan sebagian kalangan untuk melakukan unjuk rasa independen berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh si penguasa, kemudian mereka (para demonstran) melakukannya; kemudian bila ada yang mengingkari perbuatan mereka, mereka mengatakan: “Kami tidak melawan penguasa, dan apa yang kami lakukan selaras dengan pendapat penguasa”. Apakah hal tersebut dibolehkan secara syar’i jika mengandung hal-hal yang bertentangan dengan nas (dalil)?
Jawab beliau, “Kamu hendaknya mengikuti para salaf. Kalau memang demonstrasi ada di zaman salaf, berarti baik. Namun jika tidak ada di zaman mereka, berarti jelek. Tidak diragukan sedikitpun bahwa demonstrasi itu jelek, sebab ia menimbulkan kekacauan, baik dari pihak demonstran maupun yang lain. Bahkan terkadang menimbulkan tindak aniaya terhadap kehormatan, harta benda, dan jiwa. Karena mereka yang tenggelam dalam kekacauan tadi, seperti pemabuk yang tidak sadar terhadap ucapan dan perbuatannya. Jadi, demonstrasi itu jelek semua, baik diizinkan oleh penguasa maupun tidak. Adanya sebagian penguasa yang mengizinkan demonstrasi sebenarnya hanyalah basa-basi, sebab jika hati kecilnya ditanya ia pasti sangat membencinya. Namun ia berusaha menampakkan dirinya sebagai orang yang ‘demokrat’, dan memberi kebebasan bagi rakyat… ini semuanya bukanlah sikap para salaf”.[1]
Kalau ada yang mengatakan bahwa fatwa ini tidak berlaku bagi demonstrasi damai, maka jawabnya ialah; bahwa walaupun demonstrasi itu awalnya damai, namun sering berujung pada kekerasan dan tindak anarkis. Sebab para demonstran belum tentu satu tujuan, dan tidak memiliki satu komando… mereka juga tidak bisa menolak orang lain yang hendak bergabung, dan bahkan mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, provokator sangat mudah menyusup untuk menyulut fitnah. Apalagi jika mereka keluar dengan emosi lalu mendapat perlakuan dan sikap yang tak sesuai keinginan, maka bukan saja kekacauan yang terjadi, namun perang saudara dan pertumpahan darah. Lanjutkan membaca