Akar Penyimpangan Golongan-golongan Sesat


Akar Penyimpangan Golongan-golongan Sesat

mengenal aliran sesatSebuah anugrah yang besar Allah berikan kepada umat manusia –ketika mereka berpecah belah dalamhizb (kelompok) dan firqoh (sekte), Allah -Azza wa Jalla- mengutus seorang rasul yang bernama Muhammad bin Abdillah –Shallallahu alaihi wa sallam– membawa agama Islam sebagai furqon (pembeda) antara yang haq dan batil.

Agama yang beliau bawa dan sampaikan kepada para sahabatnya adalah agama Islam yang masih murni dari segala penyimpangan. Tak ada noda syirik, kekafiran, maksiat dan bid’ah yang melekat padanya.

Ketika Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– membawa Islam, maka para sahabat dari kalangan Aus dan Khozroj sebelumnya bermusuhan dan mengobarkan api peperangan akibat fanatik kesukuan. Namun kedatangan Islam menghapus perpecahan dan permusuhan itu, dan mengubah alur hidup mereka menjadi muslimin yang bersaudara.

Inilah yang Allah ingatkan dalam firman-Nya,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ  [آل عمران : 103]

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imraan : 103)

Demikianlah para sahabat terus bersatu di atas Islam yang shofi (murni) melalui bimbingan Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– kepada mereka. Setiap ada riak dan ombak yang berusaha mengeruhkan persatuan itu, maka Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– langsung menepisnya.

Oleh karenanya, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– pernah marah saat melihat seorang sahabat Anshor berteriak meminta pertolongan kepada kaumnya, dan sahabat muhajirin juga meminta pertolongan kepada kaumnya. Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– ketika itu marah seraya bersabda,

مَا بَالُ دَعْوَى أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ

“Mengapa ada seruan orang-orang jahiliah?!” [HR. Al-Bukhoriy dan Muslim]

Sepeninggal Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan sebagian sahabatnya di atas Islam yang murni, Allah taqdirkan terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin ke dalam beberapa sekte dan kelompok sebagaimana kondisi kaum jahiliah. Perpecahan itu muncul pertama kali ketika kaum Khawarij menjauh dari para ulama sahabat. Mereka mencela, bahkan mengkafirkan para sahabat akibat kedangkalan ilmu kaum Khawarij.

Kaum Khawarij mulai menafsirkan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-berdasarkan hawa nafsu mereka dengan penafsiran yang menyalahi pemahaman para sahabat.

Ambil saja sebagai contoh, sebuah ayat di dalam Al-Qur’an mereka ambil, lalu ditafsiri sendiri oleh kaum Khawarij, tanpa merujuk kepada pemahaman para ulama sahabat, dan tabi’in terhadap ayat itu.

Ayat yang mereka salah tafsiri, firman Allah dalam Surah Al-Maa’idah,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ  [المائدة : 44]

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (berhukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maa’idah : 44)

Orang-orang Khawarij menjadikan ayat ini dalih dalam mengkafirkan Ali bin bin Tholib dan Mu’awiyah –radhiyallahu anhuma– serta para sahabat yang ada di zaman mereka, karena mereka menyangka bahwa para sahabat tak berhukum dengan Al-Qur’an dan Sunnah dalam perkara yang terjadi diantara mereka[1]. Akhirnya mereka mengkafirkan para sahabat dan memerangi mereka di Perang Nahrawan.

Demikianlah jika seseorang atau kelompok yang menjauhi para ulama –apalagi ulama itu adalah sahabat-. Hasilnya seseorang akan tersesat jauh dari al-haq.

Jika kita ingin kembali kepada pemahaman sahabat dan orang-orang yang menapaki jalan mereka, maka ayat ini bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh kaum Khawarij, bahwa setiap orang yang memutuskan perkara bukan menurut Al-Qur’an dan sunnah adalah kafir.

Oleh karena itu, Sahabat Abdullah bin Abbas –radhiyallahu anhuma– berkata saat menafsirkan ayat ini sebagai bantahan kepada kaum Khawarij,

لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِيْ تَذْهَبُوْنَ إِلَيْهِ » . قَالَ سُفْيَانُ : أَيْ لَيْسَ كُفْرًا يَنْقُلُ عِنْ مِلَّةٍ ،

“(Kekafiran yang disebutkan dalam ayat itu) bukanlah kekafiran yang kalian pahami”.

Sufyan bin Uyainah berkata, “Maksudnya, bukan kekafiran mengeluarkan dari agama”. [HR. Ahmad dalamAl-Iman (4/160/no. 1419), Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/736/1010), Al-Marwaziy dalam Ta’zhim Qodr Ash-Sholah (2/521/no. 569), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2/313), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (8/20), dan lainnya][2]

Kesalahan tafsiran seperti ini membuat kaum Khawarij dari dulu sampai zaman sekarang getol mengkafirkan kaum muslimin, khususnya pemerintah muslim dan rakyatnya dengan alasan mereka tidak menerapkan syariat Islam. Akhirnya, mereka melakukan melakukan kekacauan dimana-mana, gerakan terorisme, memberontak melawan pemerintah muslim, menjelek-jelekkan mereka, dan melakukan kudeta berdarah, revolusi dan lainnya.

Sebab terbesar yang menjerumuskan mereka dalam kesalahpahaman, tak adanya pada mereka pemahaman (fikih), karena mereka itu adalah sekelompok orang yang bersungguh dalam ibadah, sholat, puasa, membaca Al-Qur’an. Mereka juga memiliki ghiroh (kecemburuan) yang kuat. Tapi mereka tidak memiliki pemahaman yang mendalam, karena mereka jauh dari bimbingan para sahabat yang merupakan ulama mereka. Inilah penyakit kaum Khawarij!! [Lihat Lamhah ‘an Al-Firoq Adh-Dhoollah (hal. 35) karya Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan, dengan ta’liq Syabbab Ar-Rojihiy, cet. Dar As-Salaf, 1418 H]

Kemudian muncul setelahnya kaum Syi’ah yang meyakini kekhilafahan Ali[3], menyatakan Ali seorang yang ma’shum atau sebagai nabi. Bahkan ada diantara mereka yang mempertuhankan Ali –radhiyallahu anhu-. [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah (hal. 10), karya Syaikh Ibrahim Ar-Ruhailiy, cet. Al-Ghuroba’]

Keyakinan ini muncul karena adanya seorang Yahudi yang pura-pura menampakkan keislamannya, namun ia adalah seorang kafir. Jadi, sebenarnya ajaran Syi’ah adalah propaganda kaum Yahudi yang diselimuti dengan pengakuan cinta dan pembelaan kepada ahlul bait. Oleh karena ini, para ulamamuhaqqiqin yang ahli tentang sekte sesat dan pemikirannya menetapkan bahwa agama Syi’ah-Rofidhoh –dari sisi munculnya- kembali kepada kaum Yahudi, dan bahwa orang yang paling pertama menciptakan pemahaman Rofidhoh dalam Islam adalah Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. [Lihat Al-Intishor li Ash-Shohbi wal Aal min Iftiro’aat As-Samawi Adh-Dhool (hal. 6)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– berkata, “Para ulama telah menyebutkan bahwa awal munculnya paham Rofidhoh (yakni, Syi’ah) berasal dari seorang zindik, Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia menampakkan keislamannya, dan menyembunyikan keyahudiannya. Dia telah mencari jalan untuk merusak Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Paulus Nasrani yang beragama Yahudi dalam merusak agama Nasrani”. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (28/483)]

Itulah akibatnya, jika melenceng dan menjauh dari aqidah dan bimbingan para salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Akibatnya tiada lain, kecuali kesesatan.

Inilah yang diingatkan oleh Allah –Azza wa Jalla– dalam firman-Nya,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا  [النساء : 115]

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami akan masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’ : 115)

Siapa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di dalam ayat ini?? Mereka adalah para sahabat Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah– menjelaskan hal ini dalam kitabnya I’laam Al-Muwaqqi’in an Robbil Alamin bahwa yang dimaksud dengan “jalan orang-orang mukmin” adalah ucapan dan perbuatan para sahabat –radhiyallahu anhum-. Ini didasari oleh firman Allah –Azza wa Jalla-,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ  [البقرة : 285]

“Rasul (Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”. (QS. Al-Baqoroh : 285)

Orang-orang mukmin (beriman) ketika itu tentunya adalah para sahabat, bukan yang lain!! Jadi,yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin adalah jalannya para sahabat Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-. Merekalah yang wajib kita ikuti, sebab mereka adalah generasi yang paling paham tentang syari’at Allah. [Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof bi Syarh Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 54), karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet. Maktabah Al-Furqon, 1420 H]

Kemunculan Khawarij, dan Syi’ah disusul dengan tumbuhnya pemahaman QODARIYYAH, Pengingkar taqdir. Mereka mengingkari ilmu Allah tentang perbuatan para hamba-Nya sebelum terjadinya, dan menyatakan bahwa perbuatan para hamba tidak ditaqdirkan dan tidak diciptakan oleh Allah –Azza wa Jalla-, bahkan para hambalah yang menciptakan dan menghendakinya.

Subhanallah, sungguh ini adalah pernyataan kekafiran dan kebatilan yang keluar dari bimbingan Al-Qur’an, dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salaf.

Allah –Azza wa Jalla– berfirman dalam menjelaskan bahwa dialah yang menciptakan segala sesuatu, baik hamba itu, ataupun perbuatannya,

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ  [الأنعام : 101]

“Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-An’am : 101)

Allah –Ta’ala– menerangkan ayat di atas lebih gamblang lagi,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ  [الصافات : 96]

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-Shooffaat : 96)

Semua yang Allah ciptakan, baik hamba itu, ataupun perbuatannya, telah diketahui oleh Allah sebelum terjadinya hal itu.

Allah –Ta’ala– berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَأْتِينَا السَّاعَةُ قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ  [سبأ : 3]

“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami”. Katakanlah: “Pasti datang, demi Tuhanku Yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi dari-Nya sebesar zarrah-pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Saba’ : 3)

Dalil-dalil ini menggugurkan paham Qodariyyah yang menyatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba dan tidak mengetahuinya, kecuali setelah terjadi!! Oleh karena itu para salaf mengingkari, bahkan mengkafirkan mereka serta berlepas diri dari mereka.

Dengarkan kisah dan sikap sahabat yang mulia Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhuma- sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya dari Yahya bin Ya’mar –rahimahullah-, ia berkata,

كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Orang yang pertama kali berbicara tentang takdir di kota Bashrah adalah Ma’bad Al-Juhani. Lalu aku pun dan Humaid bin Abdir Rahman berangkat melaksanakan ibadah haji atau umrah. Kami katakan, “Bagus andaikan kami menemui seorang diantara sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu kami akan bertanya kepadanya apa yang dinyatakan oleh mereka tentang taqdir. Kemudian kami ditakdirkan bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khoththob sedang memasuki masjid. Aku dan temanku mengelilingi beliau; seorang diantara kami berada sebelah kanannya, dan lainnya sebelah kirinya. Aku kira (waktu itu) temanku menyerahkan pembicaraan kepadaku seraya aku berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman (Bapaknya Abdur Rahman)[4], sungguh telah muncul dari arah (negeri) kami sekelompok manusia yang yang suka membaca Al-Qur’an, mencari ilmu (lalu ia pun menyebutkan diantara permasalahan mereka), dan bahwasanya mereka menyangka bahwa tak ada takdir, dan perkara itu terjadi begitu saja”. Beliau (Abdullah bin Umar) berkata, “Jika engkau menjumpai mereka, maka kabari mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku. Demi (Allah) Yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, andaikan seorang diantara mereka memiliki emas semisal Uhud, lalu ia infaqkan, maka Allah tak akan menerima infaq itu darinya sampai ia beriman kepada takdir”.[5] [HR. Muslim dalam Shohih-nya : Kitab Al-Iman, bab: Bayan Al-Iman wal Islam wal Ihsan (no. 93)]

Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Al-Abbad Al-Badr –hafizhohullah– berkata, “Di dalam kisah ini terdapat penjelasan bahwa munculnya bid’ah Qodariyyah adalah di zaman sahabat, di masa Ibnu Umar, sedang tahun  wafat beliau adalah 73 H, semoga Allah meridhoinya; dan bahwa para tabi’in dahulu merujuk kepada para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam mengetahui urusan agama. Inilah yang wajib, yaitu kembali kepada orang yang berilmu di setiap waktu berdasarkan firman Allah,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ  [النحل : 43]

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl : 43)

Juga terdapat penjelasan bahwa bid’ah Qodariyyah termasuk bid’ah yang terburuk, karena kerasnya komentar Ibnu Umar tentang mereka”. [Lihat Fath Al-Qowiy Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khomsin (hal. 16-17) karya Syaikh Al-Abbad, cet. Dar Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan, 1424 H]

Konon kabarnya, Ma’bad Al-Juhaniy mengambil pemikiran batil itu dari seorang penduduk Iraq yang bernama Susan atau Sansuwaih yang masuk ke dalam Islam, lalu murtad menjadi Nasrani kembali. Maka Ma’bad mengambil (pemikiran itu) darinya, dan Ghoilan Ad-Dimasyqiy mengambil dari Ma’bad Al-Juhaniy sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah atsar.

Al-Imam Abu Amer Al-Auzai’y –rahimahullah– berkata,

أَوَّلُ مَنْ نَطَقَ بِالْقَدَرِ : رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ يُقَالُ لَهُ : سُوْسَنُ ، وَكَانَ نَصْرَانِيًّا فَأَسْلَمَ ، ثُمَّ تَنَصَّرَ ، فَأَخَذَ عَنْهُ مَعْبَدُ الْجُهَنِيُّ ، وَأَخَذَ غَيْلاَنُ عَنْ مَعْبَدٍ

“Orang yang pertama kali berbicara tentang takdir, seorang lelaki dari kalangan penduduk Iraq yang bernama Susan. Dahulu ia beragama Nasrani, lalu ia masuk Islam, kemudian menjadi Nasrani lagi. Ma’bad Al-Juhaniy mengambil (pemikiran itu) darinya, sedang Ghoilan mengambil dari Ma’bad”[HR. Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah (no. 555), dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Al-I’tiqod (4/479-750/no. 1398)]

Karena pemikiran dan aqidah kafir ini, Ma’bad Al-Juhaniy disalib oleh Kholifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 83 H sebagai pelajaran bagi para pelaku kebatilan yang memperjuangkan dan menyebarkan kekafiran dan kesesatan. [Lihat Al-Ibar fi Khobar man Ghobar (hal. 61), karya Adz-Dzahabiy, -Syamilah]

Sebagian sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, dan Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berlepas diri dari kaum Qodariyyah, karena besarnya pelanggaran mereka dalam mengingkari takdir Allah. Para sahabat ini saling berwasiat, dan mewasiatkan orang-orang di belakang mereka agar mereka tak mengucapkan salam kepada kaum Qodariyyah, tidak men-sholati jenazah mereka, dan tidak menjenguk orang sakit mereka. Yang mendorong mereka melakukan hal itu, hadits yang shohih dari Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– berupa adanya celaan kepada kaum Qodariyyah. [Lihat Al-Wafi bil Wafayat(7/441) oleh Ash-Shofadiy]

Ini kembali menguatkan kita bahwa menyelisihi manhaj (metodologi) para sahabat merupakan pintu kesesatan yang akan menyeret seseorang jauh dari jalan yang lurus sebagaimana yang pernah diajarkan dan digambarkan oleh Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu anhu-; beliau berkata,

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْماً خَطًّا ثُمَّ قَالَ :« هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ». ثُمَّ خَطَّ خُطُوطاً عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ :« هَذِهِ سُبُلٌ ، عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ». ثُمَّ تَلاَ: (وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ(

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah membuat garis (yang lurus) untuk kami seraya bersabda, “Inilah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat beberapa garis ke samping kiri dan kanan seraya bersabda, “Ini adalah jalan-jalan; pada setiap jalan terdapat setan yang mengajak kepadanya”. Lalu beliau membaca firman Allah,

(وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ) [الأنعام : 153]

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya”. (QS. Al-An’aam : 153)“. [HR. Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (no. 208). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 116)]

Ketika Kholifah Al-Ma’mun memerintahkan kaum muslimin menerjemahkan kitab-kitab filsafat kaum Yunani kuno, maka mulailah terbuka pintu fitnah (masalah) dengan selebar-lebarnya. Manusia mulai meninggalkan sunnah Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabatnya yang mulia. Selanjutnya, mereka mulai menghadap dan menekuni kitab-kitab filsafat kaum Yunani kuno yang notabene penyembah berhala dan hawa nafsu. Kabut kesesatan mulai menyelimuti mereka, karena mereka menjauh dari manhaj Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabatnya dalam memahami agama. Mereka menyerap dan mengadopsi kaedah dan sistem pemahaman kaum Yunani kuno, lalu berusaha diterapkan dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa merujuk pemahaman dan manhaj (metodologi) para sahabat Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam

Semua ini melatari lahirnya firqoh-firqoh (kelompok) yang dikenal dengan “ahli kalam”, seperti kelompok Jahmiyyah, Kullabiyyah (yang kita kenal di Indonesia dengan Asy’ariyyah)[6], Maturidiyyah, Mu’tazilah[7], dan lainnya.[8]

Kelompok-kelompok ahli kalam ini berusaha membela  aqidah islamiyyah dengan menggunakan ilmu yang mengandalkan adillah aqliyyah (dalil-dalil aqli/akal) yang mereka adopsi dari ilmu filsafat kaum Yunani kuno, semisal Aristoteles, Socrates, Pytagoras, Democratos, Plato dan lainnya. Akhirnya, mereka lebih mahir dan menguasai kaedah-kaedah filsafat yang mengandalkan akal semata dibandingkan menghafal atau menguasai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Lantaran itu, kalian jika pernah mempelajari ilmu kalam, maka pelajaran itu kering dari wahyu, dan penjelasan para sahabat dan tabi’in.[Lihat Muqoddimah Ibnu Kholdun (1/264)-Syamilah]

Jalan ini tentu menyelisihi manhaj (metodologi) salaf (para sahabat dan pengikutnya), sebab para salaf menggunakan dalil-dalil sam’iy (wahyu) dalam menetapkan dan membela aqidah islamiyyah yang mereka yakini dan terima dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, walaupun menyalahi akal!!

Penyimpangan ahli kalam dalam membela aqidah islamiyyah dengan menggunakan akal, menyeret mereka untuk menetapkan dan berbicara tentang suatu perkara yang tak bisa dijangkau oleh akal mereka, sehingga akibatnya mereka menolak hadits-hadits, bahkan ayat-ayat yang mengandung aqidah yang jelas dan gamblang dengan berbagai macam dalil aqli yang lemah dan terbatas, seperti kaum Jahmiyyah, dan lainnya berusaha menolak sifat-sifat Allah dengan alasan dan dalil aqli yang masih bisa disanggah[9].

Para ahli kalam memiliki kaedah batil, yakni mendahulukan akal atas wahyu saat terjadinya kontradiksi. Inilah sebenarnya kesesatan dan penyimpangan, karena akal lemah yang dimiliki manusia memiliki keterbatasan dalam memahami sebagian perkara-perkara agama, seperti perkara nama dan sifat Allah, surga dan neraka, alam gaib, peristiwa kiamat, kejadian-kejadian masa lampau, dan lainnya.[10]

Kebatilan ilmu kalam dan ahli kalam telah lama dijelaskan dan dinyatakan para ulama kita dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sejak munculnya ilmu tersebut.

Al-Imam Asy-Syafi’iy –rahimahullah– berkata,

لأَنْ يُبْتَلَى الْعَبْدُ بِكُلِّ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ سِوَى الشِّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْكَلاَمِ, وَلَقَدِ اطَّلَعْتُ مِنْ أَصْحَابِ الْكَلاَمِ عَلَى شَيْءٍ مَا ظَنَنْتُ أَنَّ مُسْلِمًا يَقُوْلُ ذَلِكَ

“Kalau seorang hamba tertimpa dengan segala yang dilarang oleh Allah, selain syirik, itu lebih baik baginya dibandingkan ilmu kalam. Sungguh aku telah melihat dari para ahli kalam sesuatu yang aku tak menyangka akan ada seorang muslim menyatakannya”. [HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’iy (hal. 182), dan Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam Al-Hujjah (1/104) dengan sanad yang shohih]

Al-Qodhi Abu Yusuf –rahimahullah– berkata,

كَانَ يُقَالُ: مَنْ طَلَبَ الدِّيْنَ بِالكَلاَمِ تَزَنْدَقَ

“Dahulu orang bilang,”Barangsiapa yang mencari ilmu agama dengan ilmu kalam, maka ia akan menjadi zindiq (munafiq)!!”. [HR. Al-Laalikaa’iy dalam Syarhul Ushul (no. 305), Al-Khothib dalam Syarof Ash-habil Hadits (no. 2), Abul Qosim dalam Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah (1/105)]

Keberadaan ilmu kalam memberikan banyak pengaruh dan dampak negatif bagi kaum muslimin, sehingga menyebabkan bermunculannya kelompok-kelompok (sekte-sekte) sempalan. Bahkan ia juga mempengaruhi kaum Syi’ah-Rofidhoh yang muncul sebelumnya. Karenanya, sebagian pemimpin mereka ahli tentang ilmu kalam.

Para pembaca yang budiman, di sela-sela lahirnya ilmu kalam, di abad kedua hijriyyah mulai muncul di kota Bashrah suatu kelompok shufiyyah (tashawwuf/tarekat) yang dipimpin oleh Abdul Wahid bin Zaid. Mereka menciptakan model peribadahan yang bid’ah, dan menjauh dari manusia, lalu membuat suatu perkampungan kecil. Mereka disebut oleh sebagian orang di zaman itu dengan “Al-Faqriyyah”. Mereka disebut shufiyyah (nisbah kepada shuf, yakni kain wool), karena mereka mengutamakan pakaian kesederhanaan yang terbuat dari wool. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (2/)]

Hari demi hari kaum sufi/tarekat semakin jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah, lalu pengaruh ilmu kalam terus menjamah mereka melalui sebagian ahli kalam dan filsafat yang menjadi pemimpin mereka, semisal: Ibnu Arabi Ath-Tho’iy, Abu Manshur Al-Hallaj, As-Sahrawardiy, Abu Yazid Al-Busthomiy, Abu Hamid Al-Ghozaliy, dan lainnya.

Oleh karena itu, muncullah paham-paham yang tak pernah dikenal oleh para salaf, seperti pahamWihdatul WujudHululiyyah (Penitisan), RiyadhohWihdah Asy-SyuhudIttihadiyyah, dan lainnya. [LihatMashodir At-Talaqqi inda Ash-Shufiyyah (hal. 53-60) & (hal. 71-74) oleh Harun bin Basyir Shiddiqi, cet. Dar Ar-Royah, 1417 H]

Demikianlah seterusnya kebatilan dan kesesatan muncul satu demi satu, mulai dari Syi’ah, Khawarij, Qodariyyah, Jabriyyah (lawan Qodariyyah), Mu’tazilah, Murji’ah, Sufi, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Bathiniyyah, dan masih banyak lagi.

Semua ini merupakan bukti kebenaran sabda Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-,

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Sesungguhnya Bani Isra’il telah berpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka, kecuali satu golongan”. Mereka bertanya, “Siapakah satu golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Golongan yang berada di atas sesuatu yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”.[11]

Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakamiy –rahimahullah– berkata, “Sungguh telah terjadi bukti kebenaran apa yang dikabarkan oleh Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-, -sedang beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan- dengan adanya perpecahan, gawatnya keadaan, melebarnya perpecahan. Akhirnya, perselisihan semakin gawat, dan muncullah bid’ah dan kemunafikan, lalu mereka berpecah dalam perkara asmaa’ (nama), dan sifat Allah -Ta’ala- menjadi kaum mu’aththilah (yang meniadakan sifat-sifat-Nya), dan kaum ekstrim yang mumatstsilah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Dalam masalah iman, janji, dan ancaman, muncullah Murji’ah dan Wa’idiyyah dari kalangan Khawarij dan Mu’tazilah. Dalam perkara perbuatan dan takdir Allah, muncullah Jabriyyah dan Qodariyyah Pengingkar takdir. Di dalam hal sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan keluarga beliau (ahlul bait), maka muncullah Rofidhoh (Syi’ah) yang ekstrim, dan Nashibah yang kurang ajar. Masih banyak lagi kelompok sesat, bid’ah, dan sekte. Setiap kelompok ini sungguh telah terbentuk dalam beberapa sekte, dan berbeda-beda jalannya. Setiap kelompok mengkafirkan temannya, dan menyangka bahwa dialah golongan yang selamat lagi tertolong. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan bahwa golongan yang selamat adalah mereka yang berpijak di atas sesuatu yang seperti dipijaki oleh beliau dan para sahabatnya. Sedang kelompok-kelompok sesat itu, tak ada diantara mereka yang demikian”. [LihatMa’arij Al-Qobul bi Syarh Sullam Al-Wushul ilaa Ilm Al-Ushul (1/53-54), karya Hafizh Al-Hakamiy, dengantahqiq Subhi Hasan Hallaq, Dar Ibn Al-Jauziy, 1424 H]

Jika kita meneliti dengan seksama dari sejarah perjalanan dan munculnya kelompok-kelompok sesat, maka tampak bagi kita bahwa sebab utama tersesatnya suatu kelompok, karena mereka jauh dari MANHAJ SALAF, yakni manhaj (metodologi) para sahabat dalam memahami agama yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Ini semakin menyadarkan kita tentang pentingnya mempelajari manhaj salaf, manhaj para sahabat, tabi’in, dan pengikut mereka, serta pentingnya mengamalkan manhaj mereka, dan bersabar dalam mendakwahkannya di tengah masyarakat. Karena mayoritas kaum muslimin pada hari ini tidak mengenal manhaj salaf secara baik.

Terakhir, mungkin ada sebagian kaum muslimin yang bertanya, “Mengapa harus mengikuti manhaj salaf, manhaj para sahabat?”.

Jawabnya, karena para sahabat adalah orang-orang yang Allah sengaja pilih untuk menemani Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan menyampaikan risalahnya kepada generasi setelahnya. Mereka adalah orang yang paling paham tentang makna dan kandungan suatu ayat dan hadits, karena Al-Qur’an dan hadits datang dalam bentuk bahasa mereka. Para sahabat amat fasih bahasanya, paham tentang seluk-beluk bahasa, uslub (cara), dan rasanya”. Selain itu, mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan penjelasannya langsung dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka tak melalui suatu ayat, atau hadits, kecuali mereka bertanya kepada Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– tentang sesuatu yang tidak mereka pahami dengan baik.

Oleh karena itu, Abu Dzar Al-Ghifari –radhiyallahu anhu– berkata,

تركنا رسول الله صلى الله عليه وسلم و ما طائر يقلب جناحيه في الهواء إلا و هو يذكرنا منه علما ، قال : فقال صلى الله عليه وسلم: مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقََرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah meninggalkan kami, sedang tak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara, kecuali beliau telah menjelaskan ilmu kepada kami. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tiada suatu perkara yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/153 & 162), dan Ath-Thabrany dalam Al-Kabir (1647), di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1803)]

Jadi, para sahabat Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– adalah manusia pilihan yang diberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak diberikan kepada generasi setelahnya dalam menyampaikan risalah dan dakwah Islam.

Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu anhu– berkata,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ ، وَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ قُلُوْبِ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ

“Sesungguhnya Allah -Ta’ala- telah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik hati hamba. Lantaran itu, Allah memilihnya untuk diri-Nya, dan mengutusnya membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat lagi hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menemukan hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Lantaran itu, Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya; mereka berperang di atas agama-Nya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/379), Ath-Thoyalisiy Al-Musnad (246), Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (105), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (no. 1144)]

Abdu Robbih bin Abd Al-Azdiy –rahimahullah– berkata,

عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ الْحَسَنِ فِيْ مَجْلِسٍ ، فَذَكَرَ كَلاَمًا ، وَذَكَرَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ : « أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا -وَرَبِّ الْكَعْبَةِ- عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيْمِ

“Kami pernah berada di sisi Al-Hasan di suatu majelis. Kemudian beliau menyebutkan suatu ucapan, dan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Mereka itulah para sahabat Muhammad, mereka orang-orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, paling sedikit pemaksaan dirinya. Mereka adalah kaum  yang dipilih oleh Allah -Azza wa Jalla- untuk menemani Nabi-Nya, dan menegakkan agama-Nya. Lantaran itu, tirulah akhlak mereka, dan jalan hidup (manhaj) mereka, karena mereka –demi Tuhannya Ka’bah—berada di atas jalan yang lurus”. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/305), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (no. 1161)]

Semua ini menjelaskan kepada kita tentang wajibnya kembali kepada manhaj salaf, manhaj para sahabat dan pengikutnya. Janganlah seperti sebagian orang Islam yang tertipu dengan kemajuan orang-orang kafir, lalu menjadikan mereka sebagai guru dan teman kepercayaan (bithonah) dalam menuntut ilmu agama. Mereka belajar kepada kaum orientalis kafir sampai Allah menyesatkan mereka. Akhirnya, mereka menyatakan bahwa para salaf dan pengikutnya adalah kaum fundamentalis yang kaku, dangkal ilmunya, sempit pemikirannya dan sudah ketinggalan zaman. Adapun para kuffar orientalis (yakni, guru mereka di barat) adalah kaum liberalis yang tak kaku, bebas lagi maju. Ya, bebas mengutak-atik agama dan akal murid-murid, dan maju dalam kekafiran.

Jika kita membuka lembaran sejarah para ulama kaum muslimin, tak ada diantara mereka yang belajar agama kepada kaum kafir, kecuali mereka yang tersesat jalan hidupnya.[12]

Para ulama salaf dahulu tak mau belajar kepada kaum munafik atau ahli bid’ah, apalagi kafir, karena mereka tahu benar kaum kafir adalah musuh mereka yang senantiasa melancarkan makar dan permusuhannya; kaum kafir tak boleh kita percaya.

Allah mengajari kaum muslimin agar jangan mengambil bithonah (teman kepercayaan) yang mengetahui urusan pribadi kita. Nah, urusan apakah yang paling penting bagi pribadi kita dibandingkan ilmu agama yang akan mengarahkan pemikiran, keyakinan dan perbuatan kita??! Oleh karenanya, seorang muslim tak boleh mengambil dan mencari ilmu agama dari para kafir barat dan lainnya. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir(2/106)]

Allah –Ta’ala– berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ  [آل عمران : 118]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (QS. Ali Imraan : 118)

Ayat ini banyak dilanggar pemuda-pemuda muslim masa kini, sehingga merekapun akhirnya berlomba-lomba mencari peluang menyelesaikan studi dan pendidikan agamanya di Amerika, Belanda, Kanada, Inggris, Australia, dan lainnya. Mereka amat menaruh kepercayaan kepada musuh-musuh Islam yang siap merombak dan merusak agamanya.

Lantaran itu, banyak diantara mereka yang pulang ke Indonesia seusai belajar untuk melakukan perusakan agama. Dari mereka banyak muncul pernyataan-pernyataan munafik yang menyayat hati kaum muslimin, seperti “Jilbab itu budaya Arab”“Cadar itu hanya untuk kaum yang hidup di gurun pasir”,“Islam perlu di-rekonstruksi”“Syari’at Islam adalah zholim”“Semua agama itu benar, tak perlu dipersoalkan”“Poligami itu adalah wabah”“Hukum Islam sudah tak relevan dengan perkembangan zaman”, dan lainnya.

Dari mana mereka mengambil statement (pernyataan-pernyataan) yang berbahaya seperti ini??! Buah dari belajar agama kepada kaum kafir barat yang amat benci kepada Islam. Mereka menginginkan Islam dan umatnya hancur dengan memperalat para pemuda muslim yang lugu dan percaya kepada para dosen dan orientalis kafir barat tersebut.

Dekade terakhir ini, para alumni barat hasil didikan orientalis kafir berusaha menyebarkan paham kufur dan munafiq yang mereka istilahkan dengan “pluralisme”, suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah!!

Jelas ini batil!! Paham kafir ini menyelisihi firman Allah –Ta’ala-,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ  [آل عمران : 85]

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imraan : 85)

Ayat ini meruntuhkan paham pluralisme dari akarnya, sebab ayat ini menjelaskan bahwa tak ada agama yang benar dan diterima oleh Allah, selain agama Islam yang dibawa oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-.

Syaikh Muhammad Al-Wushobiy Al-Yamaniy –hafizhohullah– berkata, “Barangsiapa yang tak mau mengkafirkan orang Yahudi, Nasrani, Majusi, musyrik, atheis, dan lainnya diantara berbagai jenis orang kafir, ataukah ia ragu tentang kekafiran mereka, atau ia membenarkan agama mereka, maka ia kafir!!”.[Lihat Al-Qoul Al-Mufid fi Adillah At-Tauhid (hal. 46)]

Inilah akibat orang-orang yang belajar kepada kaum kafir. Akhirnya, mereka mengagungkan para kaum orientalis kafir, dan sebaliknya mereka mencela para sahabat Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-, suatu kaum yang paling paham tentang Sunnah Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Para pengekor kaum orientalis itu menggelari dan menghina para sahabat sebagai kaum fundamentalis yang terbelakang; tak ada yang diketahui para sahabat –menurut sangkaan dusta mereka-, kecuali hanya lahiriah suatu nash saja. Mereka menyangka bahwa sahabat adalah kaum badui yang bodoh.

Sungguh ini merupakan perkara yang didustakan oleh realita, sebab para ulama sahabat bukanlah kaum badui, mereka hidup di kota, dan belajar kepada Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu menyebarkannya kepada generasi setelahnya.

Ilmu para sahabat telah diakui oleh semua kalangan, dari zaman mereka sampai zaman sekarang, baik kawan, maupun lawan. Bukti terbesar atas kecerdasan dan kehebatan mereka dalam memahami agama ini, apa yang anda lihat berupa karya yang maha hebat. Lihatlah -misalnya- Tafsir Ath-Thobari, di dalamnya terdapat penafsiran para sahabat yang mulia.

Andaikan penafsiran para sahabat tidak dibukukan, maka banyak diantara kita yang tak memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan baik. Para ulama hadits telah mengumpulkan komentar dan ucapan mereka yang berisi ilmu yang bermanfaat. Lihat saja ucapan-ucapan mereka di dalam masalah fikih, dan lainnya di dalam Mushonnaf Ibnu Abi SyaibahMushonnaf Abdir Rozzaq Ash-Shon’aniy, dan Shohih Ibnu KhuzaimahMuwaththo’ MalikKutubus SittahSunan Ad-Darimiy, dan lainnya.

Ucapan mereka sedemikian rapinya, dan lengkapnya sehingga generasi berikutnya dapat memahami Islam yang mulia ini. Orang yang menyatakan bahwa para sahabat adalah kaum yang dangkal ilmunya, maka ia adalah orang-orang yang malas membuka karya-karya ulama yang kami sebutkan di atas, dan lainnya. Jika ia akan membuka dan membaca saja sedikit, maka ia akan tercengang dan terheran melihat kehebatan para sahabat.

Orang-orang yang tertipu dengan para orientalis sebenarnya perlu kembali melihat kredibilitas dan kedudukan guru-guru orientalis kafir mereka, lalu membandingkan jasa dan ilmu para sahabat yang dibukukan tersebut. Yakin bahwa ia akan sebaliknya membodohkan guru-guru kafir itu.

Boleh jadi para orientalis itu, Injil saja mereka tak hafal, apalagi Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun para sahabat, maka mereka menghafal ayat-ayat Al-Qur’an di luar kepala, dan juga hadits-hadits yang mereka pernah dengarkan dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dengan hafalan yang hebat, dan kuat. Ini menunjukkan kehebatan dan kecerdasan mereka. Apa yang mereka dengar, tak ada yang lewat, kecuali mereka pahami dengan baik!! Alhamdulillahi wa shollallahu ala nabiyyina wa ala alihi wa shohbihi ajma’in.


[1] Walaupun hal itu tak benar. Bahkan kaum Khawarij-lah yang tak berhukum dengan wahyu dalam mengkafirkan para sahabat. Di zaman sekarang juga kaum Khawarij tak menerapkan syari’at Islam dalam melakukan gerakan terorisme-nya.

[2] Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah– dalam Ash-Shohihah (6/113).

[3] Yakni, meyakini bahwa Ali –radhiyallahu anhu– lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Ini jelas merupakan keyakinan batil, sebab menyalahi dalil dan ijma’ (kesepakatan) para sahabat dalam membai’at Abu Bakar, Umar, Utsman. Selain itu, ternyata Ali yang mereka kultuskan pun ternyata juga ikut membai’at ketiga kholifah tersebut  dengan kerelaan hati beliau, bukan karena paksaan sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhoriy (no. 3711, 3712, 4035, 4240, 4241, 6725, & 6726) dan Muslim (no. 4555). [Lihat Ashr Al-Khilafah Ar-Rosyidah (hal. 54) karya Dr. Akram Dhiya’ Al-Umariy]

[4] Ini adalah kun-yah (sapaan) bagi sahabat Abdullah bin Umar.

[5] Kemudian Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhu– menyebutkan dalil tentang kafirnya orang yang ingkar takdir dengan membawakan hadits Jibril yang terkenal.

[6] Dari sini jelaslah kekeliruan sebagian orang yang menyangka Asy’ariyyah sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab Ahlus Sunnah (sahabat, tabi’in, dan pengikut mereka) bukanlah ahli kalam yang selalu mengandalkan akal dalam memahami perkara-perkara agama yang berkaitan dengan masalah asma’ dan sifat Allah, atau perkara gaib lainnya. Olehnya, para salaf malah membantah dan mengingkari ahli kalam. Ilmu kalam adalah ilmu yang baru muncul setelah meninggalnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat, bukan berasal dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

[7] Kaum pengkultus akal. Mereka mendahulukan akal ketika berlawanan antara wahyu dan akal. Ini jelas menyalahi manhaj para sahabat dalam mengagungkan wahyu. Sebagian ulama pada hari ini menyebutnya dengan “aqlaniyyun”.

[8] Insya’ Allah, kami akan turunkan beberapa artikel tentang firqoh-firqoh menyempal ini secara terperinci, beserta sanggahannya dari komentar para ulama.

[9] Mereka menyatakan bahwa jika kita menetapkan suatu sifat tertentu (misalnya, tangan, jari, penglihatan, dan lainnya) bagi Allah, maka kita telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sebab makhluk juga memiliki hal-hal itu. Ini jelas batil, sebab adanya kesamaan nama dan istilah, tidaklah mengharuskan adanya kesamaan dan keserupaan dalam hal hakikat dan kaifiyatnya. Misalnya, Allah memiliki tangan, namun Tangan-Nya tidaklah sama dengan makhluk-Nya dari sisi hakikat dan kaifiyatnya. Sedang ini bukan tasybih namanya!! [Lihat At-Tuhfah Al-Mahdiyyah Syarh Ar-Risalah At-Tadmuriyyah(hal. 96-97) oleh Syaikh Falih bin Mahdi Alu Mahdi, cet. Dar Al-Wathon, 1414 H]

[10] Namun jangan dipahami bahwa Islam meniadakan fungsi akal. Islam mendudukkan akal pada posisinya, ibarat cahaya bagi mata. Mata tak akan melihat, tanpa cahaya sebagaimana halnya Al-Kitab dan Sunnah tak akan dipahami, kecuali dengan akal pikiran yang terdapat dalam hati. Tapi tentunya akal kita memiliki batasan dalam memahami perkara-perkara agama. Oleh karenanya, saat akal tak mampu menjangkau sebagian perkara, maka tugasnya adalah berserah diri, dan beriman kepada perkara tersebut. Wallahu A’laa wa A’lam.

[11] HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2641), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (444), Ibnu Wadhdhoh dalamAl-Bida’ wa An-Nahyu anha (hal.15-16), Al-Ajurriy (16), Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (2/262/no.815), Ibnu Nashr Al-Marwaziy dalam As-Sunnah (hal.18), Al-Lalika’iy dalam Syarh Al-I’tiqod (147), dan Al-Ashbahaniy dalam Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah (1/107). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy Al-Atsariy dalam Basho’ir Dzawisy Syarof (hal.75), cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.

[12] Semisal, Ma’bad Al-Juhaniy (Pencetus paham Qodariyyah) yang pernah belajar kepada Susan atau Sansuwaih yang beragama Nasrani.

Sumber : http://pesantren-alihsan.org/akar-penyimpangan-golongan-golongan-sesat.html